Tokoh masyarakat Sulawesi Selatan khususnya etnis Toraja, Makassar, dan Bugis, berharap majelis hakim Pengadilan Tinggi Negeri DKI Jakarta memberikan keringanan terhadap terpidana kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo dari hukuman mati.
Mereka menilai, vonis mati yang diterima Sambo sangat berlebihan dan mengabaikan unsur pembelaan diri mantan Kadiv Propam Polri itu.
"Atas dasar penghormatan terhadap institusi pengadilan, kami menghargai apa yang sudah menjadi keputusan pengadilan dalam perkara ini. Meski demikian, kami menganggap bahwa vonis mati terhadap saudara kami Ferdy Sambo sangatlah berlebihan," kata Ketua Yayasan Keturunan Tomanurung Sulawesi Selatan, Annar Salahuddin Sampetoding dalam konferensi pers di kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (15/3).
Annar dalam pernyataannya mengaku, tidak mewakili keluarga Sambo saat menyampaikan hal ini. Menurutnya, sebagai tokoh masyarakat Sulawesi Selatan, dirinya berkewajiban untuk memberikan pandangan dari perspektif lain.
"Bahwa betul beliau (Ferdy Sambo) bersalah, tetapi apakah hukuman mati adalah vonis yang tepat?" imbuhnya.
Diketahui, Ferdy Sambo mengajukan banding atas vonis hukuman mati yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Begitu pula dengan istri, Putri Candrawathi, melakukan banding atas vonis hukuman 20 tahun.
Adapun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta bakal menggelar sidang banding Ferdy Sambo pada 12 April 2023. Upaya banding Sambo terdaftar dengan nomor 53/PID/2023/PT. DKI.
Menurut Annar, vonis mati terhadap Ferdy Sambo berlebihan karena tampaknya hukuman yang diberikan lebih karena untuk memenuhi keinginan masyarakat tertentu semata, dan bukan atas dasar keadilan yang substantif dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang muncul di persidangan khususnya yang disampaikan pihak Sambo.
Diketahui, majelis hakim dalam pertimbangan putusan terhadap terdakwa Ferdy Sambo menilai Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J tidak melakukan pelecehan seksual kepada Putri Candrawathi.
Menurut Hakim Ketua Iman Wahyu Santosa, ada kemungkinan yang terjadi adalah sikap Brigadir J yang dianggap membuat perasaan Putri Candrawathi luka dan sakit hati.
"Karena kejadian penembakan ini tidak berdiri sendiri begitu saja tanpa sebab," kata Annar.
Menurutnya, apa yang dilakukan Ferdy Sambo semata-mata hanya ingin membela harkat dan martabat pribadi keluarganya. Dalam keyakinan budaya orang Sulawesi Selatan, kata dia, dikenal dengan istilah Siri' Na Pacce". Yakni, siapapun tentu bisa saja melakukan tindakan apapun untuk membela harkat dan martabat keluarga dan pribadinya tersebut, yang harus dilakukan sendiri tanpa terwakilkan.
"Vonis mati terhadap Ferdy Sambo seakan-akan tidak menyisahkan sedikit ruang keadilan yang selama proses atau fakta persidangan sudah mengaku salah, berkali-kali meminta maaf dan siap bertanggung jawab, bahkan bersikap sopan. Apakah tidak ada pertimbangan hukum atau keringanan atas sikap seperti ini sehingga harus dihukum mati?" ungkap Annar.
Annar lebih lanjut mengatakan, Ferdy Sambo dan keluarganya jauh sebelum vonis pengadilan dijatuhkan sudah mendapat hukuman sosial yang teramat berat dari seluruh masyarakat Indonesia. Dia bilang, penghakiman sosial oleh masyarakat ini jauh lebih dahsyat dari hukuman fisik.
Selain itu, Ferdy Sambo, kata dia, merupakan anggota polisi yang berprestasi dan telah mengabdikan dirinya selama 28 tahun di Korps Bhayangkara. Dia berharap, hal itu menjadi pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta nantinya.
"Semoga para hakim pengadilan banding mempertimbangkan semua aspek tersebut di atas sehingga keadilan sesungguhnya bisa diperoleh juga oleh saudara kami Ferdy Sambo," beber dia.
Terakhir, Annar juga meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas perbuatan Sambo
"Kami memohon pemaafan atas tindakan saudara kami Ferdy Sambo yang dia lakukan secara spontan dan tidak disengaja yang kami yakini atas dasar "Siri' Na Pacce", budaya yang sangat sakral dan sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Sulawesi Selatan," tandasnya.