Kemarau panjang dan sulitnya akses air bersih di Jakarta
Sudah sekitar tiga bulan Ahmad Junaedi kesulitan mendapatkan air bersih karena kemarau panjang. Warga Jalan Utan Jati, Pegadungan, Kalideres, Jakarta Barat itu harus merogoh kocek lebih untuk membeli air isi ulang.
Ahmad, yang sudah tinggal di daerah itu selama enam tahun mengatakan, ada tiga RT yang mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Ia mengaku, memang ada bantuan dari Pemprov DKI Jakarta.
“Itu buat minum aja. Kalau buat mandi tidak,” ujar Ahmad yang sehari-hari bekerja sebagai tukang parkir kepada Alinea.id, Kamis (28/9).
Warga Pegadungan lainnya, Nurmila, juga mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Beberapa waktu lalu, memang ada bantuan mobil tangki untuk menyalurkan air bersih ke warga sekitar. Namun, perempuan yang sudah tinggal selama enam tahun di daerah itu dan bekerja sebagai petugas kebersihan merasa bantuan dari Pemprov DKI Jakarta tersebut tidak cukup.
“Untuk masak, beli air galon. Untuk mandi, pakai air tanah,” ujar Nurmila, Kamis (28/9).
Hanya karena kemarau panjang?
Dampak kemarau panjang di Jakarta tak hanya dirasakan warga di wilayah Pegadungan. Di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, lahan pertanian seluas 300 hektare pun mengalami kekeringan akibat kekurangan pasokan air.
Dijelaskan Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) A. Fachri Rajab dalam diskusi virtual bertajuk “Waspadai Dampak El Nino” pada Senin (31/7), musim kemarau panjang tersebut imbas fenomena El Nino di Indonesia.
BMKG mencatat, sejak Juli 2023 sekitar 63% wilayah Indonesia sudah mengalami kekeringan karena El Nino. Daerah yang sudah merasakan dampak El Nino, antara lain Pulau Jawa, Sumatera bagian tengah hingga selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagian Papua, termasuk Jakarta.
Dalam keterangan tertulis, Direktur Utama PAM Jaya Arief Nasrudin menyebut, kemarau panjang menyebabkan krisis air bersih di wilayah Jakarta. Selain Pegadungan, wilayah di Jakarta yang mengalami kekurangan air bersih, antara lain Penjaringan (Jakarta Utara), Pejagalan (Jakarta Utara), dan Pluit (Jakarta Utara).
Lalu Kapuk (Jakarta Utara), Kalideres (Jakarta Barat), Rawa Buaya (Jakarta Barat), Cengkareng Barat (Jakarta Barat), Cengkareng Timur (Jakarta Barat), Semanan (Jakarta Barat), Duri Kosambi (Jakarta Barat), Wijaya Kusuma (Jakarta Barat), Jelambar Baru (Jakarta Barat), Kapuk Muara (Jakarta Utara), Tegal Alur (Jakarta Barat), Kamal (Jakarta Barat), dan Kamal Muara (Jakarta Utara).
Menurut Kepala Seksi Pengendalian dan Penyediaan Air Bersih Dinas Sumber Daya Air (SDA) Pemprov DKI Jakarta, Glenn Santista, pihaknya berkoordinasi dengan PAM Jaya untuk menyediakan air bersih bagi warga menggunakan mobil tangki ke daerah-daerah yang terkendala air bersih.
“Jadi, kita punya 12 mobil tangki air. Kita juga punya IPA (instalasi pengolahan air) mobile, kita punya IPA stasioner yang menghasilkan air bersih untuk dikirim ke daerah-daerah,” kata Glenn saat dihubungi, Rabu (27/9).
Ia menerangkan, Dinas SDA Jakarta punya dua IPA, yakni di Setu Babakan (Jakarta Selatan) dan Sunter Selatan (Jakarta Utara). Akan tetapi, IPA di Sunter Selatan belum bisa dioperasikan lantaran elevansinya rendah.
“Jadi, tidak dapat diambil oleh pompa. Selama musim kemarau ini, berhenti beroperasi,” ujarnya.
Glenn melanjutkan, lantaran hanya mengambil air dari Setu Babakan, lantas mengirim ke Jakarta Utara dan Jakarta Barat, waktu yang ditempuh terbuang banyak. “Itu memang dampak dari musim kemarau. Tidak ada hujan sama sekali, sangat terasa, terutama di sarana dan prasarana SDA pun terasa,” kata dia.
Di samping “jemput bola” ke warga yang membutuhkan, Glenn mengatakan, pihaknya juga mengirim air bersih ke tandon-tandon air yang dibangun Dinas SDA Jakarta. Sejauh ini pihaknya telah mengirim bantaun air bersih ke beberapa wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Barat.
Untuk di Jakarta Barat, pihaknya fokus pula ke instalasi pengelolaan air (IPA) hutan kota yang tidak beroperasi. “Karena di DKI Jakarta, air PAM Jaya itu mengambil dari sumbernya di luar, yakni dari Waduk Jatiluhur (Purwakarta, Jawa Barat). Sekitar 97% pemenuhan air bersih, perpipaan di Jakarta itu dari Waduk Jatiluhur,” ujarnya.
“Kalau yang mengambil di Jakarta itu tidak sampai 3%, contohnya (dari) hutan kota.”
Glenn mengatakan, karena dampak El Nino, sumber air di hutan kota jadi bermasalah. Akan tetapi, menurutnya, PAM Jaya sudah melakukan mitigasi dengan menambah penyaluran air dari Tangerang.
Sementara itu, bagi aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta Muhammad Aminullah, Jakarta tak punya riwayat kekurangan air. “Kita punya 13 sungai yang membelah Jakarta, terbesar Sungai Ciliwung,” tutur Aminullah yang akrab disapa Anca, Senin (25/9).
Dari kenyataan tadi, Anca berkesimpulan, masalah kekurangan air bersih tak cuma karena kekeringan semata. “Itu cadangan airnya di dalam tanah menipis. Disebabkan daya serap air tanah di Jakarta yang sangat minim,” ujarnya.
Menurut dia, air tanah di Jakarta hanya bisa menyerap 10% dari air hujan. Sebanyak 90% hanya menjadi air lintasan, tak bisa diserap tanah.
“Salah satu penyebabnya (air tak terserap), dataran Jakarta itu dipenuhi beton. Kalau perhitungan Walhi Jakarta, hampir 90% dataran di Jakarta terbangun berupa beton,” kata dia.
Kemudian, dalam konteks sumber air permukaan, juga terjadi masalah. Sebab, katanya, 13 sungai di Jakarta dan waduk-waduk yang ada, tak bisa digunakan untuk sumber air karena tercemar. Akibatnya, ujar dia, terjadi krisis air.
“Kalau kita ke Jakarta Utara, (misalnya) Marunda, Cilincing, Kalibaru, Muara Baru, dan Angke itu mereka krisis air sepanjang tahun,” ucap dia.
Solusi
Glenn mengatakan, sebenarnya untuk mengatasi kekurangan air bersih, di Jakarta ada pembangunan jaringan perpipaan dan nonperpipaan. Namun, untuk jaringan perpipaan, belum semua terlayani.
“Contohnya, di Jakarta Barat dan Jakarta Utara belum semua terlayani jaringan perpipaan oleh PAM Jaya,” ujarnya.
Gleen tak mau menyebut kekurangan air bersih di Jakarta Barat sebagai krisis air, tetapi gangguan pelayanan. Ia menjelaskan, sudah ada solusi jangka pendek untuk mengatasi hal tersebut, yakni dengan menerjunkan tangki air.
“Sifatnya kedaruratan,” tutur Glenn.
Lalu, solusi jangka menengah adalah pembangunan IPA di daerah Pesanggrahan (Jakarta Selatan) dan Kali Ciliwung yang dilakukan PAM Jaya. “Untuk jangka panjangnya, tentu IPA mobile kota harus diaktifkan kembali. Dan itu juga masih menunggu musim penghujan datang kembali,” kata Glenn.
Solusi jangka panjang lainnya adalah membangun jaringan perpipaan, yang targetnya pada 2030 akan terpenuhi 100% di Jakarta. “Harapan kita dalam perpipaan, untuk warga tidak lagi mengambil air tanah,” ucap Glenn.
Terkait air tanah, Glenn mengatakan, ada Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Efek dari pengambilan air tanah, katanya, bakal mengakibatkan penurunan muka tanah yang cepat di Jakarta.
“Jadi, untuk bangunan-bangunan di atas delapan lantai, istilahnya ‘haram’ untuk mengambil air tanah lagi karena sudah dilayani perpipaan PAM,” tuturnya.
Di masa kemarau panjang, Gleen mengimbau warga untuk menggunakan air bersih dengan bijak. “Ke depan, warga dapat menampung dulu (air bersih) untuk sementara,” ujar dia. “Pokoknya, harapan kita, masyarakat bisa hemat-hemat air.”
Sedangkan Anca memandang, jika serius ingin mengatasi krisis air di Jakarta, pemerintah harus membenahi sungai-sungai yang ada. “Sumber-sumber air permukaannya dibersihkan, bagaimana caranya pencemarannya dikurangi,” tutur dia.
Selanjutnya, ia mengatakan, pemerintah dapat menggunakan teknologi pemurni air atau semacamnya. “Itu harus dilakukan, pemulihan lingkungan di sektor sungai. Harus dilakukan supaya sumber air permukaan bisa digunakan,” ujar Anca.
Kemudian, untuk menjaga air tanah, harus ada pemenuhan ruang terbuka hijau. “Hanya 5% dari hitungan Walhi. Sementara dari undang-undang itu harus 30%. Bisa mencapai 40% hingga 50% itu bagus,” kata dia.
“Jadi, ada pembangunan antara beton dengan RTH (ruang terbuka hijau) yang seimbang. Salah satu fungsinya untuk menyerap air.”
Di samping itu, menurut Anca, pemerintah perlu mengatasi polusi udara. Kata dia, polusi udara berpengaruh ke sumber-sumber air, termasuk sungai.
“Polutan itu di langit, lalu kena hujan. Dia turun ke bawah, dia akan mencemari air permukaan, air tanah,” tutur dia.
Anca mengingatkan, air bersih adalah hak asasi manusia yang semestinya dipenuhi pemerintah. Sayangnya, ia menyebut, ada sejumlah kebijakan yang tak adil dalam pemenuhan hak air.
“Misalnya, kalau kita bicara konteksnya Jakarta, ada aturan bahwa orang yang tanpa kepemilikan surat tanah, dia tidak bisa menggunakan (air dari) PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum),” kata dia.
Anca mengatakan, peraturan itu diskriminatif. Ia juga menyebut, ada pula praktik swastanisasi dan privatisasi air.
“Misalnya, dijadikan AMDK (air minum dalam kemasan). Menjual air mineral,” tuturnya.
“Krisis air yang sekarang terjadi hanya masalah turunan. Ada masalah besar di belakangnya, yang menyebabkan terjadinya krisis air seperti sekarang.”