Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat mencatat, pada 2016 sekurang-kurangnya terdapat 120 kematian di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Rumah Tahanan (Rutan), dan Ruang Tahanan Polri. Meskipun jumlah kasus tersebut menurun pada 2017 menjadi 83 kasus, akan tetapi permasalahan kematian dalam penjara masih menjadi momok.
Berdasarkan hal inilah, LBH Masyarakat melaporkan temuannya kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sebagai lembaga negara independen, yang diharapkan bisa mengisi kekosongan mekanisme koreksi yang ada.
Peneliti LBH Masyarakat Albert Wirya mengatakan, penyakit menjadi penyebab kematian terbanyak di penjara, sejumlah 47,5% kasus di 2016. Kemudian, pada 2017 meningkat jadi 60,25%. Banyaknya kasus penyakit berat yang membutuhkan penanganan serius di tahanan, menjadi salah satu PR yang harus dirampungkan.
Sayangnya, tidak pernah ada mekanisme pengawasan yang efektif dan memadai untuk memastikan ketersediaan dan aksesibilitas Iayanan kesehatan, baik di dalam maupun luar institusi tersebut.
"LBH Masyarakat menyayangkan masih maraknya kasus kematian di dalam penjara yang dikelola oleh Direktorat Jendral Pemasyarakatan (Ditjenpas) dan kepolisian Republik Indonesia (Polri) selama 2016-2017. Kematian-kematian ini, baik karena kelalaian ataupun kesengajaan, adalah bentuk kegagalan institusi pemerintah dalam melindungai Hak Asasi Manusia (HAM) tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)," katanya di Ombudsman, Jakarta Senin (7/5).
Berbanding terbalik dengan yang dialami narapidana kasus korupsi, berdasarkan riset Tempo 2017, yang menyalahgunakan layanan rujukan kesehatan untuk tujuan plesir.
Albert menyebutkan, LBH Masyarakat melihat rendahnya sanitasi, kurangnya sirkulasi udara, dan minimnya asupan nutrisi juga berkontribusi pada penurunan kondisi kesehatan tahanan.
Kondisi penjara Indonesia yang overcrowded akut menjadi salah satu akar masalah banyaknya penghuni penjara yang menderita sejumlah penyakit, seperti gangguan pernapasan dan pencernaan sebelum meninggal.
Pengacara Publik LBH Masyarakat Naila Rizki Zakiah mengatakan, data-data yang terkumpul, mengacu pada pendataan di media. Dari data tersebut, diketahui terpidana kasus narkotika menjadi penyumbang terbesar penduduk lapas.
Penyebab kedua terbanyak setelah penyakit adalah upaya bunuh diri. Setidaknya ada 43 kasus bunuh diri selama dua tahun.
"Permasalahan bunuh diri sangat kompleks dan harus dilihat dalam banyak aspek, salah satunya adalah kesehatan jiwa. Lapas, Rutan, dan Polri seharusnya memastikan layanan kesehatan yang komprehensif, bukan hanya kesehatan fisik melainkan juga jiwa," tegasnya.
Berdasarkan pengalaman LBH Masyarakat mendampingi WBP yang memiiiki gangguan jiwa, imbuhnya, sangat jarang dijumpai ketersediaan layanan psikoterapi yang memadai di lapas.
Terlebih, akses untuk mendapatkan perawatan di luar penjara pun sulit untuk dikabulkan. Hal ini menandakan adanya pengabaian permasalahan kesehatan jiwa oleh Ditjenpas dan Polri, yang berpotensi memicu upaya bunuh diri.
Selain kedua sebab di atas, sebanyak 13 dari 203 kasus yang terkumpul sepanjang 2016-2017, kematian narapidana disebabkan karena kekerasan. Dari belasan kasus kekerasan berujung maut ini, lima di antaranya melibatkan pejabat negara ketika tindakan kekerasan dilakukan.
Padahal seharusnya sistem penahanan dan pemasyarakatan bisa menjamin hak untuk bebas dari penyiksaan dan kekerasan. Padahal, Ditjenpas dan Polri telah memiliki peraturan untuk menjaga HAM tahanan dan WBP. Hal ini selaras dengan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perawatan Tahanan di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan tersebut termaktub, andil Polri dalam menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan.
Begitu pula Ditjenpas yang seharusnya menjalankan fungsi perawatan kesehatan terhadap tahanan di rutan dan lapas. Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, LBH Masyarakat menilai hal ini telah cukup menjadi landasan hukum perlindungan hak tahanan dan WBP selama berada di lapas. Oleh sebab itu, pihaknya memandang perlu segera disediakan mekanisme inspeksi imparsial yang berkala dan mendadak terhadap institusi penahanan, yang cenderung tertutup dan nihil pengawasan eksternal. Di samping itu, perlu juga disediakan mekanisme pengaduan yang efektif sebagai sarana koreksi apabila terjadi pelanggaraan HAM yang dialami tahanan.
Pasalnya, mekanisme ini berpotensi meminimalisir praktik-praktik pelanggaran HAM di dalam penjara sekaiigus memberikan rekomendasi pembenahan institusional.
Investigasi Kajian
Asisten Ombudsman koordinator unit kerja penegakan hukum dan peradilan Ratna Sari Dewi mengatakan, Ombudsman tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan.
Hanya saja ORI bisa melakukan pemantauan atau hal lain yang berkaitan dengan kewenangan publik. "Tapi, kita tidak bisa memasuki ranah penyelidikan karena itu kewenangan dari kepolisian. Kita bisa melakukan investigasi untuk kajian atau laporan masyarakat," katanya.
Ratna menyatakan, sebenarnya permasalahan lapas maupun rutan, sudah disampaikan pada ORI berkal-kali. Bahkan kajian sendiri telah diinisiasi oleh pihak ORI sehak 2000, termasuk kajian ihwal pelayanan di rutan dan lapas. Kemudian hasilnya sudah disampaikan ke Ditjenpas serta Kementerian Hukum dan HAM.
" Kemudian sudah dilakukan perbaikan beberapa," katanya.
Selain itu, pada 2009 hasil sidak dari ORI juga pernah ditemukan ulat di makanan-makanan di lapas, sehingga tak layak makan. Ratna meyakini, hal tersebut bukanlah sebuah bentuk kesengajaan, melainkan terkait masalah minimnya anggaran.