Pemerintah memastikan mengabaikan kritik Saiful Mujani terkait proses pemilihan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pangkalnya, akan tetap memberikan kewenangan kepada menteri agama (menag) sebagai penentu calon pemimpin perguruan tinggi keagamaan (PTK).
Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Pendis Kemenag), M. Ali Ramdhani, beralasan, sistem tersebut merujuk Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 68 Tahun 2015. Regulasi tersebut pun dinilai masih relevan.
"Kemenag menilai PMA Nomor 68 Tahun 2015 masih relevan sehingga proses pemilihan tetap merujuk pada regulasi yang ada," ucapnya, melansir situs web Kemenag, Selasa (12/17). "Saya melihat PMA 68/2015 dalam semangat mengembalikan kampus sebagai civitas akademika bukan civitas politika."
Lebih jauh, Dhani menerangkan, Permenag 68/2015 mengatur tiga tahap pemilihan rektor PTK. Pertama, penilaian administrasi dan kualitatif oleh senat PTK.
Hasil proses tersebut lalu serahkan kepada Kemenag. "Jadi, pelibatan senat justru dilakukan sejak awal. Senalah yang memberikan penilaian awal tentang kelayakan para calon rektor," ucapnya.
Selanjutnya, fase uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh komisi seleksi (komsel). Lalu, menetapkan calon hingga tiga besar.
"Komsel beranggotakan tujuh orang yang dinilai memiliki integritas, kapasitas, kapabilitas, dan pengalaman menjadi pimpinan perguruan tinggi. Ada juga unsur birokrasi Kementerian Agama. Anggota Komsel rata-rata berasal dari kampus dan seluruhnya adalah guru besar," paparnya.
"Jadi, komsel tentu bukan orang sembarangan. Mereka diberi tanggung jawab untuk memilih tiga orang dari calon yang sebelumnya diseleksi senat PTK," imbuh dia. Hasil fit and proper test komsel selanjutnya disampaikan kepada menag.
Berikutnya, menag memilih satu dari tiga nama tersebut sebagai rektor PTK. Mekanisme tersebut diklaim meminimalisasi potensi politisasi proses pemilihan pimpinan kampus negeri keagamaan di bawah Kemenag.
Dhani sesumbar Kemenag mengapresiasi atas segala saran dan kritik atas Permenag 68/2015 tersebut. "Tapi, mohon hal tersebut dilakukan secara akademik."
Melalui akun pribadi Twitternya, akademisi Saiful Mujani mengkritik proses pemilihan Rektor UIN Jakarta. Pangkalnya, pemilihan pimpinan PTK tempatnya mengabdi tidak dipilih senat, tetapi menag.
"Prosedur pemilihan rektor di UIN atau di bawah Depag pada intinya tak ditentukan oleh pihak UIN sendiri, seperti oleh senat, melainkan oleh menteri agama seorang diri. Mau-maunya menteri saja mau milih siapa. UIN dan senat Universitas tidak punya suara. Ini seperti lembaga jahiliah," twitnya melalui akun @saiful_mujani, Minggu (13/11).
Apalagi, sambung pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) ini, senat UIN Jakarta sebatas mencatat para pendaftar dan memenuhi syarat. Hasil inventaris tersebut lalu diserahkan rektor kepada Depag untuk diseleksi tim. Tim itu kemudian memilih beberapa nama untuk diajukan kepada menteri, selanjutnya menentukan rektor terpilih.
"Transparansi tak nampak. Kasak-kusuk lobi alternatifnya. Sebagai guru di kampus ini, malu rasanya. Saya pernah bersuara agar pemilihan rektor dengan cara jahiliah itu diboikot saja. Tapi, eggak ada yang dengar," kicaunya lagi.