Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia turut hadir dalam aksi di depan gedung DPR, Jakarta pada hari ini (Selasa, 8/3) untuk memperingati Hari Perempuan Internasional (International Womens Day/IWD), yang diperingati setiap 8 Maret.
Presiden DPP Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, menyatakan, hal ini dilakukan guna menyuarakan pentingnya mewujudkan kesetaraan dan perlindungan yang lebih baik terhadap perempuan di Indonesia. Pangkalnya, masih banyak pekerja perempuan yang mendapat perlakuan diskriminatif dan pelecehan di tempat kerja.
"Pemerintah harus memaksimalkan pengawasan dan penindakan terhadap setiap pelanggaran hak-hak pekerja perempuan," katanya dalam keterangan tertulis.
President UNI Asia Pacific Women’s Committee ini menambahkan, pekerja perempuan di Tanah Air harus bangkit dan membangun kesadaran bersama dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya di tempat kerja.
"Pekerja perempuan punya hak yang sama untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan upah yang layak. Bangkitlah dan berserikatlah, jangan hanya menitipkan nasib kepada pihak lain karena yang memahami hak dasar pekerja perempuan adalah perempuan itu sendiri," tuturnya. "Ambil peran maksimal untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi perempuan Indonesia."
Mirah mengungkapkan, banyak pekerja perempuan yang menjalankan tugas ganda sebagai pekerja dan aktivitas rumah tangga. Pekerja perempuan juga kerap mengalami diskriminasi upah, dilarang menikah, larangan hamil, dan tidak mendapatkan hak cuti haid.
"Beberapa kasus diskriminasi ini harus lebih mendapat perhatian dari pemerintah," tegasnya.
Aspek Indonesia pun mendesak Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) membentuk pusat pengaduan khusus bagi pekerja perempuan. Tujuannya, agar ada wadah negara yang memberikan perlindungan terhadap korban sekaligus menindaklanjuti setiap kasus hingga tuntas dan berkeadilan.
Selain itu, Aspek Indonesia turut menyampaikan beberapa tuntutan lainnya dalam aksi tersebut. Pertama, meminta dicabutnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dan semua aturan turunannya karena dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, mendesak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) dicabut. Sehingga, pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mengundurkan diri dapat mencairkan JHT tanpa harus menunggu pensiun (56 tahun).
Lalu, Penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan dan berkeadilan dengan menghapuskan praktik kerja kontrak dan alih daya (outsourcing) serta menentang PHK massal di BUMN ataupun anak perusahaannya, termasuk di perusahaan swasta.