Sekretaris Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian dalam Negeri, I Gede Suratha, mengatakan pihaknya akan menggelar pertemuan dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin (4/3) mendatang. Pertemuan tersebut rencananya akan membahas terkait kegaduhan KTP elektronik bagi WNA.
“KPU memang sudah minta pada kita data-data WNA yang memegang KTP el. Sudah kita siapkan,” kata Suratha di Jakarta, Sabtu (2/3).
Terkait dengan kejanggalan Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik WNA asal Tiongkok Guohoi Chen, Suratha, mengatakan pihaknya siap pasang badan untuk membantu mempercepat penyelesaian kasus tersebut.
“Jadi jajaran kita sudah dapat perintah dari menteri dalam negeri, lakukan sesuatu yang maksimal untuk bisa membuat pemilu ini lebih baik, lebih transparan, dan sebagainya,” ujar Suratha.
Suratha memastikan undang-undang tak memberikan ruang pada WNA pemilik KTP-el memberikan hak pilihnya pada pemilu 17 April 2019 nanti. “Kan di Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, hanya warga negara Indonesia yang boleh memberikan suara,” katanya.
Mengenai keributan kasus KTP WNA ini, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, merekomendasikan empat hal pada pihak pemilik otoritas antara lain Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
“Pertama, setiap daerah harus segera mensosialisasikan pada publik soal keberadaan KTP el milik WNA ini dan perbedaannya dengan KTP el milik WNI dengan penekanan bahwa pemilik KTP el WNA itu tidak bisa menggunakan hak pilih di pemilu,” ujar Titi.
Yang kedua, lanjut Titi, kemendagri, KPU, dan Bawaslu harus segera duduk bersama melakukan pencermatan dan penelusuran kembali pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) secara akuntabel dan transparan untuk memastikan tidak ada data tercecer terkait dengan pemegang KTP el WNA yang masuk dalam DPT.
Poin ketiga, Titi mengharapkan partisipasi peserta pemilu, masyarakat, dan petugas di lapangan untuk mencermati kembali DPT per TPS.
“Kita bisa bersama-sama mencermati nama-nama apakah betul nama yang ada itu, apakah memenuhi syarat, dan tidak ada pemegang KTP el WNA yang masuk dalam DPT di TPS kita,” ujar Titi.
Terakhir, lanjut Titi, penyelenggara pemilu dan peserta pemilu harus memastikan bahwa petugas KPPS, saksi, pengawas pemilu, punya kecakapan dan kompetensi untuk memastikan legalitas status pemilih yang ada di TPS.
“Kecakapan soal teknis pemungutan suara dan prosedurnya ini mutlak dimiliki oleh petugas pengawas dan saksi peserta pemilu. Sebab, mereka bisa menyaring potensi pelanggaran saat pemilu nanti,” kata Titi.