Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) meninjau ulang sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang berlangsung dalam 7 tahun terakhir. Pangkalnya, kebijakan tersebut menuai polemik, salah satunya akses memperoleh pendidikan semakin sulit.
"[Kebijakan zonasi] ini juga belum bisa menghasilkan dampak yang yang maksimal terhadap Peraturan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB. Akhirnya, kita dapatkan perilaku-perilaku buruk dari masyarakat kita yang terpaksa melakukan pembohongan-pembohongan, termasuk ketika dia ingin menyekolahkan anaknya," ujar anggota Komisi X DPR, Illiza Sa'aduddin Djamal.
Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar hak masyarakat mengakses pendidikan tidak terganggu. Misalnya, pemerintah daerah (pemda) mengawasi setiap tahapan PPDB dan menambah kuota jalur prestasi.
"Ini, kan, masalahnya harus betul-betul dilakukan evaluasi menyeluruh, termasuk menteri. Jadi, mungkin presiden juga harus melihat hal ini persoalan yang terbesar karena beliau juga, kan, ingin agar bagaimana SDM unggul itu bisa tercipta," tutur politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Illiza melanjutkan, evaluasi sistem zonasi perlu dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. tokoh pendidikan dan organisasi lainnya, misalnya, agar kebijakan PPDB lebih baik.
Dorongan mengevaluasis sitem zonasi juga diutarakan Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih. Ia berpendapat, maraknya kecurangan dalam PPDB menunjukkan pendidikan karakter tidak terbangun.
"Ini [bagian] pendidikan karakter. Berarti, kan, orang tuanya bekerja sama dengan anaknya, bekerja sama di sekolahnya. Yang mau didirikan, ya, karakternya seperti apa yang akan dibangun. Mestinya ada evaluasi total," tegasnya, menukil situs web DPR.
"Ini [masalah] pendidikan, kok, sampai-sampai seperti itu? Mau nanti jadinya apa kalau anak masuk sekolah saja dengan cara membohongi?" imbuhnya.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, kecurangan yang terjadi dalam sistem zonasi merugikan anak. Pangkalnya, terancam putus sekolah karena gagal melanjutkan jenjang pendidikan.
"Ini enggak adil bahkan anak yang enggak tahu apa-apa hanya gara-gara dekat dengan sekolah itu [malah ditolak]. Padahal, dia punya hak lebih besar karena dapat dikasih skor lebih besar dan seterusnya," tuturnya.