Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan, hari AIDS sedunia selalu digelar dalam rangka meningkatkan komitmen untuk menangani Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia.
“Walaupun di tengah pandemi covid-19 tentunya upaya untuk penanganan HIV ini harus tetap kita kuatkan dan perhatikan karena masalah HIV adalah masalah yang sudah kita ketahui bersama,” ujar Nadia dalam Media Briefing Peringatan Hari AIDS Sedunia 2021, Senin (29/11).
Ia menuturkan, data situasi epidemi HIV secara global mencapai 37,7 juta orang di seluruh dunia pada tahun 2020, dan tercatat 1,5 juta orang baru terinfeksi HIV pada 2020.
“Berikutnya, 680.000 orang meninggal karena penyakit terkait AIDS pada tahun 2020, dan 27,5 juta orang mengakses terapi antiretroviral pada tahun 2020, serta 79,3 juta kasus HIV sejak awal epidemi di mana 36,3 jutanya telah meninggal sejak awal pandemi,” tambah Nadia.
HIV, jelasnya, adalah suatu suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Ada sejumlah gejala fisik penderita HIV atau terjadinya infeksi oportunistik dimana memanfaatkan kondisi tubuh yang lemah dan menimbulkan penyakit.
“Biasanya para penderita virus HIV sering kali tidak bisa langsung mendeteksi virus tersebut karena hasil laboratorium pun sering kali tidak mendeteksi virus tersebut dan hasilnya negatif. Dan itu cukup lama bisa 3 minggu, kurang dari 1 bulan bahkan sampai 3 bulan,” ucap Nadia.
Permasalahannya, tambah Nadia, penderita HIV akan tampak sebagai orang yang sehat, tidak ada gejala karena memang menyerang sistem kekebalan. Penyakit tersebut tidak akan terlihat sampai kekebalan tubuh penderita sangat lemah.
Proses ini, sambungnya, akan berlangsung 5 sampai 10 tahun jika penderita tidak mengkonsumsi obat antivirus dan penderita akan jatuh dalam kondisi yang disebut dengan AIDS.
Nadia menyebutkan, HIV dan AIDS memiliki hubungan erat dengan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) seperti sifilis, gonore dan klamidia atau penyakit seksual lainnya. Penderita penyakit tersebut harus waspada karena dapat meningkatkan resiko tertular HIV sampai 4 kali lipat karena terjadi proses inflamasi.
“Jadi, orang dengan penyakit HIV rentan terhadap berbagai penyakit infeksi termasuk dengan infeksi menular. Orang dengan HIV dan PIMS akan lebih cepat menjadi AIDS, sementara PIMS tidak meningkatkan resiko tertularnya HIV. Beberapa IMS seperti sifilis dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi kepada janin atau bayinya serta melalui kontak darah atau alat tembus kulit,” kata Nadia.
Pada kesempatan itu juga, Nadia mengatakan ada 5 kelompok penyebab Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS), namun prioritas intervensi program yaitu sifilis, gonorhoe, clamidia dan human papilloma virus/HPV.
HIV ditularkan melalui hubungan seks berisiko, baik pada hubungan heteroseksual dan homoseksual. Kemudian melalui darah, yaitu pada alat suntik yang tercemar dan transfusi darah yang tidak disaring serta dari ibu ke bayi pada saat kehamilan, melahirkan dan menyusui.
“Semua ini bisa dicegah, yaitu dengan tidak melakukan hubungan seks yang berisiko dan setia pada satu pasangan, menggunakan alat pelindung atau kondom, menggunakan alat suntik sekali pakai, melakukan tes laboratorium sebelum transfusi darah, dan untuk ibu hamil harus mendeteksi apakah menderita penyakit tersebut dengan triple eliminasi yaitu untuk mengeliminasi penularan penyakit infeksi dari ibu ke anak,” ucap Nadia.
Pesan utama HAS 2021 di Indonesia, jelasnya, yaitu penguatan komitmen semua pemangku kepentingan di semua tingkatan, perluasan akses pencegahan serta layanan diagnosis HIV, pengobatan ART dan infeksi oportunistik serta mitigasi dampak.
“Pesan terakhir yaitu penguatan kemitraan multi-pihak dan tentunya inovasi dalam pelaksanaan program dan penyediaan layanan komprehensif,” tutup Nadia.