Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) menegaskan, proses penemuan sebuah obat, termasuk untuk coronavirus baru (Covid-19), membutuhkan proses panjang dan berbagai prosedur. Pembuatannya juga harus mempertimbangkan segi keamanan saat dikonsumsi.
"Obat yang salah akan bisa menjadi racun dan berbahaya," ujar Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kemensritek, Ali Gufron Mukti, dalam keterangan pers di Graha BNPB, Jakarta, Jumat (7/8).
Dia menerangkan, proses penemuan obat berawal dari penelitian dengan berbagai tahapan yang perlu dipastikan aman. Suatu penelitian pun harus dipresentasikan kepada kolega agar hasilnya bisa didiskusikan bersama untuk mempertimbangkan kelayakannya.
Proposal penelitian terlebih dulu harus lulus uji etika kelayakan. Proposal penelitian, tidak bisa dibuat sembarang orang tanpa rekam jejak dan publikasi ilmiah.
"Uji etika kelayakan yang diuji oleh Komite Etik. Jadi, tidak bisa langsung mengklaim menemukan obat. Harus ada prosedur yang dijalankan," tegasnya.
Di sisi lain, Ali mengungkapkan, banyak masyarakat salah kaprah terkait profesor yang diartikan sebagai gelar akademik. Di luar negeri, jelasnya, seseorang tidak bisa lagi disebut profesor jika sudah pensiun mengajar.
"Kalau gelar bisa diberikan. Ini tidak. Harus melalui proses. Dosen adalah suatu profesor yang luar biasa. Tidak boleh disalahartikan," kata eks Wakil Menteri Kesehatan itu.
Anggota Tim Penilai PAK Dosen Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Sutikno, menambahkan, profesor merupakan jabatan akademik tertinggi untuk dosen. Terdapat beberapa syarat untuk memprolehnya, seperti minimal memiliki 850 kredit akademik.
Kedua, memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional bereputasi. Kemudian, memenuhi persyaratan administrasi, seperti berkinerja baik, berintegritas, hingga akreditasi perguruan tinggi pengusul atau program studinya minimal B.
"Apakah yang bersangkutan ini layak enggak secara akademik maupun postur? Rtik memenuhi atau tidak?" tutur Sutikno.
Penyanyi Anji sebelumnya menyiarkan perbincangannya bersama Hadi Pranoto–yang mengklaim pakar mikrobiologi sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19–melalui kanal Youtube Dunia Manji. Video tersebut sempat viral dan akhirnya diturunkan lantaran dianggap melanggar pedoman komunitas.
Klaim Hadi dalam video tersebut juga dibantah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI). Salah satu alasannya, yang bersangkutan tidak bergelar profesor lantaran tak terdaftar dalam pangkalan data.
Beberapa hari kemudian, Hadi mengakui dirinya bukan dokter ataupun profesor. Dia sesumbar, "profesor" merupakan panggilan kesayangan teman-temannya karena kagum terhadap dirinya sebagai penemu obat penyembuh Covid-19.