Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Indonesia pada Senin (12/12). Pemanggilan ini terkait dengan komentar PBB atas pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru.
Lembaga Imparsial menilai, respon pemerintah dengan memanggil perwakilan PBB untuk Indonesia terlalu berlebihan. Direktur Imparsial, Gufron Mabruri mengatakan, tanggapan PBB atas KUHP tersebut sejatinya merupakan sebuah keharusan.
"Pemerintah seharusnya menyadari, hal tersebut merupakan sebuah keharusan dan sudah menjadi tugas dari PBB untuk mengingatkan negara-negara anggotanya, untuk tidak membuat aturan legislasi yang berpotensi melanggar hak asasi manusia," kata Gufron dalam keterangan tertulis, Rabu (14/12).
Terlebih, imbuh Gufron, dampak dari KUHP yang baru disahkan ini juga tentunya tidak hanya akan berlaku terhadap warga negara Indonesia. Kendati, juga terhadap warga negara asing (WNA) yang sedang berada di Indonesia.
Gufron menilai, para perumus KUHP baik dari pemerintah maupun DPR, seharusnya mengundang dan mendengarkan masukan dari PBB. Khususnya, masukan dari Komite Hak Asasi Manusia (Human Rights Council) terkait dengan pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Bahkan, dalam surat yang dikirimkan oleh Komite HAM PBB tertanggal 25 November 2022, mereka menawarkan bantuan kepada pemerintah Indonesia untuk merumuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan isu hak asasi manusia lainnya.
"Hal ini diperlukan, karena Indonesia merupakan negara anggota PBB yang telah menyatakan diri tunduk terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai kewajiban internasionalnya," ujar dia.
Terkait hal ini, pemerintah mengatakan, KUHP yang baru telah sejalan dengan prinsip hak asasi manusia, termasuk melindungi kebebasan sipil dan kebebasan pers.
Menurut Gufron, dalih pemerintah dalam hal ini terlalu berlebihan dan mengada-ada. Sebab, masih terdapat kritik masyarakat terkait beberapa pasal yang berpotensi mengkriminalisasi kebebasan sipil atau kebebasan pers. Hal ini juga jadi salah satu sorotan pakar hak asasi manusia di PBB.
"Imparsial menilai, pengesahan RKUHP oleh Pemerintah dan DPR dengan dalih ingin menghapus jejak “kolonialisme” dalam aturan hukum pidana di Indonesia juga hanya slogan kosong belaka. Faktanya, secara substansi justru terdapat pasal-pasal yang oleh negara kolonial dulu digunakan untuk membungkam kritik dan protes dari masyarakat," ucap Gufron.
Pasal-pasal tersebut, imbuh Gufron, seperti delik penghinaan terhadap lembaga negara yang justru dipertegas kembali dalam KUHP baru. Sementara, pasal-pasal tersebut saat ini sejatinya juga sudah dihapuskan dari sistem hukum negara asalnya.
Menurut dia, pemanggilan perwakilan PBB untuk Indonesia ini akan menjadi bukti bagi dunia internasional, di mana pemerintah Indonesia benar-benar resisten terhadap kritik. Baik itu kritik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sendiri, maupun dari pihak internasional.
"Peristiwa yang memperburuk citra diplomasi internasional Indonesia ini seharusnya tidak terjadi, jika pemerintah memahami dengan baik peran lembaga hak asasi manusia di PBB, dan mendengarkan masukan dari publik. Peristiwa ini terjadi karena sikap tertutup dari pemerintah dan DPR untuk menerima masukan dan kritik baik dari publik di Indonesia, maupun publik internasional," tutur dia.
Terkait pemanggilan tersebut, juru bicara Kemlu RI Teuku Faizasyah sebelumnya mengkritik balik atas pernyataan PBB. Faizasyah menilai, ada norma dalam hubungan diplomatik yang sepatutnya dilakukan perwakilan asing di suatu negara, yakni melalui interaksi untuk membahas isu-isu yang menjadi perhatian.
"Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam interaksi perwakilan Asing atau PBB dalam satu negara, jalur komunikasi kan selalu ada untuk membahas berbagai isu," kata Faizasyah dalam keterangan pers di Kantor Kemlu RI, Jakarta Pusat, Senin (12/12).
Menurut Faizasyah, selayaknya dalam komunikasi diplomatik, sepatutnya perwakilan asing di Indonesia menggunakan jalur diplomasi dan tidak terburu-buru dalam menanggapi suatu isu. Ia menegaskan, pihaknya terbuka dengan perwakilan luar negeri di Indonesia yang hendak menyampaikan pendapat.
"Ada baiknya bagi perwakilan asing untuk tidak secara terburu-buru menyimpulkan pendapat (soal KUHP) atau statement sebelum mendapatkan satu informasi yang lebih jelas. Kami membuka kesempatan bagi perwakilan diplomatik untuk menyampaikan pandangan mereka," tutur Faizasyah.