close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Logo BRIN/Istimewa.
icon caption
Logo BRIN/Istimewa.
Nasional
Kamis, 19 Agustus 2021 18:35

Pakar ungkap kemungkinan gugurkan integrasi lembaga penelitian ke BRIN

BPIP tidak memiliki payung hukum memimpin BRIN karena dibentuk berdasarkan perpres.
swipe

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari membeberkan sejumlah kemungkinan untuk membatalkan pengintegrasian lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbangjirap) berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) dan badan litbang di kementerian/lembaga (K/L) ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Menurut Feri, peluang itu bisa dilihat dari munculnya Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) dalam struktur BRIN. Dalam Pasal 7 ayat 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN ditulis bahwa Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dijabat ex-officio oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

"Pertanyaan saya, tiba-tiba muncul BPIP di sini, ada apakah? Tentu Bu Mega (Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri) yang menentukan siapa yang (menjadi) ketua BRIN ini. Cuma saya gak ngertinya begini, karena menurut peraturan, BPIP itu bukanlah lembaga yang tepat memimpin BRIN," kata Feri Amsari dalam Forum Alinea.id bertajuk 'Dampak Peleburan LPNK IPTEK dan Litbang K/L ke BRIN', Kamis (19/8).

Feri menjelaskan, BPIP tidak memiliki payung hukum untuk memimpin BRIN. Alasannya, BPIP dibentuk oleh peraturan presiden (perpres), sedangkan BRIN dibentuk oleh undang-undang (UU). Secara logika hukum, kata Feri, tidak ada lembaga yang dibentuk lewat perpres memimpin lembaga yang dibentuk karena amanah UU.

"Jadi enggak masuk akal. Bagi saya ini dipaksakan. BPIP sudah ada strukturnya, tiba-tiba meloncat otomatis memimpin lembaga BRIN yang dibentuk UU. Artinya BPIP memimpin seluruh lembaga penelitian, peneliti di seluruh Indonesia, termasuk para dosen, seperti saya," ujarnya.

Kemudian mengenai tugas BPIP, lanjut Feri, sesuai Pasal 3 Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang BPIP, BPIP tidak memiliki tugas soal penelitian. Dia menduga, munculnya BPIP untuk memimpin lembaga yang mewadahi penelitian merupakan sebuah upaya untuk mengatur dan mengendalikan peneliti yang berada di tanah air.

"Karena BPIP tidak ditugaskan untuk mengelola suatu penelitian. Dimana logikanya? Kecuali logika kepentingan politik," tegas dia.

Lalu bagaimana peluang konstitusional untuk menggugurkan UU Nomor 11 Tahun 2019 sebagai dasar hukum pembentukan BRIN?

Feri menjelaskan, jika menguji peraturan ini ke Mahkamah Konstitusi atau MK, maka kemungkinan yang paling besar adalah melakukan uji materi. Setelah UU ini resmi diundangkan, penggugat memiliki waktu selama 45 hari untuk melakukan uji formil.

"Kalau uji formil itu seluruh prosedurnya dilihat, benar tidak tahapannya. Kalau ada yang salah, maka dia bawa ke MK. Kalau terbukti, dia dibatalkan. Kalau dibatalkan secara formil, seluruhnya hangus, batal semua isi UU. Nah, karena sudah lewat 45 hari, pilihannya tentu uji materiil, berkesesuaianan tidak dengan UUD. Cara mengujinya adalah membenturkan pasal di undang-undang (tentang pembentukan BRIN) dengan pasal di UUD atau dalam konteks lebih luas di dalam seluruh bagian UUD, termasuk preambule," jelasnya.

Pertama, kata Feri, Pasal 48 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2019 terkait makna integrasi. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan "teringtegrasi" adalah upaya mengarahkan dan mensinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan untuk menghasilkan invensi dan inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan nasional. Namun, kata Feri, antara materi peraturan turunan tidak padu dengan kondisi di lapangan.

"Kalau kita tidak nyaman dengan istilah terintegrasi yang dimaknai oleh Perpres 33/2021, menurut saya perlu dimaknai secara benar, secara konstitusional. Dan pilihannya tentu (uji materi) ke MK," jelasnya.

Kedua, Pasal 28 b UU Nomor 11 Tahun 2009 soal kepastian hukum litbangjirap empat (LPNK) seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Antariksa Nasional (Lapan) dan litbang di K/L. Menurut Feri, kehadiran BRIN justru memunculkan ketidakpastian.

"Nah, BRIN ini membuat ketidakpastian muncul. Apakah lembaga penelitian itu boleh merdeka melakukan penelitian atau apakah harus melaporkan kepada lembaga-lembaga yang menaunginya lalu kepada BRIN, kan timbul ketidakpastian-ketidakpastian hukum. Padahal, setiap orang itu dilindungi dari peraturan yang tidak memiliki ketidakpastian," ungkapnya.

Feri menambahkan, keberadaan BRIN juga bisa diuji melalui Pasal 31 ayat 5 UUD. Pasal ini menjelaskan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

"Tinggal dibuktikan dalam penjelasan apakah keberadaan BRIN menghantar ke pasal ini atau sebaliknya. Bagi saya, tentu saja yang bisa menceritakan ini adalah para peneliti, berdasarkan pengalaman masing-masing," pungkasnya.

img
Marselinus Gual
Reporter
img
Fathor Rasi
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan