Kepala BRIN: Integrasi untuk kepentingan yang lebih besar
Proses integrasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan lembaga riset nonkementerian (LPNK) dan balitbang kementerian menuai beragam masalah. Sejumlah pihak mempersoalkan proses integrasi yang dimulai secara bertahap sejak tahun lalu itu.
Suara protes diserukan korban-korban BRIN. Januari lalu, misalnya, puluhan eks pegawai honorer Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melapor ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Para pegawai yang tergabung dalam Paguyuban Pegawai non-PNS (PPNP) BPPT itu memprotes langkah BRIN yang tiba-tiba memutus kontrak kerja mereka.
Menurut juru bicara PPNP BPPT Andika, ada sekitar 500 pegawai BPPT yang terimbas intergrasi BRIN dan BPPT. Namun, jumlah itu diperkirakan bakal terus membengkak. "Kami diputus kontrak langsung, tidak ada sosialisasi untuk prepare dan inisiatif memberikan jangka waktu," ujar Andika.
Di laman Change.org, sebuah petisi diluncurkan sebagai upaya untuk menyetop protes integrasi BRIN dengan lembaga riset. Dinisiasi oleh Narasi Institute, petisi bertajuk "Surat Terbuka Untuk Kembalikan Lembaga-Lembaga Riset Yang Terintergrasi Ke BRIN" itu sudah didukung lebih dari 13 ribu orang.
Sejumlah akademikus dan pakar mencatatkan nama mereka sebagai pendukung petisi tersebut, di antaranya cendikiawan muslim Azyumardi Azra, ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB) Didin S Damanhuri, dan guru besar ilmu filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno. Eks Ketua LIPI Taufik Abdullah juga turut tercatat menjadi pendukung petisi tersebut.
Meski diprotes berbagai pihak, proses peleburan lembaga riset dan BRIN tetap jalan. Dalam wawancara khusus dengan Alinea.id di kantornya di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (24/2) lalu, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan proses integrasi hampir rampung.
Menurut dia, hampir semua peneliti balitbang kementerian/lembaga (K/L) sudah resmi bergabung dengan BRIN. Selain mengebut peralihan aset riset dari sejumlah balitbang K/L ke BRIN, saat ini BRIN tengah memetakan posisi para peneliti eks LPNK dan balitbang K/L.
"Jadi, kita tutup buku 31 Januari kemarin. Jadi, dalam pemetaan tahap tiga itu, mereka (peneliti) bisa ikut untuk memilih mau masuk ke pusat riset yang mana," kata Handoko.
Handoko mengakui proses integrasi tak bisa memuaskan semua pihak. Ia pun meminta para peneliti dan perekayasa yang keberatan dengan pemetaan melapor kepada dia. "Bisa sampaikan ke saya kalau memang (alasan) itu signifikan," imbuh dia.
Berikut petikan wawancara Alinea.id dengan Kepala BRIN:
Sejauh mana progres pemetaan pegawai di BRIN saat ini?
Kita, alhamdulillah, sudah masuk pemetaan tahap tiga. Pemetaan tahap tiga itu, khususnya untuk periset. Kalau tahap pertama dan kedua itu kita lebih fokus ke manajemen riset, (atau) SDM pendukung.
Karena di masa-masa ini sudah hampir semua teman-teman (periset) dari K/L itu sudah masuk, jadi kita tutup buku 31 Januari. Jadi, pemetaan tahap tiga mereka (peneliti) bisa ikut untuk memilih mau masuk ke pusat riset yang mana.
Sejauh ini, ada kendala dalam proses peleburan antara balitbang K/L dengan BRIN? Peralihan SDM dan aset tak bermasalah?
Ya, kalau dari saya kan kita sifatnya menunggu. Selama ada suratnya, dokumennya lengkap, ya kita proses (peralihan ke BRIN) karena kita menunggu dari K/L terkait.
Selain itu, yang sekarang masih berproses itu masalah dokumen sih biasanya karena kita kerja dengan BKN (Badan Kepegawaian Negara) juga. Jadi, dokumennya sekaligus dipindahkan. Ada yang kurang ini atau kurang itu. Itu biasa sih.
Ada K/L yang sebelumnya diberitakan tak mau melepas aset litbang mereka ke BRIN? BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), misalnya. Itu progresnya seperti apa sekarang?
BMKG sudah mengirimkan (para peneliti), Kemenperin juga sudah mengirimkan. Ya, enggak banyak sih, ya, (yang masih menolak integrasi). Jadi, menurut saya, enggak terlalu signifikan.
Pemetaan pegawai dipersoalkan sejumlah peneliti yang kini bergabung dengan BRIN. Kepada Alinea.id, ada peneliti yang melaporkan jabatan-jabatan strategis diberikan kepada anak muda yan belum berpengalaman. Ada juga yang merasa ditempatkan di pusat riset yang salah. Tanggapan Anda?
Ya, tidak ada hubungannya golongan sama jenjang itu. Ada yang masih III D, tetapi dia sudah ahli madya. Karena kita basisnya kan fungsional. Jadi, yang kita lihat jenjang fungsionalnya, bukan golongannya. Ada golongannya yang masih rendah, banyak banget. Tetapi, jenjangnya sudah tinggi. Memang, syaratnya hanya jenjang karena kan ini fungsional, bukan struktural.
Jadi, selama fungsionalnya terpenuhi, ya enggak masalah. Makanya, BRIN lebih lincah. Ya, ini juga yang dicita-citakan negara, berbasis fungsional. Jadi, mungkin, ya, itu enggak ngerti aja kan karena enggak bisa membedakan organisasi yang basisnya fungsional dan struktural.
Kalau struktural yang dilihat golongan, bukan jabatan fungsional. Itu banyak enggak punya jabatan fungsional, asal pangkatnya tinggi jadi bisa. Nah, kalau fungsional, yang dilihat fungsionalnya, bukan pangkat golongannya.
Presiden Jokowi sempat mengatakan anggaran riset itu bakal mencapai Rp26 triliun. Namun, pada 2022, BRIN hanya bakal mendapat anggaran Rp6,1 triliun. Sebagian besar bakal dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur riset. Anggaran sebesar itu sudah fixed?
Ya, kan kita sekarang dalam proses peralihan anggaran juga. Jadi, ya kita tunggu nanti dari DJA (Direktorat Jenderal Anggaran). Ya, kan kita juga harus bisa mengukur diri. Tidak mungkin ujug-ujug (dapat anggaran besar). Nanti malah tidak keruan, tidak efektiflah.
Jadi, lebih baik kita mendapat anggaran yang memang masuk akal. Anggaran yang memang bisa dieksekusi. Nanti sisanya itu dijadikan dana abadi riset saja dan itu lebih bagus, ya. Itu yang sekarang sedang berproses.
BRIN sendiri punya estimasi berapa anggaran yang ideal untuk menjalankan semua program riset yang direncanakan?
Ya, kalau anggaran ideal itu enggak ada. Kita kan harus sesuaikan juga penambahan anggaran itu dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas. Misalnya, kalau layak dikasih Rp10 triliun, ya, mending kasih Rp10 triliun saja. Kalau enggak, nanti jadi sia-sia. Lebih baik itu untuk dana abadi riset sehingga bisa untuk (dipakai lagi) nanti ke depannya. Lebih baik seperti itu.
Kalau pembentukan organisasi riset (OR) dan pusat riset itu perkembangannya bagaimana? Sebelumnya ada keluhan peneliti yang kepakarannya tidak terpakai karena tidak ada pusat riset atau OR yang sesuai.
Sudah selesai. Nanti minggu depan sudah keluar (daftarnya) di Kumham-lah, ya. Sekarang sedang dalam proses pengundangan.
Finalnya, total ada berapa OR dan pusat riset?
OR ada 12. (Kalau pusat riset) total ada 85. Ya, biasalah rata-rata ada 7-8 (OR).
Apa strategi BRIN untuk memastikan periset bisa ditempatkan di OR atau pusat riset yang sesuai dengan bidang keilmuannya?
Semua pasti tertampung. Kan 12 OR itu sudah didesain dengan 85 pusat riset untuk seluruh bidang ilmu. Semua tertampung pasti.
Soal output riset BRIN, salah satu paramater kinerja yang ditetapkan BRIN ialah peneliti menghasilkan publikasi yang "tayang" jurnal internasional.
Ya, enggak hanya itu. Itu indikator kinerja periset, bukan fokus kinerja BRIN. Fokus kerja BRIN itu, kita memperbaiki atau memperkuat ekosistem riset inovasi nasional.
Kalau publikasi internasional itu indikator kinerja di BRIN. Kalau (output-nya) paten, harus paten. Itu indikator personal orang per orang, salah satunya publikasi. Tergantung dia ada di ranah mana, kalau dia (periset) menghasilkan paten, ya, dia paten.
Di media sosial, baru-baru ini ada peneliti Eijkman yang mengunggah video yang "mengabadikan" buruknya proses pemindahan alat-alat riset yang mahal dari Eijkman ke Cibinong. Pemindahan tidak diawasi vendor, hanya dilakukan oleh tukang yang tidak tahu tata cara memindahkan alat-alat riset. Alat-alat itu disebut potensial rusak. Tanggapan Anda?
Ya, kita sudah biasa mindah alat riset itu. Itu kan, Deputi Infrastruktur, ya, yang berwenang untuk melakukan (pemindahan aset). Kita sudah biasa. Tidak ada yang rusak. Ngapain? Kita, kan, enggak ingin ada alat yang rusak juga. Ya, rugi dong. Kita pastikan, enggak ada alat (riset) yang rusak.
Periset Eijkman itu ada yang menyebut kalau alat riset itu rusak saat pemindahan.
Periset Eijkman apa orang luar? Enggak mungkin (periset Eijkman). Kalau periset Eijkman, dia tahu alatnya. Enggak mungkin kita mindahin alat, terus rusak. Kalau mindahin alat rusak, ya, kita hukum orangnya. Masa mindah alat rusak? Ha-ha-ha. Rugi dong saya. Kan enggak ingin juga kita alat rusak.
Mereka itu sudah bertahun-tahun melakukan itu dan alat yang jauh lebih canggih dari itu. Itu kan hal biasa. Perisetnya mungkin enggak ngerti, ya, saya enggak tahu siapa, ya. Tetapi, kan, enggak semua hal dia tahu. Jadi, ya enggak mungkin kita mindah alat terus rusak.
Layanan berbasis riset kepada industri yang biasanya disediakan LPNK, semisal di BPPT dan BATAN, sempat terhenti selama proses integrasi berjalan. Itu dilaporkan sejumlah periset dan perekayasa. Bagaimana sekarang?
Ya, sekarang sudah berjalan normal, kan. Paling, waktu itu berhenti hanya satu minggu. Tetapi, bukan karena integrasi, ya. Tetapi, itu karena memang perubahan PP tarif. Jadi, teman-teman enggak bisa menerima layanan dulu, karena belum mendapat izin dari Kemenkeu, karena namanya, kan, berubah. Tetapi, kan sudah ada surat dari Ibu Menteri Keuangan. Jadi, kita biasa saja.
Sebenarnya, kalau di level periset, enggak ada berubah. Kan, yang berubah yamg atas-atas doang. Kalau grup-grup riset tetap. Toh, dia bekerja dengan grup risetnya. Enggak akan pindah ke-mana-mana.
Jadi, pelayanan berbasis riset kepada industri masih bisa tetap berjalan ya?
Iya.
Kepada Alinea.id, ada sejumlah peneliti yang mengaku keberatan harus pindah ke BRIN. Mereka mengeluhkan soal perubahan pola kerja, hingga kini belum punya program riset yang jelas, dan ditempatkan di pusat yang salah. Tanggapan Anda?
Banyak dari mana? Kalau segelintir enggak banyak berarti. Kalau ada yang enggak puas, ya, enggak apa-apa juga. Terus kenapa? Ya, dia harus ikutlah (proses integrasi). Kan, ini untuk kepentingan yang lebih besar.
Ya, saya enggak tahu juga kenapa segelintir (periset) itu protes. Kan, bisa sampaikan ke saya juga kalau memang (alasan) itu signifikan. Kalau enggak disampaikan ke saya, berarti enggak signifikan, ya. Ya, enggak tahu, mungkin terganggu barangkali. Tetapi, saya enggak tahu karena enggak disampaikan.
Kalau memang itu penting dan krusial, ya, pasti (dilaporkan) dan itu kan pasti jadi perhatian kita. Tetapi, kalau enggak puas karena masalah personal, ya, itu masalah lain. Ya, tidak apa-apa juga. Ini kan lembaga infrastruktur milik negara, bukan milik yang bersangkutan.
Soal co-working space yang didesain jadi sistem kerja di laboratorium-laboratorium BRIN, ada peneliti keberatan dengan mekanisme kerja seperti itu karena sejumlah bidang IPTEK perlu laboratorium khusus untuk meneliti. Di laboratorium terkait nuklir, misalnya, tidak bisa sembarangan orang masuk.
Ya, kalau laboratorium itu (juga bisa dipakai) pas dia (peneliti) di laboratorium. Saya kan juga periset. Tetapi, enggak mungkin dia 365 hari atau dalam setahun itu di laboratorium kan? Maksudnya dia tinggal di situ. Tetapi, kalau pas dia enggak perlu, ya, kan orang lain bisa pakai. Waktu nulis (laporan riset) kan bisa di tempat lain saja. Enggak mungkin di laboratorium itu kan? Jadi, enggak penuh laboratorium itu kan? Apalagi pandemi begini.
Jadi, itu namanya gantian. Tentu semua ada prosedurnya, sesuai laboratorium masing-masing, ya. Ada yang laboratoriumnya ketat, ada laboratorium yang harus ada syarat ini dan itu. Tetapi, semua sudah tahu. Jadi, ya, asal mereka memenuhi itu, dan kemudian dia (peneliti) ada jadwal kapan dia memakai. Dengan begitu, infrastruktur yang kita kelola itu bisa lebih efisien. Tidak dikuasai oleh sebagian saja. Jadi, ya, bisa bergantian.
Infrastruktur riset kita itu mahal dan kita kan menyediakan semua infrastruktur riset. Tetapi, kan bukan berarti setiap orang satu (laboratorium)? Enggak begitu. Tetapi, beberapa orang bisa melakukan risetnya. Tetapi, ya, gantian atau sama-sama kalau (riset) itu bisa sama-sama.
Ya, memang (keberatan perubahan mekanisme kerja) itu soal kebiasaan. Jadi, ada yang belum biasa saja. Biasanya, seolah-olah ini ruangan saya, seolah-olah rumah sendiri kan. Ha-ha-ha.
Menurut putusan uji materi UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional-Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas-Iptek) di Mahkamah Konstitusi, uji materi Pasal 121 UU Cipta Kerja (yang merupakan perubahan Pasal 48 UU Sisnas Iptek) telah kehilangan objek gugatan. Ini berarti Pasal 121 (quo Pasal 48) yang jadi dasar keberadaan BRIN telah kehilangan pijakan alias tak bisa jadi alas pijak. Karena ini, keberadaan BRIN jadi bermasalah.
Selain itu, menurut putusan uji materi UU Cipta Kerja, selama dua tahun pemerintah dilarang membuat keputusan strategis dan berdampak luas. Sebagai bagian dari pemerintah, BRIN sudah membuat banyak keputusan strategis dan berdampak luas. Bagaimana BRIN menyikapi ini?
Yang kehilangan pijakan itu Pasal 121, bukan Pasal 48 UU 11/2019. Pasal 48 UU 11/2019 kan tetap berlaku. Lah BRIN itu ada di Pasal 48. Kedua, keberadaan lembaga pemerintah itu ditetapkan dengan perpres. Mau ada UU-nya mau tidak. Itu kan ranah eksekutif.
LIPI enggak ada UU-nya, tetapi kita 65 tahun ada. BPPT juga enggak ada UU-nya. Enggak ada hubungannya. Karena kan itu kewenangan eksekutif, dalam hal ini presiden. Bukan harus ada UU-nya. Tetapi kalau (uji materi UU Ciptaker) tadi, kan Pasal 48 masih (berlaku) di UU 11/2019.
Ya, memang enggak ada hubungannya kalau bicara dari sisi legal. Kan UU 11/2019 masih ada, tidak dihapus. (Pasal 121) itu kan, hanya menambahkan terkait hubungan kita dengan BRIDA (Badan Riset dan Inovasi Daerah) dan sebagainnya di Pasal 121. Itu bukan mengamanatkan BRIN harus ada atau tidak karena BRIN harus ada atau tidak sudah ada di Pasal 48.