Kepala BRIN: Kenapa ribut? Ini kan cuma Dewan Pengarah
Baru berusia kurang dari empat bulan, Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2021 Tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (Perpres BRIN) kini direvisi. Sebagai penggantinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perpres Nomor 78 Tahun 2021 Tentang BRIN. Perpres itu diteken pada 24 Agustus 2021.
Selain mempertegas mandat integrasi lembaga riset non kementerian (LPNK) dan balitbang ke dalam BRIN, Perpres itu juga merinci tambahan kewenangan untuk Ketua Dewan Pengarah. Posisi itu saat ini dipegang Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri.
Tertulis dalam Pasal 7 ayat (3) Perpres 78/2021, Ketua Dewan Pengarah 'memiliki kewenangan untuk memberikan arahan, masukan, evaluasi, persetujuan atau rekomendasi kebijakan dan dalam keadaan tertentu dapat membentuk Satuan Tugas Khusus untuk mengefektifkan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b.'
Dalam menjalankan tugasnya, Ketua Dewan Pengarah juga diperkenankan untuk menunjuk maksimal empat staf khusus. Pelaksana yang dimaksud dalam pasal itu ialah Kepala BRIN dan jajaran di bawahnya, termasuk di antaranya Wakil Kepala BRIN, Sekretaris BRIN, para deputi, inspektor, dan organisasi riset.
Pada Perpres sebelumnya, sebagaimana tercantum pada Pasal 6, kewenangan Dewan Pengarah dibatasi hanya sekadar 'memberikan arahan dalam merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan penelitian, pengembangan, pengkajian, serta invensi dan inovasi yang menjadi landasan dalam pembangunan nasional.'
Dalam wawancara khusus bersama Alinea.id, Rabu (8/9), Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menjelaskan sejumlah alasan kenapa Perpres baru diterbitkan. Soal wewenang tambahan Dewan Pengarah, ia berpendapat bunyi Perpres baru hanya merinci wewenang yang sudah ada di Perpres sebelumnya.
"Itu (perubahan) bukan hal signifikan, ya. Kalaupun ada ditulis seperti yang lebih clear seperti sekarang itu, ya, itu sebenarnya fungsi Dewan Pengarah secara umum. Yang disebutnya tidak tertulis. Gitu aja," jelas eks Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.
Soal kritik terhadap keberadaan Dewan Pengarah yang dianggap bakal mengganggu kinerja BRIN dan potensial melahirkan abuse of power, Handoko tak ambil pusing. Ia menjamin BRIN bakal bebas dari kepentingan politik. Apalagi, BRIN sebagai "penerus" Kemenristek saat ini tidak dipimpin politikus.
"Selama ini yang menjadi Menristek, ya, yang jadi eksekutif. Saya kan eksekutif nih. Saya kan bukan orang politik. Jelas saya profesional biasa. Kalau selama ini, Menristek ini, politis, ya. Sejak zaman Pak Habibie, Pak Hatta Rajasa itu enggak ada yang ribut. Itu ketua parpol beneran," kata dia.
Berikut petikan wawancara Alinea.id dengan Kepala BRIN:
Apa sebenarnya alasan yang mendasari perlunya Perpres lama direvisi?
Sebenarnya ada tiga hal. Pertama, kita belum memasukan konsideran terkait dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Padahal, BRIN di Perpres Nomor 33 juga, itu diminta untuk mengintegrasikan LAPAN dan BATAN sehingga fungsi-fungsi sebagai pelaksana ketenaganukliran dan keantariksaan itu tertinggal.
Jadi, itu akan menimbulkan problem yang besar karena kita punya reaktor sehingga harus ada yang bertanggung jawab secara institusi. Siapa yang tanggung jawab untuk reaktor. Itu kan tanggung jawab global, karena reaktor diawasi global oleh IAEA (International Atomic Energy Agency ), misalnya.
Kedua, terkait perubahan proses bisnis. Jadi yang berubah besar itu justru sebenarnya struktur deputi. Jadi deputinya sama-sama tujuh, tetapi substansinya sama sekali berbeda. Itu karena di Perpres lama karena BRIN itu funding agency. Jadi, terbawa fungsi ristek yang sekedar funding agency. Padahal, di dalamnya kita tidak hanya melakukan funding agency. Tidak hanya menjadi pengatur, tetapi juga harus menjadi pelaksana.
Nah, sehingga fungsi deputi itu direvisi supaya dia bisa berfungsi sebagai pelaksana. Jadi, kalau deputi sekarang fungsinya sebagai fasilitator dari pelaksana riset yang ada di organisasi riset yang ada banyak. Jadi, itu hal yang sangat krusial, ya. Perubahan proses bisnis yang sangat besar sehingga perpres itu harus diganti.
Ketiga, terkait dengan OR (organisasi riset). Jadi, tadinya kan OPL (organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan). Itu yang berubah total. Karena kalau OPL itu, misalnya seperti LIPI. Kepala LIPI itu menjadi deputi. Kemudian, deputi LIPI menjadi semacam kepala pusat. Jadi, semua turun satu level. Nah, itu pasti bermasalah di level terbawah. Nah, itu yang kita perbaiki menjadi OR. Jadi, sekarang yang kita korbankan itu pejabat eselon satu di eks empat LPNK itu. Itu kalau kita bicara korban, ya. Sedangkan di bawah mereka, semua tetap.
Mengapa itu penting? Karena di sebuah lembaga riset itu yang bekerja itu adalah periset dan pusat riset, bukan pejabatnya. Pejabatnya hanya fasilitator. Apalagi, kalau Kepala BRIN, ya. Itu hanya fasilitator. Jadi, ini yang harus kita jaga supaya dia tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi dia sebagai periset untuk melakukan riset. Jadi, pusat riset dan perisetnya posisinya tetap. Semua tidak turun. Kalau semua turun, nanti unitnya itu menjadi kecil.
Sejumlah pemerhati riset dan perumus UU Sisnas-Iptek itu merasa klausul kewenangan Dewan Pengarah bersifat terlalu teknis. Seolah Dewan Pengarah berfungsi sebagai pelaksana. Tanggapan Anda?
Ya, boleh-boleh saja kalau berpendapat loh, ya. Sekarang saya tanya, selama ini yang menjadi Menristek yang jadi eksekutif? Saya kan eksekutif nih, saya kan bukan orang politik. Jelas saya profesional biasa. Kalau selama ini, Menristek ini, politis, ya. Sejak zaman Pak Habibie, Pak Hatta Rajasa itu enggak ada yang ribut. Itu ketua parpol beneran. Kenapa ribut? Lha, ini kan cuma Dewan Pengarah.
Justru keberadaan Dewan Pengarah itu seperti halnya di negara lain, itu kan justru untuk menunjukkan komitmen politik negara untuk mendukung riset. Itu sebabnya di Perpres yang baru itu kan justru diperkuat kan. Ada Menteri Keuangan ex-officio dan Menteri PPN/Kepala Bappenas sebagai wakil.
Sebagai ketua, mengapa unsur BPIP? Karena itu kan di UU Sisnas-Iptek tulisannya begitu di Pasal 5 huruf a, bahwa harus ada pelaksanaan riset iptek di Indonesia harus berbasis pada landasan ideologi Pancasila. Siapa lembaga di Indonesia yang mengelola itu saat ini? Ya, BPIP. Kalau dulu BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) zaman Orba, ya, mungkin BP7. Kan sesimpel itu.
Ketua Dewan Pengarah ini salah satu figur politik. Anda tidak khawatir arah riset dipolitisasi sebagaimana kritik legislator dan pengamat?
Kenapa khawatir? Selama ini kita juga bekerja dengan DPR. Iya, kan? Yang mengarahkan kita kan DPR, bukan Ketua Dewan Pengarah. Yang ngetok anggaran itu DPR loh, ya. DPR itu entitas apa? Entitas politik. Iya, kan? Kok lupa. Yang paling berkuasa kan yang punya duit. Yang punya duit kan DPR.
Kalau bicara mekanisme, seperti itu. Tetapi, karena BRIN ini lintas sektoral. Jadi, sisi politik di BRIN bukan masalah itu, tetapi BRIN ini kan mengintegrasikan seluruh aktivitas dan unit litbang kementerian atau lembaga (K/L). Artinya, kalau sudah diintegrasikan, kita balik harus melayani K/L, bukan harus jadi sendirian, bukan enak sendiri. Kita balik lagi harus menjadi pelayan.
Nah, terkait dengan lintas lembaga itu, itu perlu dukungan politik. Kalau dari Presiden kan jelas karena saya langsung di bawah Presiden. Kemudian, dari Menkeu, dari Bappenas, atau dari sisi program dan anggaran. Itu baru sekali terjadi di negara ini riset dan inovasi diperkuat sedemikian besar. Ini sejarah baru justru dan itu by system, bukan by orang. Dulu kalau zaman Pak Habibie, kita kan di-support penuh oleh Pak Harto sebagai presiden saat itu. Tetapi, kan itu terkait dengan personal Pak Habibie, bukan by system. Baru sekarang kita by system.
Jadi, kalau saya melihatnya seperti itu dan semangat UU 11/2019 itu, pemahaman saya seperti itu. Ya, penguatan riset dan inovasi secara total, dari semua sisi. Dari sisi kebijakan, sisi anggaran, sisi politik, dan sisi ideologi Pancasila supaya risetnya enggak kebablasan, ke mana-mana, dipakai untuk hal yang enggak benar, misalnya. Karena kalau terlalu besar, dia kan juga ada potensi ada abuse of power. Jadi ini pas, karena semua pihak ada dan itu baru saat ini.
Teknis kerja BRIN dengan Dewan Pengarah itu seperti apa? Apa setiap kebijakan harus minta masukan dulu? Bagaimana pula pola kerja dengan organisasi riset?
Ya, kalau secara umum kebijakan teknis, semua cukup di saya. Kalau secara prinsip, untuk (program) riset, itu umumnya itu kan bottom-up karena kan riset itu basisnya kreativitas riset, ya. Jadi, kita lihat kreativitas risetnya. Biasanya, kalau saya, hanya indikator saja, indikator output-nya. Jadi, setiap orang harus menghasilkan apa dalam satu tahun. Seperti itu. Tetapi, kalau topik (riset) sendiri, silakan. Karena itu kan bagian dari kebebasan akademis dan kreativitas. Jadi bagaimana mengolah pikir dari dia (periset).
Jadi, diusulkan dari organisasi riset?
Bukan, kita tidak begitu. Sejak dulu, periset bukan begitu. Biasanya, kalau di LIPI, kita buat rumah program. Misalnya, rumah program untuk obat dan vaksin. Itu ada di satu OR. Ya udah, nanti mereka mencari siapa yang bisa mengisi itu. Mungkin ada tim yang bikin vaksin hepatitis. OR itu bertanggung jawab atas keberhasilan dari program itu. Kalau program itu enggak ada outputnya, dia (kepala OR) yang kena masalahnya.
Di lain sisi, ada juga riset mandiri. Riset mandiri itu, dia melakukan riset dari olah pikir dia. Mungkin tidak ada nama rumah programnya. Mungkin dia juga tidak butuh dana juga. Asal bisa pakai alat, dia bisa. Itu silakan juga.
Yang jadi kekhawatiran para pakar, kemandirian riset itu tergerus saat terintegrasi dengan BRIN. Apalagi, ada Dewan Pengarah di situ.
Saya tanya, BRIN bedanya apa sama LIPI atau sama BPPT? Sama-sama lembaga pemerintah juga. Kan enggak ada bedanya. Semua tetap jadi ASN juga. Bukan tadinya swasta, terus jadi ASN. Kan enggak juga. Kalau pemerintah, di mana-mana aturannya sama.
Yang jadi pembeda tentu keberadaan Dewan Pengarah itu. Dewan Pengarah dikhawatirkan menyetir program riset nasional untuk kepentingan kekuasaan.
Ya, gini. Semua lembaga ada di bawah presiden. Kita semua melaksanakan visi-misi presiden. Sudah ada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Kalau di riset, kita punya Rencana Induk Riset Nasional (RIRN). Di bawah RIRN, kita punya Prioritas Riset Nasional (PRN). Kita tetap ikut itu, PRN 2020-2024. Enggak ada bedanya.
Kalau terkait pemakaian uang negara, ya, pasti ikut itu karena itu sudah keputusan negara dan pemakaian uang diawasi DPR. Program yang akan dilakukan itu juga diputuskan oleh DPR, ya, bukan dengan Dewan Pengarah. Dengan DPR loh. Komisi VII DPR, kalau saya.
Jadi, semua program kita itu disetujui Komisi VII DPR. Kan, DPR yang punya hak budgeting dan pengawasan. Jadi, sama saja. Waktu LIPI sama BPPT, sama saja. Tidak ada bedanya.
Kalau inisiatif menyusun program, teknisnya itu apakah akan dibahas di BRIN dulu baru ke Dewan Pengarah atau bersama-sama?
Enggak ada mekanisme itu. Mekanismenya kan BRIN mengusulkan.
Perlu ke Dewan Pengarah dulu sebelum mengusulkan?
Ya, enggak akan masuk detail seperti itu. Memang Dewan Pengarah enggak ada kerjaan lain. Programnya saja saya lihat pusing. Apalagi, Dewan Pengarah punya kerjaan lain. Kan ada Menteri Keuangan dan Bappenas, ya enggak mungkin. Kita diskusikan (program) itu dengan Menkeu, dengan Bappenas. Biasanya prosesnya begitu, kita (susun program) dengan Bappenas, habis itu Bappenas ada penugasan ini BRIN, atau dari BRIN. Kita mau melakukan (riset) ini. Bisa masuk enggak?
Nah, yang diputuskan itu oleh Bappenas dan Kementerian Keuangan, disampaikan ke DPR. Kemudian, Komisi VII DPR memanggil kami (BRIN). Nah, (program riset) diklarifikasi ke kami lagi kan. Itu bisa diubah, bisa ditambah, dikurangi, tergantung pembicaraan Komisi VII DPR. Kalau (program riset) itu sudah ditetapkan, ya, kemudian ditetapkan jadi APBN oleh presiden. Kan mekanismenya seperti itu. Itu kan enggak ada yang berubah.
Kekhawatiran politisasi tidak beralasan?
Enggak tahu saya, mereka basisnya apa. Tetapi, mekanismenya sudah jelas. Kalau lembaga pemerintah, begitu. Sejak di LIPI, di BPPT, sama juga. Enggak ada bedanya.
Pada saat apa wewenang Ketua Dewan Pengarah yang ada di Perpres itu di-excersise?
Ya, itu khususnya kalau Dewan Pengarah itu, kan, misalnya, seperti saat ini, kita sedang melakukan integrasi untuk unit litbang kementerian. Itu kan butuh diskusi lintas kementerian. Itu tidak mudah. Program mana sih di bawah kementerian atau aslinya dibawa ke BRIN?
Nah, di situ peranan Dewan Pengarah, sebagai penengah. Makanya, di situ ada Menkeu dan Bappenas. Ya, kalau secara konkretnya sih yang paling nyata itu. Saya juga tidak tahu persis, ya, sering kali program yang ditulis di kementerian itu isinya apa. Kita kan juga banyak yang tidak tahu juga. Itu jadi masih banyak perlu diskusi. Dalam diskusi itu masih bisa berkembang, ya. Oh, ternyata ini bukan riset. Ini hanya layanan uji. Kalau layanan uji, jangan di BRIN. Misalnya, begitu.
Ini (contoh) yang simple, ya. Nanti kan ada area abu-abu, ini enggak jelas. Ini bisa di BRIN atau bisa di kementerian. Ya, perlu ada nasihat juga, kan. Jadi hal-hal seperti itu sih yang sebenarnya lebih banyak (peran Dewan Pengarah). Khususnya saat ini, ya. Nah, nanti ke depan, terkait pada pembahasan. Sebelum pembahasan lebih jauh masalah teknis, misalnya, Pak Presiden mau bikin program Ibu Kota Negara (IKN). Ini kan, siapa yang harus support. Support dari sisi rekomendasi kebijakan, support dari sisi teknologi kalau ada. Apakah ini BRIN apa ini kementerian terkait saja? Nah, diskusi seperti itu kan sudah di level pembuat kebijakan, ya. Kalau dari sisi Presiden, dia sebagai eksekutif. Nah, itu (butuh peran) dengan Dewan Pengarah.
Yang dimaksud area abu-abu itu seperti apa?
Ya area abu-abu itu, misalnya ada kajian studi pembangunan. Nah, ini area riset apa area pembuat kebijakan murni? Kalau area riset, ditempatkan ke kami. Tetapi kalau ini areanya sudah kebijakan teknis kementerian, itu dikembalikan ke kementeriannya. Itu kan cukup banyak. Detailnya juga, seringkali kita belum tahu juga. Kalau dari tulisan saja kan susah. Makanya, ada Kementerian Keuangan dan Bappenas.
Akan membuat semacam pola kerja resmi antara BRIN dengan Dewan Pengarah?
Enggak-enggak. Dewan Pengarah itu cuma dengan saya (berkomunikasi). Tidak ada (hubungan) dengan (jabatan) di bawah saya.
Ada kewajiban untuk melaporkan secara berkala?
Oh, iya, kalau itu kita laporkan berkala. Seingat saya, ya, mungkin sekitar tiga bulan sekali. Kemudian kita lakukan rapat pleno, sekaligus kalau ada masalah, ada bottlenecking. Ya, untuk bottlenecking problem-lah. Kita kan urusannya tidak hanya dengan BRIN, ya. Kita urusannya dengan banyak kementerian dan lembaga. Misalnya, ada yang macet. Koordinasinya bagaimana ini? Lebih ke arah yang itu pasti.
Memang (laporan berkala) itu perlu. Jadi, sama dengan BPIP. BPIP itu, kan, urusannya ke banyak lembaga, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) juga ada kan Dewan Pengarahnya. Pokoknya, (badan negara) urusan koordinasi dengan banyak lembaga itu ada Dewan Pengarah. Itu supaya kalau ada (masalah), bisa segera diselesaikan. Ya, namanya juga institusi, ya. Kadangkala tidak mulus.
Bisa program riset itu nantinya diusulkan oleh Dewan Pengarah?
Ya, bisa saja. Program riset kita kan bisa top-down. Bisa dari Presiden, bisa dari Bappenas juga. Selama ini, ya, karena ada yang sifatnya top-down.
Misalnya seperti IKN, kita kan enggak pernah mendukung riset untuk IKN selama ini. Begitu ada Pak Presiden memiliki program itu, otomatis perlu dukungan riset. Bagaimana supaya pembangunannya tidak merusak lingkungan (atau) spesies di situ bisa terjaga? Itu perlu riset dan kita perlu melakukan hal-hal tertentu untuk mitigasi itu. Apakah perlu membuat kebun raya? Rencananya, kan begitu. Taman kota di dalam IKN itu dibangun jadi kebun raya sehingga kita bisa keep (menjaga) species di situ. Jadi, aspek konservasinya masih dapat.
Harus dijalankan ketika ada usulan program riset dari Dewan Pengarah?
Ya, kita pasti diskusi dulu. Kan, mereka (Dewan Pengarah) tidak paham juga detailnya (kegiatan risetnya), ya. Misalnya, coba tolong kalau bangun IKN di daerah rawan, gimana supaya konservasi terjaga? Nah, itu kan kita harus melakukan (analisis) itu, kemudian kita sampaikan. Mereka (Dewan Pengarah) kan enggak paham juga. Yang paham kan, periset-periset kita.
Jadi, usulan yang datang harus dibahas dulu, ya?
Ya, pastilah. Itu namanya riset. Makanya kita, salah satunya itu science based policy. Jadi, bagaimana membuat kebijakan berbasis sains dan data ilmiah. Ya, itu gunanya BRIN.
Di Pepres lama, integrasi empat LPNK riset itu dijabarkan akan dirampungkan dalam dua tahun. Pada Perpres baru, durasi batas waktu integrasi menjadi satu tahun. Mengapa diubah?
Ya, kalau bisa cepat, ngapain lambat. Lah, itu (pelantikan puluhan pejabat fungsional di lingkungan BRIN) sudah saya lakukan di 1 September. Ngapain lambat-lambat? Kalau lambat (integrasi), malah lambat kerja. Iya, kan?
Memang enggak perlu lambat. Semua itu kan sudah ada sistemnya. Jadi, kalau kita mau mengintegrasikan anggaran, kalau mau integrasikan aset, berapa lama sih waktu yang diperlukan? Ya, satu menit. Karena itu sistemnya ada di Kemenkeu kan kalau anggaran dan aset. Tinggal di komputer aja dipindah. Selesai. Program juga ada di Bappenas. Tinggal dipindah, selesai. SDM tinggal di (proses pindah) BKN. Semua by computer sekarang, selesai.
Mengapa jadi lama? Karena tidak dilakukan. Kalau enggak dilakukan, ya, lama. Kalau dilakukan, ya, cepet kan? Buktinya, tanggal 1 (September 2021) kita sudah mengintegrasikan lima entitas, Kemristek, BATAN, BPPT, LIPI, dan LAPAN. Kan selesai. Nunggu apalagi? Kenapa harus dua tahun? Nanti kan malah menimbulkan ketidakpastian. Padahal, teman-teman periset ini sebenarnya dia tidak ada urusan dengan instasinya, ya. Dia urusan sama passion dan aktivitas dia di grup risetnya.
Jadi, yang penting itu risetnya segera terfasilitasi dengan lebih baik. Itu kan? Fokus kita di situ. Kalau periset itu kan loyal pada profesi, bukan pada institusi. Kalau tentara, harus loyal pada institusi. Tetapi periset itu, loyal pada profesi itu.
Yang penting kan kita punya kapasitas untuk memfasilitasi periset kita jauh lebih baik. Kalau dulu, apa-apa kurang. Enggak punya uang karena sendiri-sendiri kan? Sekarang (anggaran) dikumpulin. Mau bikin apa saja bisa sekarang.
Ada permintaan agar litbang tertentu tidak di bawah BRIN atau diintegrasikan paling lambat?
Tidak ada. Kan bunyi perpresnya tidak begitu. Makanya, bunyi perpresnya sudah clear kan? Yang di Pasal 65 ayat (2). Itu juga ada ayat tambahan. Itu karena Kemenkeu dan Bappenas, waktu itu juga kebingungan ini yang diintegrasikan apanya. Apakah hanya program, aset saja, atau SDM?
Nah, sekarang kan sudah clear karena yang mengintegrasikan itu bukan BRIN. BRIN itu hanya menerima. Yang mengeksekusi program Bappenas, mengeksekusi integrasi kelembagaan Menpan-RB. Saya tuh menerima dan saya menyiapkan. Program apa nih kalau semua (lembaga riset) masuk kita? Akan revitalisasi program atau bagaimana?
Bagaimana nasib peneliti, perekayasa di LPNK dan litbang K/L?
Ya, enggak ada hubungannya, kan, mereka ada di grup riset. Kan tinggal ganti bendera saja.
Mereka otomatis jadi pegawai BRIN?
Loh, iyalah.
Ada proses penyesuaian pegawai? Selain periset dan perekayasa, kan ada pegawai administrasi dan pegawai-pegawai lainnya di LPNK dan litbang K/L.
Kalau periset, pada prinsipnya, enggak ada. Karena periset itu kan sudah jelas kepakarannya. Masak periset bahasa disuruh riset fisika? Kan enggak mungkin. Periset bahasa, ya, riset bahasa. Apanya yang berubah? Kan dia (periset) enggak mungkin diubah, wong, dia bekerja sesuai kepakarannya.
Kalau administrasi tentu berubah. Ya, tentu kita tata ulang. Kita lakukan pemetaan kemudian kita tata ulang. Nah, ini kita sedang berproses untuk pemetaan. Jadi, kita beri kesempatan semua orang untuk mengajukan preferensi. Kita beri tiga opsi, mau ke mana. Mungkin ada yang mau (kerja) di kampungnya, misalnya, ya. Kan kita ada di mana-mana sekarang. Atau ingin jadi bagian humas atau keuangan? Ya, boleh-boleh saja.
Nah, setelah pemetaan itu, kita lakukan penataan ulang. Jadi, sebisa mungkin mendekati preferensinya, ya. Jadi, ya, ini justru kesempatan. Yang tadinya mau pindah, mungkin susah. Ini kan kesempatan dia cari tempat yang lebih cocok, baik lokasinya maupun substansinya.
Unit pelaksana teknis (UPT) kerja di 4 LPNK itu biasanya memberi layanan ke masyarakat, terkait dengan mekanisme penerimaan negara bukan pajak. Setelah integrasi, apa unit kerja itu akan berubah layanannya?
Begini, kalau unit kerjanya pasti berubah. Pasti kita ubah. Kan, banyak yang overlapping juga. Kalau enggak, ngapain diintegrasi. Diintegrasi itu, kan, supaya yang tadinya overlapping, bisa di slim-kan sehingga lebih efisien, lebih produktif.
Tetapi, tugas dan fungsi asli itu, kan, kita pertahankan. Kalau memang masih perlu, ya, kita pertahankan. Tetapi, kan, tidak harus unit yang sama yang melalukan. Kalau unit yang mirip ada dua, ya, kita jadikan satu. Semua di bawah BRIN, enggak ada mandiri.
Seperti apa model dan teknisnya?
Semua sama, jadi unit kerja juga. Cuma di bawah BRIN. Misalnya, tadi ada unit kerja pusat penelitian bioteknologi di BPPT, LIPI juga ada pusat penelitian bioteknologi. Ya, sudah. Itu jadi satu di BRIN. Sama saja. Sehingga tidak ada overlapping, tidak ada pemborosan anggaran. Itu gunanya integrasi. Sumber dayanya jadi lebih kuat, orangnya lebih banyak, anggarannya tidak tercecer, infrastrukturnya lebih lengkap.
Pada saat integrasi berlangsung atau rampung, pimpinan OR dan organisasi pendukung itu akan berkantor di mana?
Ya, kalau pusat riset, enggak ada pindah kan? Pusat riset geologi, ya, pusat geologi, kan. Artinya, laboratoriumnya di situ. Ngapain juga (pindah)? Masak dipindah alat-alatnya? Enggak mungkin juga kan? Makanya, yang berubah itu kan hanya eselon satu.
Jadi, perekayasa dan peneliti di bawah eselon satu masih sama kantornya?
Oh, iya. Makanya saya sampaikan bedanya (Perpres baru) dengan Perpres yang lama. (Di Perpres lama), semua turun. Tetapi, kalau perpres baru kan, yang di bawah eselon satu, semua tetap sehingga dia tetap berfungsi sebagaimana biasa. Tidak ada penurunan unit kerja yang kecil gitu. Yang dikorbankan, yang dihilangkan, cuma eselon satunya. Ya, saya mohon maaf, kita harus korbankan eselon satu. Ya, tidak apa-apa. Kalau diangkat, kan kapan saja bisa diturunkan.
Salah satu yang dipersoalkan saat Perpres lama terbit ialah tidak adanya partisipasi publik dalam penyusunan dan pembahasan. Itulah kenapa, misalnya, terjadi kontradiksi antara isi Perpres dan sejumlah UU sehingga pemerintah mesti menerbitkan Perpres baru. Bagaimana dengan Pepres kali ini? Apakah para pakar, komunitas riset, dan LSM, misalnya, dilibatkan?
Oh, iya. Proses (pembuatan kebijakan) itu, kan, sudah lama. Integrasi lembaga litbang itu problem yang sudah kita ketahui lama, sejak saya pulang sebagai diaspora. Itu sudah didiskusikan sebelum Pak Jokowi dilantik. Saya ingat betul karena saya yang presentasi dari LIPI. Tahun 2014, September. Itu sudah lama didiskusikan karena problem yang saya sampaikan tadi sudah lama. Bahkan, sejak zaman Bung Karno. Cita-cita Bung Karno kan menyatukan (lembaga riset). LIPI itu kan penyatuan. Pak Habibie pun begitu, bahwa PR (pekerjaan rumah) belum selesai. Kita semua tahu bahwa ini pemborosan. Sejak tahun 60-an, ditulis bagaimana kita harus membenahi lembaga riset. Apabila tidak dilakukan, akan terjadi pemborosan. Kita semua sudah tahu sejak awal, tetapi kehilangan timing. Tidak segera dilakukan, jadi hilang.
Jadi, kalau ditanya, ini aspirasi sudah ditanya? Kita semua tahu bahwa ini problem. Tetapi, kan keputusan tidak menyenangkan semua orang, ya. Makanya, kita perlu pimpinan, Presiden, perlu Kepala BRIN, untuk membuat keputusan. Keputusan publik kan tidak untuk menyenangkan publik. Yang senang kan banyak. Tetapi, yang tidak senang juga ada. Tetapi yang senang, kan banyak.
Ada banyak perekayasa dan ASN juga yang resah dengan proses integrasi ini. Apakah aspirasi mereka juga didengar saat menyusun Perpres?
Loh, kalau Perpres itu ranah Presiden dong. Peneliti itu ASN. Yang bentuk lembaga (BRIN) itu kan Presiden. Kalau (yang buat lembaga) itu Presiden, itu kewenangan Presiden. Mau Presiden dulu bikin LIPI, terus bubarin, itu (wewenang) presiden.
Kalau ASN itu numpang hidup. Bukan ikut punya. Enggak boleh salah. Kita (ASN) numpang hidup. Alhamdulillah, boleh kerja di LIPI. Kan begitu? Yang punya itu kan negara dan negara pasti punya pertimbangan. Itu kan bagian dari strategi untuk mencapai tujuan bernegara.
Itu salah. Itu salah. ASN itu yang harus melaksanakan Perpres. Kan, ASN kita dibayar untuk layani teman-teman. Loh kok ASN minta (ikut didengar). Iya, kan? Presiden mengangkat ASN untuk melaksanakan (Perpres). Kalau dia macam-macam, bagaimana? Ya, enggak benar itu. Kalau enggak cocok (dengan kebijakan), berhenti. Boleh juga berhenti. Teman saya juga banyak yang berhenti dari dulu.
Untuk teman-teman peneliti dan rekayasa yang gelisah dan merasa bakal tersingkirkan, apa pesan Anda?
Ya, kalau dari saya, saya, kan juga periset. Sebagai periset, menurut saya, BRIN peluang baru. Kami terbuka lebih lebar. Kita bisa kumpul dengan grup riset, dengan teman sekepakaran yang lebih banyak. Kita bisa punya semua alat riset yang tidak pernah bisa dibeli saat ini karena sekarang punya anggaran. Iya, kan?
Kalau ada yang galau, saya juga bisa paham. Karena ini kan namanya perubahan. Ya, biasa kan? Ini bagian dari, kalau orang kerja itu, ada zona nyaman. Padahal, kalau periset beneran, dia tidak terpengaruh. Karena kan dia ada di grup riset dan di pusat riset yang notabene pasti enggak berubah ke mana-mana.
Beda kalau yang diintegrasikan itu lembaga birokrasi murni. Lembaga birokrasi murni, ya, langsung berubah semua. Tetapi kalau periset, kan, basisnya periset itu kepakarannya. Jadi, enggak akan ke mana-mana. Justru dia mempunyai kesempatan untuk punya grup yang lebih kuat dengan dukungan riset yang lebih bagus, ya.
Apa harapan dan janji Anda ketika proses integrasi lembaga riset dengan BRIN itu rampung?
Ya, jadi riset kita itu problemnya ada dua. Pertama, didominasi lembaga pemerintah. Itu saja sudah keliru karena di luar negeri, di semua negara, tidak begitu. Di China pun, yang negara komunis saja, tidak begitu.
Kedua, sudah didominasi pemerintah, critical mass-nya rendah. Karena apa? sumber dayanya diecer terlalu banyak ke lembaga pemerintah itu. Jadi, lembaga riset itu harus banyak. Tetapi, yang banyak itu harus lembaga riset swasta, bukan pemerintah. Pemerintah cukup satu atau dua (lembaga riset).
Itu sebabnya kita bentuk BRIN. Nah, ini pemerintah diecer-ecer. Semua merasa kurang. Ya, sekarang ngurus diri sendiri saja tidak bisa. Apalagi ngurus orang lain. Nah, dengan sekarang kita bergabung jadi satu, resources-nya sudah terkumpul besar kan? Kita bisa lakukan apa saja. Mau riset apa saja bisa.
Kalau dulu, riset mau bikin pesawat perlu Rp200 milliar. Anggaran dia saja Rp500 milliar. Apa separuh itu untuk gaji. Sudah bangkrut kalau bikin pesawat. Kalau sekarang, kita kan jauh lebih besar sehingga kita tidak sampai kolaps.
Riset itu mahal. Kalau kita tidak mampu sediakan alat-alat, infrastruktur yang bagus, ya, perisetnya sampai kapan pun tidak akan bisa ngapa-ngapain. Mereka juga tidak akan menjadi periset bagus karena tidak terlatih.