Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan menyatakan, meski operasi tangkap tangan (OTT) KPK kepada pejabat selevel menteri dalam tiga minggu terakhir patut diapresiasi, namun kepercayaan publik terhadap lembaga antikorupsi belum pulih benar.
Untuk itu, KPK harus membuktikan kepada masyarakat bahwa penyidikan tidak berhenti hanya sampai pelaku/tersangka, tetapi menelusuri seluruh aliran dana korupsi ke mana saja, siapa yang menikmatinya, dan membuat tuntutan yang maksimal bagi koruptor.
Di sisi lain, korupsi yang melibatkan pihak swasta/lainnya masih sangat tinggi, bahkan kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar. Ada baiknya pemerintah melakukan pembenahan sistem pengadaan barang dan jasa yang lebih transparan, mengurangi secara signifikan proses penunjukan langsung dalam pengadaan barang/jasa karena sering menjadi celah korupsi.
"Dalam masa pandemi, proses lelang terbuka harus tetap dijalankan, tentu saja dengan mekanisme yang disederhanakan, tetapi tetap transparan," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (12/9).
Dia menyebutkan, presiden perlu lebih serius dan memimpin langsung reformasi birokrasi yang lebih berintegritas, karena korupsi di lingkungan birokrasi sangat tinggi dan paling banyak melibatkan menteri dan ASN.
"Melakukan evaluasi terhadap kinerja Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) yang kurang optimal, sehingga celah korupsi masih bisa dimanfaatkan oleh oknum birokrasi. Memperluas ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil dalam pencegahan, pemantauan dan pengawasan anggaran negara agar potensi korupsi semakin bisa diminimalisir," papar dia.
Manajer Riset Fitra Badiul Hadi menambahkan,
Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi harapan besar masyarakat terhadap penindakan para koruptor. Namun realitasnya, bangsa ini masih terjerembab pada kubangan korupsi yang semakin massif dilakukan oleh pengelola negara.
Berdasarkan data putusan Mahkamah Agung, sampai 2015 terdapat 2551 orang terpidana korupsi dengan total kerugian negara ditaksir mencapai Rp203,9 triliun atau setara dengan 8% APBN 2020 sebesar Rp2.540.4 triliun. Dari kasus di atas terpidana kosupsi didominasi oleh Pegawai Negeri Sipil, sebanyak 1.115 orang dengan total kerugian negara Rp26,9 triliun. Kedua, legislatif dengan terpidana korupsi 480 orang, jumlah kerugian negara Rp2,0 triliun. Ketiga, swasta/lainnya terpidana sebanyak 670 orang dengan kerugian negara Rp82,6 triliun. Keempat, Badan Usaha Milik Negara/Daerah terpidana korupsi 149 orang, jumlah kerugian negara Rp8,7 triliun. Kelima, kepala daerah 75 orang, jumlah kerugian Rp1,8 triliun, dan keenam, lembaga independen dengan terpidana korupsi 62 orang dengan kerugian negara Rp81,8 triliun.
"Kasus korupsi yang meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan minimnya integritas dari masing-masing individu pejabat negara, sehingga membuka ruang yang cukup lebar bagi langgengnya praktik korupsi di negeri ini. Hal ini dibarengi dengan lemahnya penegakan hukum dalam memberantas korupsi. Korupsi masih tinggi di level kementerian/lembaga dengan rata-rata 40 kasus dalam empat tahun terakhir. Di lembaga legislatif (DPR dan DPRD) rata-rata kasusnya 8-9 kasus. Yang tinggi korupsi di tingkat daerah dan mencapai puncaknya di 2019 dengan 66 kasus," papar dia.