Keputusan Ridwan Kamil disorot berbau nepotisme
Keputusan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam membentuk Tim Akselerasi Pembangunan (TAP) disorot lantaran berbau nepotisme. Keputusan Gubernur tersebut disahkan pada November 2018.
Dalam tim yang dipimpin Rektor Universitas Padjadjaran Bandung Tri Hanggono itu ada beberapa nama bekas tim sukses, adik kandung serta sepupu Ridwan Kamil.
Meski Ridwan Kamil memastikan timnya bekerja dengan maksimal dan profesional, banyak penilaian disampaikan sejumlah kalangan. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menilai adanya adik kandung dan sepupu Gubernur Jabar tersebut masuk ke dalam TAP kurang tepat.
"Itu merupakan bagian dari hak Ridwan Kamil, tetapi sebaiknya dihindari karena banyak pihak melihat ini bagian dari nepotisme. Apabila tidak transparan akan memunculkan banyak persepsi terkait politik kepentingan bukan hanya di masyarakat tetapi pada internal pemerintahan yang dipimpin," kata Ujang dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (21/3).
Pasalnya, meski Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, mengaku dapat bekerja secara profesional dalam membagi momentum antara profesi dan keluarga. Tidak menampik beberapa fakta lapangan hal tersebut sulit sekali terjalin.
"Apapun alasannya. Entah karena kemampuan adiknya RK yang dianggap mampu untuk bekerja di TAP. Tetap saja masyarakat akan memandang bahwa hal tersebut bagian dari praktik menyuburkan nepotisme," tuturnya
Putra daerah asal Jawa Barat ini pun berharap, Gubernur Jabar tersebut dapat memikirkan langkah solusi yang terbaik agar saat berjalannya TAP tersebut dapat maksimal tanpa ada kontroversi.
"Praktik-praktik yang mengarah ke nepotisme sebaiknya dihindari. Agar tidak ada konflik kepentingan. Kan bisa dicari yang lain yang lebih kompeten, berilah kesempatan," tegas Ujang.
Hal senada juga disampaikan oleh, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang. Dia mengingatkan Ridwan Kamil soal potensi konflik kepentingan dalam pembentukan TAP. Pasalnya, dalam tim yang dibentuk Emil itu muncul nama adik kandung dan sepupunya.
"Rekomendasi KPK selalu mengingatkan untuk menghindari konflik kepentingan. Itu yang utama dalam menghindari prilaku korup," kata Saut pada kesempatan terpisah.
Tim akselerasi yang dibentuk Emil menjadi sorotan lantaran diisi adik kandung, sepupu, serta sejumlah mantan tim suksesnya saat berlaga dalam pemilihan gubernur.
Tim itu dibentuk lewat Keputusan Gubernur Nomor 060.1/Kep.1244-Org/2018 dan diketuai oleh Rektor Universitas Padjajaran Tri Hanggono. Total ada 19 orang di dalamnya.
Adik Emil, Elpi Nazmuzzaman dan sepupunya menjabat sebagai Dewan Eksekutif TAP Jabar. Sedangkan, bekas Wakil Ketua Tim Kampanye Arfi Rafnialdi menjadi Ketua Harian TAP Jawa Barat.
Selain itu, muncul pula nama Sri Pujiyanti yang menjadi Wakil Sekretaris dan Lia Endiani dipercaya Ketua Tim Media Tim Kampanye. Keduanya kini berada dalam Dewan Eksekutif TAP Jabar.
Ridwan Kamil sendiri mengatakan tim itu bertugas memberi masukan terkait kebijakan serta memastikan visi misi gubernur berjalan lancar sesuai target.
"Sehingga rakyat melihat Jawa Barat maju lancar," ujarnya.
Kendati demikian, Saut mengatakan pelibatan keluarga dalam sebuah kebijakan pemerintah bertentangan dengan azas manajemen modern.
Dia menilai meski pembentukan tim itu telah diatur penganggarannya, tetap saja potensi konflik kepentingan tetap ada. "Tidak melibatkan keluarga itu jadi hal penting," kata dia.
Saut mengatakan akan berkoordinasi dengan koordinator KPK wilayah Jawa Barat untuk mencermati pembentukan tim itu.
Nasib Bank Jabar & Banten
Sejak diberhentikannya Ahmad Irfan dari posisi Direktur Utama PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (BJBR) pada 11 Desember 2018 lalu, status direktur utama dipegang pejabat pelaksana tugas (Plt) dengan berbagai keterbatasan kewenangan.
Beberapa informasi terkait dugaan kekacauan BJB pun menyeruak mulai dari divisi umum tentang proyek yang belum terbayarkan hingga masalah pialang asuransi pada divisi administrasi kredit yang kacau hingga banyaknya kredit fiktif.
Berdasarkan data yang dihimpun setidaknya terdapat empat kasus kredit fiktif Bank BJB dalam 10 tahun terakhir. Yakni kredit bermasalah di Bank BJB Cabang Sukajadi Bandung pada 2008-2010, kredit fiktif Bank BJB Cabang Surabaya pada 2013, kredit fiktif Bank BJB Cabang Sukabumi pada 2012, dan kredit fiktif Bank BJB Syariah pada 2014-2016.
Menanggapi hal tersebut, Pakar ekonomi Universitas Pasundan Bandung, Acuviarta Kartabi menilai penunjukan Plt pada Badan Bank BJB memiliki dampak besar terhadap kinerja bank kebanggaan warga Jabar tersebut.
Sebab menurutnya, Plt punya kewenangan yang terbatas utamanya dalam pengambilan kebijakan pengkucuran kredit yang masuk kategori besar.
Selain itu, Potensi kehilangan pendapatan yang besar jelas akan terjadi dan akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan laba dan kinerja secara umum.
“Laba yang besar hanya bisa dihasilkan dari kredit yang besar juga,” jelasnya dalam keterangan tertulis.
“Penundaan RUPS dalam hal pemilihan dirut dan direksi lain jelas akan mengganggu kelancaran operasional Bank BJB, sehingga pada akhirnya akan berdampak pada kinerja BJB. Semakin berlama-lama akan buruk untuk BJB,” imbuhnya kembali.
Terkait berapa potensi kehilangan pendapatan BJB, dirinya mengaku perlu analisis khusus berdasarkan pada data yang ada.
Namun yang pasti, potensi pendapatan akan hilang dan BJB akan kehilangan kesempatan bisnis karena terkait dengan risiko reputasi.
“Misalnya mitra bisnis akan berpikir ulang untuk melakukan kerja sama karena terkait dengan status Plt yang berkepanjangan dan mengandung unsur ketidakpastian yang cukup tinggi,” paparnya.
Ia pun menambahkan, selain peluang pendapatan yang hilang, status Plt Dirut justru akan memperburuk reputasi BJB.
“Muncul risiko reputasi. Semakin lama ada ketidakpastian justru akan disorot publik sebagai bank go public yang tidak transparan. Ujung-ujungnya akan berdampak pada harga saham BJB dan nasabahnya,” jelasnya.
"Agus Mulyaman sebagai plt yang juga ikut mencalonkan diri calon dirut ditakutkan memiliki konflik interest, sehingga idealnya untuk menghindari konflik off interest setidaknya Plt dijalankan oleh direksi yang ada, yang tidak berkompetisi menjadi direksi," tambahnya.
Untuk itu, dirinya mengusulkan agar segera dilakukan RUPS dan penetapan dirut dan direksi definitif. Sebab mereka juga harus melewati fit and proper test yang jelas jelas akan menghabiskan waktu cukup lama.
"Kondisi saat ini Plt ditunjuk direktur kepatuhan sehingga banyaknya keterbatasan yang bersangkutan menjalankan operasional Bank BJB," urainya.
Lebih lanjut, ia berharap proses pemilihan berlangsung secara transparan dan sesuai aturan yang berlaku, mengingat BJB adalah perusahaan go public.
“Emil harus banyak melibatkan BJB dalam kegiatan pembangunan strategis dan pemberdayaan masyarakat jabar agar sisi makro dan mikro Jabar tumbuh bersifat masif,” kata dia.
Dirinya menilai, Pemprov Jabar terlalu dominan dalam menetapkan kebijakan Bank BJB.
Ia menilai hal ini tidak etis karena pemilik saham lainnya hampir tidak pernah dimintai masukan atau pendapat saat memutuskan langkah-langkah strategis.
"Pemprov tidak serba semuanya tahu. Ridwan Kamil harus mendengarkan kabupaten/kota sebagai pemegang saham lain," tegasnya.
Salah satunya, lanjut Acuviarta, terkait seleksi calon direksi yang saat ini sudah memasuki tahap akhir. "Harusnya melibatkan komponen lain, ada proses mendengarkan masukan, pendapat dari pemegang saham lain. Kepemilikan saham pemprov memang paling besar (38%), tapi bukan mayoritas," jelasnya.