Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya mengambil langkah hukum terhadap Direktur PT Smart Marsindo, Shanty Alda Nathalia. Pangkalnya, ia dua kali mangkir dari panggilan sebagai saksi kasus dugaan suap yang menyeret Gubernur Maluku Utara (Malut) nonaktif, Abdul Ghani Kasuba (AGK).
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, mengatakan, Shanty dapat dianggap sengaja menghindari pemeriksaan dan memberikan keterangan sebagai saksi. Sehingga, KPK bisa melakukan jemput secara paksa terhadap yang bersangkutan jika keterangannya dibutuhkan untuk membuktikan suatu perkara.
"Jika materi keterangan sangat menentukan terbukti atau tidak terbukti tindak pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum (JPU), maka saksi wajib untuk dihadirkan dan jika mangkir, bisa dipaksa hadir," katanya saat dikonfirmasi, Jumat (1/3).
Terpisah, mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo, menilai, komisi antirasuah harus berani melakukan penjemputan paksa terhadap para saksi yang keterangannya diperlukan apabila mangkir dua kali tanpa alasan yang patut. Sebab, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law).
Ia melanjutkan, para penyidik membutuhkan keterangan Shanty untuk membuat kasus dugaan suap Abdul Ghani kian terang. Makanya, Yudi berharap, calon anggota legislatif (caleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini di kooperatif dalam menjalani proses hukum.
"Yang bersangkutan bisa dijemput paksa sesuai hukum acara yang berlaku jika mangkir dua kali tanpa alasan yang patut," jelasnya.
Sikap KPK
Sementara itu, KPK berencana kembali memanggil Shanty mengingat keterangannya dibutuhkan dalam proses hukum terhadap Abdul Ghani Kasuba. Namun, belum diketahui pasti kapan ia akan dipanggil.
Sejauh ini, KPK intensif memeriksa beberapa bos perusahaan tambang. KPK dikabarkan mengembangkan kasus suap Abdul Gani Kasuba, khususnya soal dugaan penerimaan uang dari izin usaha pertambangan (IUP).
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengakui pihaknya tidak menutup kemungkinan menyelidiki dugaan praktik suap pemberian izin pertambangan nikel di Malut. Apalagi, setelah Direktur Eksternal PT Trimegah Bangun Persada Tbk, Stevi Thomas (ST), ditetapkan tersangka.
"Dalam proses penyidikan, tidak menutup kemungkinan itu juga ada dugaan penerimaan yang bersumber dari proses pemberian izin tambang nikel itu. Barangkali itu yang didalami oleh penyidik," ulasnya.
Alex menerangkan, Malut merupakan lumbung nikel di Tanah Air. Karenanya, banyak pengusaha dan perusahaan yang berusaha mendapatkan IUP. Namun, berkaca dari sebagian besar kasus yang ditangani KPK, perizinan seringkali menjadi komoditas bagi kepala daerah untuk mendapatkan cuan.
"Kita ketahui bersama di Malut itu, kan, salah satu sumber nikel. Banyak perusahaan-perusahaan dan usaha yang berusaha mendapatkan izin penambangan di sana," bebernya.
KPK hingga kini telah menetapkan 7 tersangka suap proyek perizinan dan jual beli jabatan usai operasi tangkap tangan (OTT) di Malut dan Jakarta pada 18 Desember 2023. Mereka adalah Abdul Ghani Kasuba; Kadis Perumahan dan Pemukiman Malut, Adnan Hasanudin; Kadis PUPR Malut, Daud Ismail; Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa (BPPBJ), Ridwan Arsan; ajudan, Ramadhan Ibrahim; Stevi Thomas; dan Kristian Wuisan (swasta).
Dalam perkaranya, Abdul Ghani ikut serta dalam menentukan siapa saja kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek Pemerintah Provinsi (Pemprov) Malut. Untuk menjalankan misinya tersebut, ia memerintahkan Adnan, Daud, dan Ridwan menyampaikan berbagai proyek, seperti pembangunan/renovasi jalan dan jembatan sebesar Rp500 miliar.
Dari proyek-proyek itu, Abdul Ghani lantas mematok besaran setoran kontraktor kepadanya. Ada beberapa kontraktor yang dimenangkan dan menyatakan kesanggupan memberikan "upeti", di antaranya Kristian.
Setelah sepakat, Abdul Ghani meminta Adnan, Daud, dan Ridwan memanipulasi progres pekerjaan seolah-olah rampung di atas 50% sehingga anggaran dapat segera dicairkan.
Di sisi lain, Abdul Gani diduga menerima suap dari Stevi Thomas melalui Ramadhan, yang disinyalir terkait pengurusan perizinan pembangunan jalan yang melewati perusahaannya. Ia juga diduga melakukan jual beli jabatan di lingkungan Pemprov Malut.