Kereta rel listrik, moda transportasi andalan yang harus berbenah
Pada 10 Maret 2019, kereta rel listrik (KRL) Commuter Line jurusan Jatinegara-Bogor mengalami kecelakaan di daerah Kebon Pedes, Tanah Sereal, Bogor, Jawa Barat. Meski tak ada korban jiwa, tetapi kecelakaan ini membuat sebagian masyarakat menjadi waswas. Terutama mereka yang setia menggunakan transportasi umum ini.
Rasa cemas pun dirasakan seorang pengguna jasa KRL Nur Hasanah. Warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini, setidaknya sebulan sekali mengunjungi saudaranya di Bogor.
“Memprihatinkan ya. Soalnya KRL itu kan penumpangnya lebih banyak dibanding kendaraan lain. Mudah-mudahan sih enggak ada kecelakaan lagi,” kata Nur saat berbincang dengan reporter Alinea.id, Selasa (12/3).
Berbeda dengan Nur, seorang pengguna KRL lainnya Abi Yudha mengaku tak terlalu khawatir. Warga Bogor ini, rutin Senin hingga Jumat berangkat menuju Jakarta untuk bekerja. Ia pun mengatakan pelayanan yang diberikan pengelola KRL cukup baik. Ia masih menganggap wajar peristiwa tergulingnya KRL di Kebon Pedes.
“Itu masih wajar, mungkin karena ada error,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (12/3).
Tak ada masalah
Sepanjang 2018, terjadi tiga peristiwa KRL anjlok. Pada 13 Oktober 2018, KRL jurusan Tanah Abang-Parung Panjang anjlok di dekat Stasiun Palmerah. Kemudian, pada 21 November 2018, KRL jurusan Parung Panjang-Tanah Abang anjlok di daerah Cisauk, Tangerang.
Lantas, pada 14 Desember 2018, kereta barang pengangkut peti kemas anjlok di Stasiun Jatinegara. Peristiwa ini membuat jadwal KRL terganggu.
Menurut Vice President Communication PT Kereta Commuter Indonesia Eva Chairunisa, pihaknya sudah berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi pengguna KRL. Ia mengatakan, pengecekan prasarana dan sarana KRL selalu dilakukan setiap hari, pada pukul 00.00 WIB-04.00 WIB.
“Itulah makanya KRL tidak bisa melayani 24 jam, karena pada jam tersebut kami dan pihak KAI (Kereta Api Indonesia) melakukan pengecekan mesin, sistem, dan kondisi gerbong kereta,” kata Eva saat ditemui di Stasiun Sudirman, Jakarta, Selasa (12/3).
Perawatan sarana KRL ini dilakukan petugas yang disebut juru penilik jalur. Pemeriksaan ini mencakup pula pengecekan alat, rem, sistem buka-tutup pintu, dan pembersih kaca depan kereta.
“Kalau ada bagian yang tidak normal, kereta tidak bisa beroperasi. Sarana yang keluar dipastikan sudah melalui proses pemeriksaan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga sudah menginformasikan keselamatan bagi penumpang, melalui media poster atau video yang terpampang di layar yang ada di dalam kereta. Ada pula alat tuas tombol darurat di kereta.
“Sebagian petugas di dalam kereta juga kami siagakan,” kata dia.
Eva berdalih, saat peristiwa kecelakaan di Kebon Pedes, sebagian penumpang mendapat bantuan penyelamatan dari petugas. Di samping itu, kata dia, beberapa penumpang juga ada yang sudah membuka tuas tombol darurat untuk menyelamatkan diri.
Perlintasan sebidang
Sementara itu, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menduga, kecelakaan KRL di Kebon Pedes disebabkan tak terpenuhinya standar operasional. Ia mengatakan, seharusnya setiap pemberangkatan KRL terlebih dahulu melewati pengecekan prasarana dan sarana, termasuk pemeriksaan kesehatan masinis.
“Mungkin saja kemarin ada poin standar operasional prosedur yang kurang ditepati,” kata dia saat dihubungi, Selasa (12/3).
Peristiwa kecelakaan pada Minggu (10/3) memang hanya menyebabkan 17 penumpang luka-luka. Namun, Djoko berpendapat, perlu peningkatan jaminan keselamatan dari pihak pengelola transportasi, yakni PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) dan PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI).
Agar tak timbul korban jiwa lebih banyak, Djoko pun menyarankan untuk meningkatkan penanganan sistem perlintasan sebidang. Perlintasan sebidang adalah perpotongan sebidang antara jalur kereta dengan jalan.
Hal ini bertujuan mencegah kecelakaan kereta yang menimbulkan korban jiwa lebih banyak di lokasi yang berdekatan dengan jalan raya dan permukiman.
“Jalur kereta api dan jalan raya harus terpisah, harus steril, dan tidak bertumpuk. Lintasan kereta api tak boleh sebidang dengan jalan raya,” ujar Djoko.
Sayangnya, kata Djoko, sebagian besar lintasan kereta di kawasan Jabodetabek terlalu dekat dengan wilayah padat penduduk.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian disebutkan beberapa ketentuan hukum terkait perlintasan sebidang, yakni perlintasan tak boleh dibuat sebidang dengan lintas bawah atau jalan layang, perlintasan yang sebidang harus melalui izin pihak terkait, dan harus memenuhi standar keselamatan.
Djoko mengatakan, masih banyak perlintasan di Jakarta yang dibiarkan sebidang dan tidak berizin. “Ini membahayakan keselamatan warga,” ujarnya.
Maka, Djoko menyarankan adanya evaluasi wilayah yang termasuk dalam perlintasan sebidang. Menurut dia, lintasan kereta harus bebas hambatan. “Jadi seperti jalan tol. Tidak boleh ada lintasan lain di dekat jalur lintasannya,” tuturnya.
Masih diinvestigasi
Dihubungi terpisah, Kepala Humas Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Indrianto mengatakan, pihaknya masih mengumpulkan dan menganalisa data-data peristiwa untuk mengetahui penyebab kecelakaan.
“Sedikitnya proses investigasi memakan waktu sebulan,” tutur Indrianto saat dihubungi, Selasa (12/3).
Hal itu, menurutnya, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2013 tentang Investigasi Kecelakaan Transportasi.
“Kami masih olah data yang berasal dari berbagai pihak. Setelah selesai dipilah, kami akan diterbitkan preleminary report (laporan pendahuluan),” kata Indrianto.
Lebih lanjut, Indianto menuturkan, kecelakaan KRL membutuhkan analisa mendalam agar bisa menjadi acuan perbaikan sistem prasarana transportasi.
Ke depan, Eva mengatakan akan meningkatkan upaya pemeriksaan sarana kereta. Pihaknya juga masih menunggu hasil investigasi KNKT terkait insiden di Kebon Pedes.