Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017 seolah memberikan dampak tak berkesudahan bagi polarisasi masyarakat di Indonesia. Pilgub Jakarta 2017 menjadi contoh bagaimana politik identitas benar-benar mampu membelah masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia. Keputusan untuk memilih kepala daerah tidak lagi dilandasi dengan nalar rasional terkait kompetensi calon, tetapi lebih kepada sentimen identitas.
“Perbedaan-perbedaan muncul karena ada suatu obsesi akan kemurnian, suatu yang otentik, yang asli,” kata Professor Monash University Australia, Ariel Heryanto, menanggapi politik identitas yang berkembang di Indonesia.
Ujaran kebencian yang berkembang akibat dari politik identitas, kata Ariel, telah ada sejak sejarah manusia yang disebabkan oleh ketimpangan.
“Sekarang ujaran kebencian itu begitu hebat, sampai-sampai seorang calon presiden yang bagus adalah calon presiden yang bisa membenci a, b, c,” ucap Ariel.
Sejak Indonesia merdeka, jelas Ariel, Indonesia telah belajar membenci. Pertama-tama bangsa Indonesia membenci orang barat, Belanda, berkulit putih, dan semua yang asing-asing. “Jika membaca buku sejarah, kebencian itu sedikit banyak patut disalahkan pada Belanda yang melakukan agresi militer,” terangnya di Sudirman, Jakarta Selatan.
“Setelah merdeka, Soekarno mengajarkan untuk membenci neokolim (neo-kolonialisme dan imperialisme), imperialisme, dan mereka yang tidak revolusioner. Sampai akhirnya terjadi peristiwa 65, kita belajar juga membenci orang yang kita anggap tidak pancasila,” lanjut Ariel.
Kemudian sesudah reformasi 1998 Ariel mengamati bangsa Indonesia belajar dan diajar melihat siapa yang Islam dan siapa yang musuh Islam. “Jadi sejarah kita, itu adalah sejarah kebencian yang tidak ada habisnya, dengan dasar ketimpangan,” tambahnya.
“Kalau bicara ketimpangan, yang paling berhak untuk marah adalah orang yang dikorbankan. Bagaimana sekarang kita menjelaskan ketika orang yang paling ribut, benci, orang yang paling berkelimpahan?” tanya Ariel.
Menguatnya identitas keislaman di kalangan kelas menengah perkotaan saat ini tidak bisa dilepaskan dari konteks relasi Islam dan negara, yang terus mengalami pasang surut. Selain itu, arus informasi kini tak lagi dimonopoli oleh pemilik media massa konvensional.
Media sosial memungkinkan seseorang untuk memperpanjang kemampuan mendengar dan bersuara. Namun celakanya, menurut Ariel, teknologi ini tak pernah memperbesar kemampuan emosi dan nalar penggunanya.
Racun berupa kemurnian
Pascatumbangnya pemerintah Soeharto, masyarakat Indonesia dihadapkan pada permainan politik identitas. Menurut Ariel Heryanto, politik identitas tersebut bisa muncul karena lembaga-lembaga politik yang ada mandul.
Coen Husain Pontoh, editor IndoProgress dalam tulisannya di DW Indonesia mengatakan, secara ideologis tidak adanya kontestasi ideologi yang sehat dan terbuka di antara berbagai kekuatan politik yang ada, menyebabkan terjadinya dominasi politik identitas. “Absennya kontestasi ideologi menyebabkan seluruh kekuatan politik ini mengandalkan identitas sebagai daya tarik dan daya ikat konstituennya,” kata Coen.
Selain itu, menurut Coen, politik identitas ini juga terfasilitasi oleh perkembangan kelembagaan politik pasca-Soeharto, khususnya oleh maraknya pemekaran daerah-daerah baru hasil dari kebijakan otonomi daerah. Politik identitas karena mudah dicerap oleh panca indera, lanjut Coen, cenderung menyebabkan terjadinya pemisahan sosial secara horizontal. Hal ini bisa berujung pada politik isolasi sekaligus eksklusi. “Mengisolasi diri agar tidak tercemar pengaruh dari luar, sekaligus mengeksklusi karena yang lain itu dianggap tidak murni,” tulis Coen.
Ariel Heryanto melihat obsesi akan kemurnian tersebut tidak lebih daripada racun. Kerinduan pada yang murni, yang otentik, tidak hanya pada ras, tetapi juga pada ideologi. “Selama ada angan-angan untuk murni, kita akan berperang untuk mencari kemurnian,” ucap Ariel.