Kerusuhan dan petugas medis yang rentan kekerasan
“Hasil pantauan malam ini. Ambulans pembawa batu ketangkep pake logo @DKI Jakarta.”
Begitu tulisan pegiat media sosial Denny Siregar di akun Twitternya pada Kamis (26/9) dini hari. Tak berselang lama, Twitter dan Instagram TMC Polda Metro Jaya pun mengunggah video dan tulisan perihal lima ambulans milik Pemprov DKI Jakarta yang diamankan karena mengangkut batu dan bensin, yang diduga untuk molotov di dekat gardu Tol Pejompongan.
Pada Kamis (26/9) pagi, kedua cuitan itu hilang. Polisi mengakui ada kesalahan informasi terkait hal itu.
Pada 25 September 2019 terjadi ada aksi unjuk rasa yang dilakukan pelajar setingkat SMA di sekitar Gedung DPR-MPR untuk menolak revisi UU KPK dan RUU KUHP. Aksi itu berujung ricuh antara massa aksi dan aparat kepolisian.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam keterangannya menyebut, mobil ambulans yang ditahan pihak kepolisian hanya satu milik Pemprov DKI Jakarta. Empat lainnya, milik Palang Merah Indonesia (PMI).
Belakangan, diketahui, ada enam mobil ambulans yang ditahan pihak kepolisian. Satu milik Pemprov DKI, lima lainnya milik PMI. Selain itu, ada 34 petugas medis dan kru ambulans dari PMI dan Dinas Kesehatan DKI yang sempat ditahan. Semuanya sudah dipulangkan pada Kamis (26/9).
Pihak kepolisian pun sudah melakukan konfirmasi bahwa mobil ambulans itu diduga dipakai perusuh yang membawa batu dan bensin untuk berlindung.
Dugaan penganiayaan
Ada dua informasi yang saling bertentangan terkait dugaan penganiayaan yang dilakukan anggota Brimob kepada petugas medis saat kerusuhan tersebut.
Dalam keterangan tertulis, seperti dikutip dari Suara.com (26/9), Kepala Markas PMI Kota Jakarta Timur Eki Komalasari mengatakan, tim medis ambulans PMI Jakarta Timur mengalami perlakuan yang tidak mengenakan, dilakukan satuan Brimob.
Kejadian itu berlangsung saat tim medis sedang memberikan pertolongan pertama kepada korban kerusuhan di depan lobi menara BNI, Pejompongan, Jakarta. Mobil ambulans pun dirusak, sebelum akhirnya digiring ke Polda Metro Jaya. Keterangan tersebut berdasarkan kesaksian seorang perawat PMI Kota Jakarta Timur.
Namun, keterangan itu berbanding terbalik dengan informasi dari Ketua PMI Pusat bidang relawan Muhammad Muas. Di dalam keterangannya kepada CNN Indonesia (26/9), Muas menyampaikan, petugas medis itu terkena lemparan batu saat aksi unjuk rasa terjadi.
Ia pun menegaskan, informasi yang disampaikan PMI Kota Jakarta Timur tidak benar. Keterangan Muas berdasarkan kesaksian tiga orang petugas medis PMI Kota Jakarta Timur.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Markas PMI Kota Jakarta Timur Eki Komalasari enggan berkomentar lebih jauh. Petugas medis yang diduga menjadi korban pun takbisa ditemui karena masih dalam proses pemulihan trauma.
“Saya diarahkan untuk tidak memberikan informasi lagi terkait dengan kronologis pengrusakan karena pihak Polda dan PMI Pusat sudah membuat pernyataan. Jadi clear semuanya,” ujar Eki saat dihubungi Alinea.id, Kamis (3/10).
Saat dikonfirmasi mengenai pengembangan kasus ini, pihak kepolisian pun tak memberikan keterangan.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Sri Widyastuti mengatakan, mobil ambulans dan tim medis yang diperbantukan merupakan permintaan resmi Kepala bidang Dokter Kesehatan Polda Metro Jaya.
Menurutnya, pihak kepolisian juga sudah memulangkan tiga tim medis yang berasal dari Puskesmas Pademangan. Sayangnya, mereka masih mengalami cedera dan trauma ringan.
“Kalau gambaran umum, sebagian besar (cedera) ringan. Hanya sebagian kecil yang (cedera) sedang. Ada yang lukanya harus dijahit,” tutur Sri di Balai Kota Jakarta, Rabu (2/10).
Sementara itu, anggota Ombudsman Ninik Rahayu mengaku belum menerima laporan dugaan intimidasi dan penganiayaan yang menimpa petugas medis saat kerusuhan pada 25 September 2019.
Ninik mengatakan, beragam versi cerita yang beredar, membuat Ombudsman perlu memastikan terlebih dahulu kebenarannya. Ombudsman juga tengah melakukan uji forensik terhadap video oknum aparat yang menembakkan gas air mata ke arah mobil ambulans.
“Kalau misalnya itu (penganiayaan) terjadi, para petugas medis bisa meminta bantuan kepada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) agar diberi perlindungan. Kalau LPSK tidak memfasilitasi atau tidak merespons, bisa dilaporkan kepada Ombudsman,” ujar Ninik saat dihubungi, Kamis (3/10).
Ninik pun menuntut kepolisian profesional dalam menjalankan tugasnya. Tak terkecuali, yang menyangkut aparat dalam institusinya.
Petugas medis dilindungi
Terlepas benar atau tidaknya penganiayaan itu, pendiri dan pembina Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Joserizal Jurnalis menegaskan, berkaca dari kerusuhan 21-22 Mei 2019, seharusnya polisi belajar mengenai Konvensi Jenewa.
Menurut Joserizal, ketika menjalankan tugasnya di area berbahaya, Komite Internasional Palang Merah (International Committee Of The Red Cross/ICRC) dan Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabut Merah (International Federation of Red Cross and Red Cresecent Societies/IFRC) memperoleh perlindungan, seperti yang diatur di dalam Konvensi Jenewa IV 1949, serta Protokol Tambahan I dan II 1977.
Hukum kemanusiaan internasional pun mewajibkan kubu yang bersengketa membedakan antara warga sipil dan relawan kemanusiaan dengan kombatan atau orang-orang yang berhak ikut serta secara langsung di dalam pertempuran.
Menurut buku Protokol Tambahan pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang Berhubungan dengan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional(Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II) (2003), terdapat beberapa pasal yang melindungi petugas medis.
Misalnya, tercantum di dalam Pasal 15 tentang perlindungan bagi anggota-anggota dinas kesehatan sipil dan dinas keagamaan, serta Pasal 16 yang mengatur perlindungan umum tugas-tugas kesehatan.
Di Pasal 15 ayat 1 disebutkan, anggota-anggota dinas kesehatan sipil harus dihormati dan dilindungi. Sementara di ayat 4 disebutkan, anggota-anggota dinas keseahtan sipil harus mempunyai hak masuk ke setiap tempat di mana jasa-jasa mereka sangat diperlukan dengan dikenakan tindakan-tindakan pengawasan dan pengamanan selama pihak yang bersangkutan dalam sengketa menganggapnya perlu.
Sedangkan Pasal 16 ayat 1 disebutkan, di dalam keadaan apa pun seseorang tidak boleh dihukum karena melakukan kegiatan-kegiatan kesehatan yang sesuai dengan norma-norma etika kedokteran, tidak peduli apakah orang tersebut menarik manfaat dari kegiatannya itu.
Berdasarkan Protokol I Konvensi Jenewa 1977, penyerangan terhadap relawan kemanusiaan termasuk jenis pelanggaran berat. Legislasi nasional juga mengharuskan setiap negara peserta yang sudah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Keikutsertaan Indonesia ditindaklanjuti melalui Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958.
“Kalau polisi dibekali pemahaman tentang itu, tentu mereka mengerti. Tapi kalau tidak diberikan pengetahuan tentang hal demikian, dia tidak tahu. Semua yang dianggap melawan dia, dianggap musuh,” ujar Joserizal saat dihubungi, Rabu (2/10).
Joserizal mengatakan, korban tak boleh diserang bila sudah masuk mobil ambulans. Sebab, mobil ambulans dan petugas medis dalam bekerja, bersikap netral. Siapa pun yang terluka, akan dibawa ke rumah sakit.
Petugas medis, kata dia, memiliki keistimewaan dalam menjalankan tugasnya. Mereka tak boleh diintimidasi, apalagi dianiaya. Meski begitu, polisi atau tentara berhak menaruh curiga dengan memeriksa mereka, untuk memastikan apakah benar petugas medis atau musuh yang menyamar.
Pengalaman diperiksa militer pernah dialami Joserizal ketika bertugas di Afganistan. Kendaraan yang ia tumpangi disetop. Joserizal lalu mengatakan, ia seorang dokter ahli bedah.
“Kemudian mereka minta izin cek kendaraan, sambil hormat. Saya balas hormatnya. Itu sudah biasa, enggak masalah. Yang tidak biasa itu kalau rekayasa, misalnya (dituduh) mengangkut senjata tapi tak ada senjatanya, ngangkut batu tapi enggak ada batunya,” ujar Joserizal.
Joserizal berpendapat, misalnya mobil ambulans mengangkut korban peserta demonstrasi, mungkin di dalam sakunya ada batu. Hal itu, kata dia, biasa. Terpenting, menurut Joserizal, orangnya ditolong.
“Bukan berarti ambulans mengangkut batu,” kata dia.
Joserizal pun mengingatkan agar aparat kepolisian tak menangani aksi unjuk rasa seolah-olah tengah berhadapan dengan kasus luar biasa, seperti terorisme.
“Karena demonstrasi bukanlah extraordinary. Demonstrasi ini jauh lebih ringan daripada peperangan dan terorisme,” ujar Joserizal.