Eks Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin), Kwik Kian Gie, menyampaikan, pengetahuannya terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menko era Presiden Gus Dur ini, mengaku mengambil keputusan yang menyatakan kewajiban Sjamsul Nursalim (SN) harus dijamin personal guarantee.
"Artinya dijamin dengan semua kepemilikan pribadinya apa pun bentuknya. Dari rumah mewah sampai pakaian dan mobil, harus semuanya dipakai untuk memenuhi kewajibannya," ujar Kwik dalam diskusi yang disiarkan Youtube BEM UI, Minggu (11/4).
Sjamsul dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim (ISN) sempat ditetapkan tersangka kasus surat keterangan lunas BLBI. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 31 Maret 2021 menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 kepada keduanya.
Kwik mengatakan, setelah dia mengundurkan diri dan digantikan Rizal Ramli, keputusan Rizal masih selaras dengannya terkait BLBI. Namun, semua berubah saat Menko Ekuin dijabat Dorodjatun Kuntjoro Jakti di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
"Ketika Ibu Megawati, menko-nya berubah menjadi Pak Dorodjatun. Sebelum itu ketika saya mengundurkan diri, diganti oleh Pak Rizal Ramli. Nah, saya tidak jelas keputusan Pak Rizal Ramli apa, tetapi kira-kira masih sama dengan saya," kata dia.
"Tetapi ketika Pak Dorodjatun sebagai Menko Ekuin, keputusan pertama yang penting, yang paling prinsipiel adalah mencabut semua keputusan saya," imbuhnya.
Menurut Kwik, keputusannya itu lalu diperdebatkan dalam persidangan eks Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT). Pengacara Syafruddin berpendapat keputusannya tidak sah.
Menurut Kwik, pihak Syafruddin mengatakan personal guarantee tidak sah karena masalah BLBI berkaitan perseroan terbatas. Sehingga, tanggung jawab terbatas pada modal yang disetor, bukan jaminan pribadi.
"Dan itu saya jawab, dengan mengatakan, hukum itu ada yang tertulis, tetapi ada yang tidak tertulis yang sesuai dengan kebiasaan," ujarnya mengingat masa itu.
Menurut Kwik, kalau suatu kebiasaan dibiarkan dalam jangka waktu yang lama, maka itu menjadi hukum. Dia mengatakan, argumen itu tampak menjadi pertimbangan majelis hakim sehingga memvonis Syafruddin bersalah saat itu.
Syafruddin divonis 13 tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan naik di tingkat banding menjadi 15 tahun bui. Namun, di tingkat kasasi, ia divonis bebas majelis kasasi Mahkamah Agung atau MA dengan alasan perbuatan Syafruddin bukan pidana, tapi perdata atau administrasi.
Adapun putusan kasasi itu berdampak terhadap kelanjutan kasus Sjamsul dan istrinya Itjih. Pada 31 Maret 2021, KPK menerbitkan SP3 untuk dua orang itu. Pelaksana tugas Juru Bicara bidang Penindakan KPK Ali Fikri, mengatakan dengan bebasnya Syafruddin di tingkat kasasi MA, maka syarat adanya perbuatan penyelenggara negara tidak terpenuhi.
"Sedangkan SN dan ISN sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara, maka demi kepastian hukum KPK menghentikan penyidikan perkara dimaksud," ucap Ali.