Pemerintah masih mempertimbangkan untuk membuat kesepakatan baru terkait kontroversi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi (ITE). Hukum adalah kesepakatan, dari perkembangan situasi politik, sosial, hingga ekonomi.
"Hal tersebut bisa dilakukan, jika ditemukan substansi yang memiliki watak haatzai artikelen atau berwatak pasal karet," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD dalam keterangan tertulis, Kamis (25/2).
Oleh karena itu, menurut dia, jangan alergi terhadap perubahan. Sebab, hukum bisa beriringan dengan perubahan masyarakatnya. Pemerintah mempertimbangkan kemungkinan membuat kesepakatan baru yang nantinya terkait kriteri sebuah pasal, hingga penerapannya secara adil.
"Jika memang di dalam UU itu ada substansi-substansi yang berwatak haatzai artikelen, berwatak pasal karet maka bisa diubah dan bisa direvisi. Revisi itu dengan mencabut atau menambahkan kalimat, atau menambah penjelasan di dalam UU itu," tutur Mahfud.
Diskusi daring ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh pers antara lain, Ketua Umum PWI, Atal S Depari, Wakil Ketua DPR, Aziz Syamsuddin, Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh, dan pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
Sebelumnya, Menko Polhukam, Mahfud MD telah membentuk tim kajian pengkaji UU ITE. Tim tersebut dibagi menjadi dua, yaitu Sub Tim I yang bertugas merumuskan kriteria implementatif atas pasal-pasal tertentu dalam UU ITE yang sering menimbulkan multitafsir.
Sementara itu, Sub Tim II yang melakukan telaah substansi UU ITE atas beberapa pasal yang dianggap multitafsir untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan revisi.