Sejumlah tokoh nasional, kembali menyuarakan agar Indonesia kembali kepada UUD 194 yang asli. Bahkan, pada minggu ini, setidaknya ada dua kali acara yang melibatkan sejumlah massa terkait itu.
Pertama pada 7 November di Gedung Joeang 45 dalam rangka deklarasi kembali ke Undang-Undang 1945 asli. Kemudian pada hari ini (10/11), ada penyampaian Maklumat Dewan Presidium Konstitusi di Gedung MPR/DPD.
Mereka yang mendukung kembali ke UUD 1945 asli pun bukan tokoh sembarangan. Pada hari ini, misalnya, tercatat Ketua DPD RI AA Lanyalla Mahmud Mattalitti, Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno, hingga tokoh buruh Mira Sumirat, hadir. Mereka menyuarakan agar MPR segera menggelar sidang dengan agenda tunggal, yaitu mengembalikan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa melalui penetapan kembali Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku sebelum perubahan di 1999 hingga 2002.
Pada kesempatan itu, Wakil Presiden RI ke-6 Try Sutrisno menyebutkan, kalau perubahan UUD 1945 yang terjadi pada 1999 hingga 2002, terbukti secara akademik telah meninggalkan Pancasila, sebagai norma hukum tertinggi negara dan menghilangkan Pancasila sebagai identitas konstitusi, serta tidak konsisten dalam konsepsi teori dan yuridis.
Perubahan UUD 1945 juga dinilai semakin memperkuat potensi perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Serta mengikis jati diri bangsa indonesia dan semakin menjauhkan terwujudnya cita-cita dan tujuan nasional lahirnya NKRI.
Perubahan UUD 1945 yang terjadi, juga dianggap telah mengaburkan pelaksanaan dan pengamalan sila keempat dari Pancasila. Sehingga, menghilangnya kedaulatan rakyat dengan memindahkan kepada kedaulatan kelompok.
"Maka, dengan rasa tanggung jawab kepada para pendiri bangsa dan demi kepentingan rakyat Indonesia serta kehidupan bangsa dan negara ke depan yang berdaulat, adil, dan makmur, kami mendesak dan menuntut MPR segera menggelar sidang MPR dengan agenda tunggal mengembalikan sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa. Melalui penetapan kembali UUD 1945 yang berlaku sebelum perubahan yang meliputi pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan," kata dia dalam keterangannya yang dipantau online, Jumat (10/11).
Selain itu, Try Sutrisno juga meminta kepada MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang berlaku sebelum perubahan 1999 hingga 2002, dengan teknik addendum. Hal itu guna menyempurnakan dan memperkuat kedaulatan dan kemakmuran rakyat dengan mengacu kepada semangat dan tuntutan reformasi 1998. Di mana, di antaranya adalah pembatasan masa jabatan presiden, penghapusan KKN, dan penegakan hukum, serta mengacu kepada proposal kenegaraan DPD RI dan kajian akademik.
Sekaligus melakukan pengisian utusan daerah dan utusan golongan sebagai bagian dari anggota MPR yang berasal dari elemen-elemen bangsa sebagai perwujudan penjelmaan rakyat yang utuh. Serta, membentuk Dewan Pertimbangan Agung sementara dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy meminta agar masyarakat tidak salah paham, jika kembali ke UUD 1945 asli, sama saja kembali ke Orde Baru. Karena pada hakikatnya, gagasan kembali ke UUD 1945 asli tetap menyerap semangat reformasi. Seperti membatasi masa jabatan presiden, menghilangkan prinsip totaliter, menolak nepotisme, sekaligus menihilkan korupsi. Di mana, hal itu bakal tertuang di Ketetapan MPR atau undang-undang
"Jadi bagi mereka yang menyangka dan berprasangka buruk terhadap kembalinya ke UUD 1945 sebagai kembali ke Orde Baru adalah salah," ucap dia, keterangannya yang dipantau online, Jumat (10/11).
Namun begitu, pengamat tata negara Margarito Kamis berharap, agar semua pihak jujur kalau ada masalah dalam UUD 1945 asli. Di sisi lain, harus diakui juga kalau dalam UUD 1945 perubahan juga ada persoalan.
"Tetapi ada keunggulan pada UU 1945, salah satunya MPR dapat keluar sebagai pemecah masalah-masalah krusial yang tidak diatur dalam UUD 1945. Itu salah satu hal yang hilang dari UUD 1945 perubahan," kata dia.
Namun, Margarito meminta kepada semua pihak agar juga jujur kalau ada masalah jika MPR tetap dibiarkan seperti yang diatur dalam UUD 1945 asli. Misalkan saja, Ketetapan MPR pada 1973 yang terus dipergunakan sampai 1999, yaitu memberikan kekuasaan darurat kepada presiden.
"Begitu juga dengan oligarki yang sudah ada pada 1967. Jadi problemnya apakah ada di UUD 1945 atau pada penyelenggara negara. Oleh karena itu, mari kita jujur untuk mengenal kelemahan-kelemahan UUD 1945 asli dan UUD 1945 perubahan. Lalu kita temukan pemecahan yang tepat," ungkap dia.