Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengutuk keras aksi tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) berupa pencabulan yang dilakukan oleh terduga pelaku Ketua Geng Motor berinisial A (38) terhadap 40 (empat puluh) anak remaja di Kabupaten Bengkalis, Riau.
Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar memastikan, akan terus berkoordinasi dengan pemerintah setempat dalam upaya pendampingan dan penanganan kasus tersebut.
“Kami mengutuk keras aksi persetubuhan dan pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh terduga pelaku A (38) yang merupakan ketua geng motor terhadap 40 anak remaja dengan rentang usia 14-16 tahun. Adapun para korban merupakan 39 laki-laki dan satu perempuan. Terduga pelaku mengaku bahwa tindakan asusila yang dialakukan adalah untuk berguru ilmu hitam,” ujar Nahar dalam keterangannya, Rabu (4/10).
Awal mula terungkapnya kasus tersebut berdasarkan laporan dari salah satu keluarga korban ke Polsek Mandau setelah mendapati perubahan perilaku pada korban yang menjadi lebih pendiam dan enggan berbicara kecuali ketika ditanya atau diajak berbicara. Karena merasa curiga dengan perubahan perilaku anaknya, keluarga korban lantas memeriksa ponsel korban dan ditemukan percakapan mencurigakan antara korban dan terduga pelaku.
Dari situ korban mengakui tindakan asusila yang dilakukan oleh terduga pelaku kepada keluarganya, dari mulai pemaksaan hingga pengancaman yang diterima oleh korban. Keluarga korban akhirnya melapor ke Polsek Mandau dan kepolisian bergerak cepat untuk menangkap dan mengamankan terduga pelaku.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan di kepolisian, terduga pelaku mengakui telah melakukan pencabulan terhadap 40 orang anak remaja. Aksi pencabulan tersebut dilakukan di rumah terlapor dan di semak-semak dimana para korban laki-laki dipaksa untuk melakukan kegiatan seksual sementara korban perempuan dipaksa hingga terjadi persetubuhan. Terduga pelaku menjadikan aksi TPKS nya sebagai syarat karena telah tergabung dalam geng motor yang bernama Pariasi Motor Community,” jelas Nahar.
Melansir dari hasil laporan dan koordinasi Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) Kabupaten Bengkalis, Nahar mengemukakan, sudah dilakukan pendampingan secara hukum dan psikologis kepada tujuh korban yang terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan, serta melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Bengkalis bersama kepolisian akan melakukan tracing terhadap korban lainnya.
“Saat ini terduga pelaku sudah ditangkap dan dalam proses pemeriksaan di Polsek Mandau. Kami juga akan terus melakukan tracing dan pendampingan yang dibutuhkan baik secara hukum maupun psikologis kepada korban lainnya. Kami pun berharap dengan terungkapnya kasus ini maka para korban lainnya mau melapor dan para orang tua ataupun keluarga korban untuk segera melapor jika terlihat adanya perubahan perilaku dan emosional korban yang mengarah kepada traumatis,” tutur Nahar.
Atas tindakan asusila yang dilakukan oleh terduga pelaku berupa tindak pidana persetubuhan terhadap satu anak korban, terduga pelaku melanggar Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar sesuai dengan Pasal 81 Ayat (1) dan/atau Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, atas tindak pidana pencabulan terhadap anak-anak korban, terduga pelaku melanggar Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana paling lama 15 (lima belas) tahun penjara dan denda paling banyak Rp5 miliar sesuai dengan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tidak hanya itu, dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud yang dilakukan oleh terduga pelaku dalam menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, maka pidananya dapat merujuk Pasal 81 Ayat (5) dan/atau ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sesuai dengan Pasal 82 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Berdasarkan Pasal 81 Ayat (6) dan (7) dan Pasal 82 Ayat (5), pelaku dapat dikenai pula pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku dan dapat dikenakan tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Nahar pun menegaskan, dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan.