Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan, ada potensi rasuah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau pilkada. Biaya tinggi yang mesti dikeluarkan kontestan merupakan celah terjadinya praktik lancung setelah terpilih.
Survei Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada 2015, 2017, dan 2018, mendapati potensi adanya benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada, berkaitan erat dengan profil penyumbang dana atau donatur.
“Oleh karena itu, sejak awal pemilihan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui bagaimana menghindari potensi munculnya benturan kepentingan,” ujarnya secara tertulis, Selasa (20/10).
Firli mencontohkan, pengusaha sebagai donatur memiliki konsekuensi meminta kemudahan perizinan dalam bisnis, keleluasaan ikut pengadaan barang dan jasa, dan keamanan dalam usaha.
Sementara itu, temuan KPK pada 2018 memperlihatkan 83,8% calon kepala daerah berjanji memenuhi harapan penyumbang dana ketika memenangkan pilkada.
“Survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3% dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Hadirnya donatur disebabkan karena adanya gap antara biaya pilkada dan kemampuan harta calon, di mana harta pasangan calon tidak mencukupi untuk membiayai pilkada,” ucapnya.
Sesuai catatan survei komisi antikorupsi, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 miliar. Bahkan, imbuhnya, ditemukan ada satu kontestan yang total kekayaannya minus Rp15,17 juta.
Padahal, berdasarkan wawancara dari survei KPK itu, agar bisa mengikuti pilkada, paslon di tingkat kabupaten/kota harus memegang uang Rp5-10 miliar. Bahkan bila ingin menang, idealnya mempunyai Rp65 miliar.
"Banyak kepala daerah yang tersangkut tindak pidana korupsi. Hingga Juli 2020, telah ada 21 gubernur dan 122 bupati/ wali kota/wakil terjerat korupsi yang ditangani KPK. Sebab itu, KPK menyuarakan urgennya pilkada berintegritas, yakni pilkada yang menghasilkan kepala daerah yang bebas benturan kepentingan," katanya.