close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan kepada wartawan usai acara syukuran ulang tahun ke-16 KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (30/12/2019). Foto Antara/Aditya Pradana Putra
icon caption
Ketua KPK Firli Bahuri memberikan keterangan kepada wartawan usai acara syukuran ulang tahun ke-16 KPK di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (30/12/2019). Foto Antara/Aditya Pradana Putra
Nasional
Selasa, 07 Januari 2020 14:49

Kasus suap Bupati Muara Enim seret nama Ketua KPK

Ketua KPK Firli Bahuri disebut akan menerima US$35.000 dalam suap proyek jalan di Muara Enim.
swipe

Nama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri terseret dalam kasus dugaan suap 16 paket proyek jalan senilai Rp132 miliar di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Bupati Muara Enim Ahmad Yani telah berstatus terdakwa dalam kasus ini.

Firli disebut telah disiapkan untuk menerima uang senilai US$35.000 saat menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan. Uang tersebut akan diberikan terdakwa Elvyn MZ Muchtar, yang berasal dari terdakwa Robi Pahlevi. Ia adalah seorang kontraktor yang berhasrat mendapat 16 paket proyek jalan.

Terseretnya nama Firli dalam kasus ini, terungkap dari penyadapan yang dilakukan oleh penyidik KPK, yang dicantumkan dalam berkas acara pemeriksaan atau BAP. Namun kuasa hukum Ahmad Yani, Maqdir Ismail, mengatakan hal tersebut tak bisa dibuktikan hanya dari penyadapan.

"BAP hanya menerangkan percakapan antara Elvyn dan kontraktor Robi bahwa Elvyn akan memberikan sejumlah uang ke Firli Bahuri, sementara Firli tidak pernah dimintai konfirmasi apakah benar dia menerima uang atau tidak," ujar Maqdir Ismail dalam sidang pembacaan eksepsi atau nota keberatan terdakwa di Pengadilan Tipikor Palembang, Selasa (7/1).

Ia juga mengatakan, kliennya tak berniat meminta commitment fee Rp22 miliar dari Robi Pahlevi. Maqdir menyebut Elvyn yang mengatur jalannya 16 paket proyek jalan senilai Rp132 miliar, yang berinisiatif meminta commitment fee sekaligus memberikan US$35.000 kepada Firli.
 
Maqdir menjelaskan, Elvyn memanfaatkan silaturahmi antara Firli Bahuri dengan Ahmad Yani pada Agustus 2019, untuk memberikan uang tersebut. Elvyn juga menghubungi keponakan Firli bernama Erlan, dan mengutarakan maksudnya untuk mengirimkan sejumlah uang kepada Firli.

"Tetapi kemudian dijawab oleh Erlan, "ya, nanti diberitahu, tapi biasanya bapak tidak mau"," kata Maqdir.

Dia juga mempersoalkan penyadapan yang dilakukan KPK, yang mengungkap keterlibatan Kapolda Sumsel, tanpa memberi tahu Kapolri selaku pimpinan institusi kepolisian.

"Sepatutnya upaya pemberian uang itu diketahui Kapolri, kan sudah ada kerja sama supervisi antara KPK dan Polri. Meski demikian, tidak juga terbukti bahwa Kapolda menerima uang itu," kata Maqdir.

Selain menyebut dakwaan tidak tepat, Makdir menuding BAP dan dakwaan terhadap Ahmad Yani juga bermaksud menjatuhkan citra Firli Bahuri yang saat itu ikut kontestasi Ketua KPK.

"Dari majalah Tempo bisa dilihat bahwa ada upaya menjegal pak Firli agar tidak jadi Ketua KPK, harusnya mereka (eks-komisioner KPK) legowo pak Firli jadi Ketua KPK, bukan malah dibusukkan," katanya menjelaskan.

Mendengar eksepsi tersebut, jaksa penuntut KPK, Roy Riadi, mengaku terkejut karena pertemuan-pertemuan tersebut tidak pernah terungkap, kecuali bukti percakapan antara Robi dan Elvyn. 

Roy juga tak mempersoalkan keputusan penyidik KPK yang tak melapor pada Kapolri atas potensi penyuapan pada Kapolda Sumsel. Menurut Roy, hal tersebut merupakan bagian dari proses yang dilakukan penyidik.

"Pak Kapolda (Firli) juga saya rasa tidak minta uang, karena bisa jadi yang diberi uang itu tidak tahu bahwa mereka akan diberi uang, kalau dari keterangan si pemberi uang ya sah-sah saja," kata Roy.

Kendati menyeret-nyeret nama Ketua KPK , pihaknya tetap pada dakwaan yang menjerat Ahmad Yani dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

"Eksepsi akan kami jawab terkait keberatan dakwaan saja, soal lain-lain itu nanti saja," kata Roy. (Ant)

img
Gema Trisna Yudha
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan