Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menepis anggapan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana (Ortaka) Pimpinan KPK sebagai bentuk intervensi dari Presiden Joko Widodo.
"Enggak ada, enggak ada. Saya katakan Presiden tidak pernah mengintervensi kinerja KPK. Termasuk terhadap kami dan Dewan Pengawas KPK," kata Firli, saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (30/12).
Seperti diberitakan, Presiden Joko Widodo tengah merancang tiga perpres tentang KPK. Adapun ketiga aturan tentang KPK itu terkait dengan Dewan Pengawas KPK, organisasi KPK, dan perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Di tempat yang sama, Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri mengatakan, sejumlah aturan tersebut masih dalam tahap pembahasan. Dia juga mengaku belum menerima salinan rancangan aturan itu.
"Karena itu, draft (perpres) dan perkembangannya seperti apa, terus terang kami tidak tahu dan (belum) mempelajari lebih lanjut. Ini masih proses," tutup Ali Fikri.
Sementara Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadiah Mada (PUKAT UGM), Zaenur Rohman menganggap, sebagian besar substansi rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Organisasi dan Tata Kerja Pimpinan dan Organ Pelaksana (Ortaka) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu cacat.
Bahkan dia menganggap, rancangan aturan itu berpotensi dapat melemahkan dan menghilangkan indepedensi badan antikorupsi itu.
"Saya menilai, substansi draft itu memiliki banyak cacat. Pada intinya, draft perpres ini bermasalah, dapat mengakibatkan independensi KPK menjadi hilang, dan bertentangan dengan undang-undang KPK dan struktur KPK," kata Zaenur, saat dihubungi Alinea.id, Senin (30/12).
Kecacatan dan masalah dalam rancangan itu, dilihat Zaenur pada Pasal 1 ayat 1. Pada pasal itu, menyebut pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri dan bertanggung jawab kepada presiden. Bagi Zaenur, aturan tersebut keliru karena mengancam indepedensi badan antikorupsi tersebut.
"Kalau pimpinan KPK itu setingkat menteri, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, maka KPK bukan lagi lembaga independen. Dan itu jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019," ujar Zaenur.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan KPK tetap lembaga negara independen. Hanya saja, regulasi baru itu menyebut badan antikorupsi itu termasuk dalam rumpun eksekutif.
"Tetapi, bukan di bawah presiden. Upaya untuk mengatur di bawah presiden itu bertentangan dengan Undang-Undang KPK sendiri," papar dia.
Selanjutnya, dia juga menyoroti pembentukan inspektorat jendral. Pembentukan jabatan itu tertera pada bagian kesembilan dalam Pasal 31. Padahal jabatan inspektorat jendral tidak diatur juga dalam undang-undang hasil revisi.
"Undang-Undang KPK tidak mengenal inspektorat jendral. Fungsi itu sudah ada di Deputi PI (pengawas internal). Jadi itu sudah bertentangan dengan Undang-Undang KPK," tutur dia.
Hal lainnya ada pada Pasal 2 ayat 1, yang menyebutkan salah satu tugas pimpinan ialah melakukan pencegahan. Bagi Zaenur, tugas tersebut bukan menjadi tanggung jawab pimpinan lembaga antirasuah.
"Di dalam draft perpres, tugas pimpinan ada melakukan pencegahan korupsi, itu keliru. Itu adalah tugas komisi bukan pimpinan," ucap dia.
Oleh karena itu, Zaenur mengimbau agar Presiden Joko Widodo dapat menyerahkan aturan internal itu ke KPK.