Rencana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak ada pembahasan untuk mengubah masa jabatan Presiden dari dua menjadi tiga periode.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), menegaskan, perpanjangan jabatan Presiden lebih banyak mudaratnya. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi virtual, Senin (13/9).
"Saya tidak tau siapa yang menghembus-hembuskan karena sejak saya memimpin Ketua MPR belum pernah ada pembicaraan tersebut, yang ada di kami, baik yang ada di fraksi-fraksi maupun elemen yang ada di DPR, termasuk dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD)," kata Bamsoet.
Menurut politiku Partai Golkar itu, ketetapan masa jabatan Presiden selama dua periode sudah tepat. Ia mengatakan, apabila suatu kekuasaan yang bercokol terlalu lama justru akan cenderung disalahgunakan.
"Pembatasan masa jabatan Presiden merupakan bagian dari usaha kami untuk menghindari dari potensi munculnya pemerintahan yang otoriter dan sewenang-wenang," tegasnya.
Bamsoet juga menjelaskan, justru amandemen lebih baik diarahkan untuk membantu perbaikan kondisi ekonomi dengan menambah landasan melalui PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara).
Ia mengatakan, kebutuhan penambahan ini sudah dilakukan jajak pendapat dan harus dilakukan supaya negara memiliki arah pembangunan yang jelas.
"Ada kebutuhan bangsa ini perlu arah, perlu guidance, agar kita tidak selalu tiap ganti pemimpin ganti haluan, sehingga kita tidak pernah maju-maju," dalihnya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua LHKP PP Muhammadiyah, Yono Reksoprodjo juga menyampaikan, jabatan Presiden yang terlalu lama akan menimbulkan masalah dalam hal pemerintahan dan demokrasi.
Kemudian, ia juga mengatakan, amandemen memang dibutuhkan agar dapat membangun perekonomian untuk masyarakat. Dengan wacana amandemen ini, Yono menilai, apabila ada sebagian pihak yang mengaitkannya dengan penambahan masa jabatan presiden.
"Kalau kami secara pribadi, amandemen yang harusnya diarahkan justru bukan untuk menambah perpanjangan masa dari pemerintahan itu," kata Yono.