Ketua MPR, Bambang Soesatyo, berpendapat, pelaksanaan demokrasi Pancasila masih jauh dari sempurna. Pangkalnya, Indonesia mengalami empat kali kemunduran dalam berdemokrasi selama 30 tahun terakhir.
"Harus kita akui, pelaksanaan pembangunan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya berjalan sempurna bahkan mungkin bisa saja jauh dari sempurna," katanya saat membuka FGD "Masa Depan Demokrasi Pancasila: Urgensi Revisi UU ITE", Kamis (6/5).
"Indeks demokrasi Indonesia selama kurun waktu 2009-2020 telah mengalami penurun empat kali ... periode 2010, 2012, 2015, dan 2016," sambung Bamsoet, sapaannya. Indeks diukur dari tiga aspek, yakni kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, imbuh dia, indeks demokrasi Indonesia kini berada di angka 74,92 atau naik dari 72,39 pada 2019. Fluktuasi indeks ini dinilai dipengaruhi beragam faktor, salah satunya Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang membelah masyarakat.
Selain itu, menurut Bamsoet, kondisi ini juga menunjukkan demokrasi Indonesia belum mapan. Pangkalnya, riset Economist Intelligence Unit (EIU) juga memiliki kesimpulan serupa, di mana indeks demokrasi di Tanah Air 2020 berada di peringkat 64 sedunia dengan skor 6,3 atau turun dari tahun sebelumnya senilai 6,8.
Laporan EIU 2020 juga menyebutkan, Norwegia berada di peringkat pertama dengan skor 9,81 dan posisi bontot ditempati Korea Utara karena nilainya 1,08. Indeks itu disusun berdasarkan lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.
"Pada tahun 2020, Economist Intelligence Unit memberi (Indonesia) skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, fungsi kinerja pemerintah 7,50, partisipasi politik 6,11, budaya politik 4,38, dan kebebasan spilil 5,59," papar Bamsoet.
Politikus Partai Golkar ini menilai, indeks demokrasi tersebut merupakan angka terendah dalam 14 tahun terakhir. "Dan mengategorikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat."
Diakuinya, laporan EIU bisa diperdebatkan. Namun, diingatkannya, lembaga yang berbasis di Inggris tersebut konsisten mengukur kualitas demokrasi dunia berbasis riset ilmiah. "Biarlah itu menjadi renungan bagi kita," pungkas Bamsoet.