Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, menegaskan, melegalkan investasi minuman keras (miras) itu sama saja mendukung beredarnya miras. Jadi, hukumnya haram.
Aturan investasi miras tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021. Bidang Usaha Penanaman Modal telah diterbitkan. "Termasuk yang melegalkan investasi miras itu sama dengan mendukung beredarnya miras maka hukumnya haram," kata Cholil dalam keterangannya, Minggu (28/2).
Kebijakan industri miras dapat menjadi ladang investasi asing, domestik, hingga diperjualbelikan secara eceran. Dia menegaskan, negara harus melarang beredarnya miras apalagi investasinya juga harus dilarang.
"Jika negara ini harus melarang beredarnya miras, maka apalagi investasinya juga harus dilarang," kata dia.
Cholil menyatakan, tidak ada alasan menjadikan melegalkan investasi serta peredaran miras dengan alasan budaya atau kearifan lokal setempat. "Tak ada alasan karena kearifan lokal kemudian malah melegalkan dalam investasi miras," katanya.
Dalam Lampiran III Perpres 10/2021, pemerintah sejatinya mengatur beberapa poin penting terkait miras.
Pertama, definisi industri minuman keras adalah alkohol yang berbahan anggur. Aturan itu merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Syaratnya, investasi hanya dilakukan di empat provinsi.
Empat provinsi tersebut di Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Papua dengan memperhatikan budaya serta kearifan lokal setempat.
Penanaman modal di empat provinsi tersebut ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur.
Selanjutnya, perdagangan eceran minuman keras dan beralkohol hanya dapat diperjualbelikan secara eceran (kaki lima) dengan jaringan distribusi dan tempat yang disediakan secara khusus.
Poin utama terakhir terkait industri miras masuk dalam bidang usaha yang dapat diusahakan oleh investor asing, investor domestik, hingga koperasi, dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Namun untuk investasi asing, hanya dapat melakukan kegiatan usahanya dalam skala usaha besar dengan nilai investasi lebih dari Rp10 miliar di luar tanah dan bangunan. Selain itu, investor asing wajib berbentuk perseroan terbatas (PT) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.