Tes wawasan kebangsaan atau TWK disebut sebagai penelitian khusus (litsus) model baru. Hal itu disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH), Asfinawati, saat diskusi dalam jaringan, Jumat (11/6).
Diketahui, litsus merupakan cara yang digunakan rezim Orde Baru untuk menyaring para pihak yang tak sejalan dengan pemerintah. Sementara TWK digunakan dalam alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara atau ASN.
"Tapi TWK sesungguhnya juga litsus model baru dan lebih luas. Pak Tjahjo (Kumolo) kan, mengatakan juga ini wajar saja cuma kalau dulu terkait PKI (Partai Komunis Indonesia), ini (TWK) lebih banyak lagi jadi ini lebih berat karena lebih luas," ujarnya.
Pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, itu disampaikan dalam rapat bersama Komisi II DPR pada Selasa (8/6). Dalam rapat itu, Tjahjo turut mendukung sikap pimpinan KPK yang tidak memenuhi panggilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Lebih lanjut, Asfinawati berpendapat, pada dasarnya TWK adalah bagian dari pelemahan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, dia mengatakan, terdapat korelasi antara TWK dengan pertaruhan demokrasi Indonesia.
"TWK ini adalah bagian dari pelemahan KPK dan pelemahan KPK pasti bermaksud untuk melemahkan pemberantasan korupsi," ucapnya.
Sebelumnya, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lulus TWK. Dari jumlah itu, 51 dipecat dan sisanya akan dibina lagi. Terkait pelaksanaannya, tes alih status menjadi ASN itu diduga melanggar HAM. Oleh karena itu, TWK diadukan ke Komnas HAM.
Adapun pimpinan dan sekretaris jenderal KPK tidak hadir dalam surat undangan pertama, Selasa (8/6). Mereka beralasan ingin mengetahui dulu dugaan pelanggaran HAM apa yang ada dalam proses peralihan ke ASN.
Sementara respons atas ketidakhadiran pimpinan KPK, Komnas HAM telah melayangkan surat panggilan kedua untuk meminta klarifikasi pada Selasa (15/6).