close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) RM. V. Prasojo, Pr (kiri), Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo (tengah), dan Pastor Kepala Paroki Katedral Rm. Hani R. Hartono, SJ (kanan) saat jumpa pers di Jakarta. Alinea.id/Akbar Ridwan
icon caption
Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) RM. V. Prasojo, Pr (kiri), Uskup KAJ Ignatius Kardinal Suharyo (tengah), dan Pastor Kepala Paroki Katedral Rm. Hani R. Hartono, SJ (kanan) saat jumpa pers di Jakarta. Alinea.id/Akbar Ridwan
Nasional
Rabu, 25 Desember 2019 15:15

Natal 2019, Keuskupan Agung Jakarta singgung politik pecah belah

Makna persahabatan dan persaudaraan saat Natal diutamakan lantaran itu warisan bangsa Indonesia.
swipe

Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, mengatakan perayaan Natal tahun 2019 membawa pesan berjudul 'hiduplah sebagai sahabat bagi semua orang'. Pemilihan pesan tersebut tujuannya agar perayaan Natal bermakna kontekstual.

Menurut dia, Natal bagi umat Kristiani bukanlah sekadar mengingat kelahiran Isa Almasih, melainkan juga mengenangnya. Di sisi lain, makna persahabatan dan persaudaraan juga diutamakan lantaran itu warisan bangsa Indonesia yang selalu diuji dalam perkembangannya.

"Yang namanya persahabatan atau persaudaraan itu dilihat sebagai warisan atau nilai bersama bangsa kita yang sejak awal ada gangguannya. Maka, nasihat ini semakin berarti, hidup sebagai sahabat bagi semua orang," kata Ignatius dalam jumpa pers di Gedung Karya Pastoral, Jakarta Pusat, Rabu (25/12).

Terkait dengan persaudaraan, Ignatius menyinggung devide et impera atau politik pecah belah yang dilakukan Kolonial Belanda. Pada saat itu cara tersebut dilakukan Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia.

Sebagai informasi, efek devide et impera paling terasa dampaknya bagi keberlangsungan Kerajaan Mataram. Saat itu, politik pecah belah berhasil melemahkan kekuasaan Kerajaan Mataram menjadi dua melalui Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Pascaperjajian itu, Belanda kian langgeng menguasai bumi Indonesia.

"Kalau bangsa kita bersatu, kolonialisme pasti akan hancur. Seperti kemudian ketika sudah ada satu nusa, satu bangsa, satu bahasa (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928) Indonesia bersatu, kolonialisme hilang," ujar dia.

Di sisi lain mengenai perbedaan, Ignatius mengatakan, itu sudah ada sejak lama di Indonesia. Akan tetapi, Ignatius menilai perbedaan tersebut lekas diselesaikan dengan cara yang disebutnya ajaib, yaitu saat pendiri bangsa mendeklarasikan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

"Itulah yang sekarang mesti dirawat, itulah yang sekarang mesti diperjuangkan, di tengah-tengah gejala-gejala baru lunturnya kebersamaan itu," ujar dia. 

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan