Kehadiran media sosial (medsos) dinilai mampu menggeser media mainstream atau konvensional dalam membentuk opini publik.
Imbasnya, ruang medsos kerap dimanfaatkan buzzer atau pendengung untuk menebar black campaign hingga negative campaign jelang perhelatan politik, seperti pilkada atau pilpres.
Buzzer dinilai mampu merekayasa pembicaraan di media sosial dengan menebar pesan-pesan propaganda untuk membungkam lawan kliennya.
Jika popularitas klien terancam kritik media mainstream, maka buzzer akan tampil menangkalnya. “Sasaran buzzer telah berubah, bukan lagi mempersoalkan pesan yang disampaikan media mainstream, tetapi kill the messenger. Membunuh pembawa pesannya, media mainstream atau wartawannya sendiri,” ujar Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Nezar Patria dalam diskusi virtual, Selasa (28/7).
Strategi buzzer, jelas dia, biasanya membunuh pembawa dengan doxing atau mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di jagat dunia maya. Tujuannya, untuk melakukan persekusi secara daring.
Buzzer, lanjut Nezar, juga melakukan doxing terhadap pembawa pesan untuk mengembalikan citra pejabat publik, politisi, hingga pebisnis yang sempat tercoreng. Menurut Nezar, doxing bertujuan untuk menjatuhkan kredibilitas pembawa pesan.
Dijelaskan Nezar, medsos memungkinkan seseorang menjadi produsen sekaligus konsumen informasi. Bahkan, seseorang bisa memproduksi dan mempublikasikan informasi tanpa perlu melewati proses kurasi, seleksi, editing, klarifikasi, hingga verifikasi.
Jagat media sosial memungkinkan seseorang bebas mengemukakan pendapat. “Ini hal yang revolusioner saya kira. Celakanya, orang-orang yang bermain di media sosial itu tidak selalu mengucapkan hal-hal yang sejujurnya,” ucapnya.
Bahkan, jelas Nezar, media sosial memungkinkan untuk mengatur pesan, mengidentifikasi perilaku seseorang, hingga menganalisisnya untuk kepentingan pemasaran produk. Ironisnya, dalam perkembangannya, media sosial untuk marketing turut dimanfaatkan pula demi kepentingan politik.
Sementara itu, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Ika Karlina Idris mengatakan, buzzer menebarkan propaganda politik dengan menciptakan ketakutan, ketidakpastian, dan keragu-raguan.
Propaganda politik paling berbahaya di jagat media sosial bukan membangun narasi tidak setuju atau kontra sama sekali, tetapi menaruh keraguan.
“Misalnya, saat revisi RUU KPK. Orang memang setuju bahwa KPK harus dijaga, tetapi muncul narasi-narasi KPK superbody. Didengungkan (juga) narasi ada Taliban di KPK. Jadi, orang ragu, kita jadi dukung KPK atau tidak, perlu atau tidak RUU KPK ini. Yang tadinya sudah yakin korupsi harus diberantas, dengan adanya narasi-narasi seperti itu, bukan bikin orang akhirnya setuju dengan pemberantasan korupsi, tetapi ragu terhadap KPK,” ucapnya.