Desakan agar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mundur atau diberhentikan dari jabatannya dari terus menguat. Anwar diminta hengkang dari MK setelah mengetok putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, pertengahan Oktober lalu. Anwar dituding melanggar kode etik lantaran memaksakan putusan itu dirilis meskipun ditolak hakim-hakim MK lainnya.
Putusan yang isinya merevisi syarat usia capres dan cawapres itu membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi),Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Saat Anwar mengetok putusan itu, Gibran berusia 36 tahun.
Regulasi sebelumnya menetapkan syarat usia capres-cawapres minimal 40 tahun. MK memutuskan kepala daerah yang terpilih dalam pemilihan umum boleh maju meskipun usianya tak mencukupi. Gibran pun mendadak memenuhi syarat jadi cawapres.
Anwar saat ini berstatus besan Jokowi alias paman Gibran. Anwar menikahi adik Jokowi, Idayati di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Mei 2022. Jokowi hadir langsung untuk menikahkan Idayati dengan Anwar. Sempat muncul rumor pernikahan Anwar-Idayati ialah perkawinan politik.
Ketika itu, Anwar sempat mengucap janji tidak akan menggadaikan independensi dan kredibilitasnya sebagai penjaga konstitusi. ”Saya hanya tunduk pada konstitusi, pada Undang-Undang Dasar (1945),” ujar dia.
Kini berusia 66 tahun, Anwar meniti karier di lembaga yudisial dari bawah. Ia mulai menggeluti profesi hakim di Pengadilan negeri Bogor pada 1985. Setelah itu, ia tercatat menyandang sejumlah jabatan di Mahkamah Agung (MA), mulai dari asisten hakim hingga Kepala Biro Kepegawaian.
Di MK, Anwar mulai jadi pengadil sejak April 2011. Pada 14 Januari 2015, ia diangkat jadi Wakil Ketua MK. Sekitar tiga tahun berselang, Anwar kemudian didapuk menjadi Ketua MK. Dalam rapat pleno MK pada Maret lalu, Anwar kembali terpilih jadi Ketua MK didampingi Saldi Isra sebagai Wakil Ketua MK.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI ) Muhammad Isnur mengaku mengamati sepak terjang Anwar di MK sejak lama. Menurut dia, sikap Anwar Usman sebagai hakim MK mulai "berubah" sejak memiliki ikatan keluarga melalui pernikahan dengan adik Jokowi.
"Peristiwa Anwar Usman menikah dengan Jokowi kami sudah soroti sejak awal dan kami protes. Itu sangat kuat pelanggaran etiknya karena undang-undang yang diperiksa oleh MK adalah undang-undang yang melibatkan pihak presiden," kata Isnur kepada Alinea.id, Jumat (3/11).
Isnur mencium gelagat yang tak beres setelah Anwar berkukuh untuk mempertahankan jabatan Ketua MK meskipun sarat konflik kepentingan. Sebelum menyandang status sebagai ipar Jokowi, menurut Isnur, Anwar relatif imparsial dalam memutus perkara di MK. "Dia sejak awal, harusnya mengundurkan diri," imbuhnya.
Perubahan sikap Anwar, kata Isnur, mulai terasa ketika MK menolak permohonan uji materi terhadap Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Anwar berada di barisan hakim MK yang menolak gugatan UU kontroversial itu.
"Selain itu, saat revisi Undang-Undang KPK. Anwar Usman termasuk hakim yang menolak JR (judicial rewiew) UU KPK yang melemahkan KPK. Jadi, banyak JR undang-undang itu di MK kandas. Dalam banyak gugatan undang-undang, Anwar Usman memang memainkan peran sebagai salah satu penjaga gawang," ucap Isnur.
Puncak dari konflik kepentingan antara Anwar dan Jokowi ialah ketika Anwar mengeluarkan putusan nomor 90. Bersama sejumlah LSM dan 15 guru besar di berbagai perguruan tinggi, YLBHI melaporkan Anwar kader dugaan melanggar etik. Saat ini, Mahkamah Kehormatan MK sudah dibentuk untuk menyelidiki kasus itu.
YLBHI mendesak agar Anwar dipecat. Jika masih dikendalikan Anwar, Isnur meyakini tak ada lagi akan percaya dengan MK. Apalagi, MK bakal mengadili sengketa Pemilu 2024. "Makanya, kami mendesak dia dipecat MKMK," kata Isnur.
Tak selalu buruk
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan sulit menafikan adanya konflik kepentingan dalam putusan nomor 90. Apalagi, Gibranlah yang paling diuntungkan dalam putusan itu.
"Kelihatan sekali Anwar Usman itu memutus dengan etika yang tidak patut," kata Firman saat dihubungi Alinea.id, Jumat (3/11).
MK di bawah pimpinan Anwar Usman, kata Firman, tak selalu berkinerja buruk. MK juga memiliki rekam jejak positif saat memutus gugatan bernomor 114/PUU-XX/2022. Isi pokok gugatan ialah meminta agar sistem pemilu dikembalikan menjadi proporsional tertutup.
MK memutuskan menolak permohonan uji materi tersebut. MK beralasan sistem proporsional terbuka lebih demokratis ketimbang proporsional tertutup. Dengan keluarnya putusan itu, sistem proposional terbuka masih dipakai di Pemilu 2024.
"Walaupun sebelum putusan itu Anwar Usman sempat ketemu Presiden Jokowi ketika itu. Kami sudah cemas, tapi akhirnya gugatannya menolak," kata Firman.
Menurut Firman, Anwar kerap terlihat melakukan tindakan yang tidak patut karena tidak bisa membedakan posisi menjadi Ketua MK dan sebagai ipar Jokowi.
"Sulit dibedakan mana sebagai hakim MK, mana sebagai keluarga Jokowi. Seharusnya jangan ketemu dulu saat ingin memutus perkara undang- undang berhubungan dengan agenda pemerintah," kata dia.
Untuk mencegah putusan bermasalah kembali muncul di MK, Firman menyarankan penguatan Majelis Kehormatan MK. "Saya juga masih percaya 8 dari 9 hakim MK bisa saling mengawasi. Masih ada beberapa hakim yang bisa diharapkan bisa mengawasi satu sama lain," kata Firman.