close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi aktivis lingkungan hidup. Alinea.id/Aisya Kurnia
icon caption
Ilustrasi aktivis lingkungan hidup. Alinea.id/Aisya Kurnia
Nasional
Sabtu, 19 Februari 2022 17:11

Kisah aktivis lingkungan bekerja di bawah bayang maut: Rumah dibakar, kantor diserbu

"Dor! Ada yang roboh kawan kami. Semua panik. 'Ada yang kena tembak! Ada yang kena tembak!'"
swipe

Tembakan gas air mata berkali-kali meletus di sekitar Tugu Khatulistiwa, Tinombo Selatan, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (12/2) malam itu. Asap yang bikin perih mata mengepul di mana-mana. Peserta aksi unjuk rasa kocar-kacir. 

Bersenjatakan tameng dan pentungan, polisi merangsek membubarkan barisan pengunjuk rasa yang memblokade Jalan Trans Sulawesi. Di jalan yang menghubungkan tiga provinsi itu, peserta aksi telah menanti kehadiran Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Matura sejak pagi. 

Rohiman--bukan nama sebenarnya--ada di tengah aksi unjuk rasa itu. Aktivis yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tani itu mengaku menyaksikan bagaimana brutalnya aparat Brimob yang dikerahkan untuk membubarkan aksi unjuk rasa yang dihadiri ratusan orang tersebut. 

"Kami habis-habisan dipukul mundur dengan water cannon (meriam air) polisi. Tetapi, kami tetap bertahan. Jujur, malam itu, saya juga agak takut karena Brimob yang memukul mundur. Saya takut jadi sasaran," ucap Rohiman kepada Alinea.id, Senin (14/2). 

Aksi unjuk rasa itu digelar untuk menuntut pemerintah setempat menutup tambang emas yang dikelola PT Trio Kencana di Kasimbar, Tinombo Selatan dan Toribulu. Selain warga terdampak tambang, peserta aksi juga datang dari kalangan aktivis dan mahasiswa. 

Menurut Rohiman, polisi mulai "beringas" jelang tengah malam. Ia menyaksikan sejumlah pengunjuk rasa dikejar dan terkena pentung polisi. Di tengah kerumunan, mata Rohiman sempat tertuju pada sesosok orang tak dikenal yang mengenakan topi rimba, masker wajah dan tas samping. 

"Saya curiga ini siapa orang. Akhirnya, saya teringat kasih peringatan, 'Kenali kawan! Kenali kawan! Hati-hati! Ada penyusup," tutur Rohiman. 

Kecurigaan Rohiman terbukti. Ia melihat si pria bertopi mengeluarkan pistol dari tas. Suara letusan terdengar. "Dor! Ada yang roboh kawan kami. Semua panik. 'Ada yang kena tembak! Ada yang kena tembak!' Saya lari ke arah masjid menjauhi lokasi penembakan," kata Rohman. 

Belakangan, Rohiman mendengar kabar peserta aksi yang tertembak adalah pemuda bernama Erfaldi yang berasal dari Tinombo Selatan. Ia juga sempat menyaksikan tubuh Aldi, sapaan Erfaldi, dibopong ke motor dan dibawa ke puskesmas terdekat. 

"Dia sudah tidak bergerak saat dibawa teman-teman. Saya enggak tahu waktu itu dia masih hidup apa tidak. Yang saya tahu keadaan waktu itu tidak karuan. Beberapa orang ditangkap," kata Rohiman.

Menjelang pagi, kabar buruk itu tersiar. Nyawa Aldi tak tertolong. Rohiman yang menyaksikan sosok pembunuh Aldi mengaku hingga kini masih trauma. "Saya enggak bisa ngomong waktu dengar kabar itu," ujar Rohiman. 

Selain soal demo berdarah itu, Rohiman juga berkisah tentang konflik warga dengan PT Trio Kencana. Menurut dia, warga setempat telah menuntut agar penambangan emas milik perusahaan itu ditutup sejak sepuluh tahun lalu. Namun, tuntutan itu tak pernah digubris Pemprov Sulawesi Tengah. 

Warga di tiga kecamatan, kata dia, resah karena penambangan emas turut merusak lahan pertanian milik mereka. Dalam satu dekade terakhir, berulang kali warga mengalami gagal panen lantaran sawah mereka terkontaminasi limbah penambangan. 

"Bahkan, dua bulan lalu bikin banjir. Galian-galian tambang emas di Kasimbar itu masuk semua ke pemukiman warga dan ke sawah-sawah masyarakat. Kalau kami dari Tinombo Selatan, dari 2010, sudah berjuang untuk menolak karena pada tahun itu saat tambang ilegal beroperasi," ungkap dia.

Meski aktivitasnya kini dibayangi maut, Rohiman mengaku ia dan rekan-rekannya tidak akan mengibarkan bendera putih. Dalam waktu dekat, mereka berencana untuk mengonsolodiasi aksi unjuk rasa yang lebih besar. 

"Terkait kasus penembakan dan bagaimana supaya IUP (izin usaha pertambangan) PT Trio Kencana dicabut dan semua tambang ilegal di Parigi Moutong disterilisasi," ujar Rohiman.

Ilustrasi unjuk rasa aktivis. /Foto Antara

Rumah dibakar 

Bekerja di bawah bayang-bayang maut juga sempat dirasakan eks Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonsia (Walhi) cabang Nusa Tenggara Barat (NTB) Murdani. Pada akhir Januari 2019, Murdani dan keluarganya hampir terpanggang hidup-hidup karena rumahnya di Lombok Selatan dibakar orang tak dikenal. 

"Saya semula mikirnya kebakaran itu karena korselting listrik aja. Belum kepikiran soal sabotase," kata Murdani saat mengisahkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya itu kepada Alinea.id, Selasa (13/2).

Saat malam kebakaran, Murdani dan keluarganya tengah tidur lelap di lantai dua di rumah mereka. Murdani terbangun lantaran mendengar suara ledakan dari depan rumah. Ia turun tangga. Di garasi, ia menyaksikan mobil pribadinya dilahap api. 

Api menjalar dengan cepat. Murdani menghitung ada sejumlah titik api. "Setelah saya turun lagi, pintu masuk dan ruang tamu saya sudah terbakar api semua. Akhirnya, saya minta istri saya bertahan di atas," kata Murdani.

Usai memastikan istri dan anak-anaknya aman, Murdani keluar dari pintu samping. Ketika itu, api telah melahap hampir semua sudut di lantai satu rumah Murdani. Untuk menyelamatkan diri, istri dan anak Murdani terpaksa harus loncat dari lantai dua. "Ada lima meter ketinggiannya," ujar Murdani.

Didampingi KontraS dan Amnesty International Indonesia, Murdani melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Lombok Selatan. Hanya dalam sepuluh hari, polisi mengumumkan telah mengantongi sepuluh nama yang diduga jadi pelaku pembakaran. Kasus pembakaran rumah Murdani pun sempat masuk ke ranah penyidikan. 

Enam bulan setelah peristiwa itu, polisi merilis surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP). Anehnya, polisi justru menyebut belum menemukan tersangka di surat itu. "Mereka berdalih belum cukup bukti untuk menentukan siapa yang jadi tersangka," kata Murdani. 

Meski kasusnya hingga kini mangkrak, Murdani sudah punya bayangan siapa pelaku pembakaran rumahnya. Murdani menduga peristiwa percobaan pembunuhan terhadap ia dan keluarganya terkait dengan aktivitasnya sebagai aktivis lingkungan. 

Menurut Murdani, pelaku kemungkinan ialah preman sewaan perusahaan tambang pasir yang sebelumnya beroperasi di Dusun Gundul, Desa Menemeng, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Sejak 2002, Murdani bekerja mengadvokasi warga menolak penambangan pasir di dusun tersebut. 

"Sejak 2001, masyarakat mulai merasakan dampak negatif dari keberadaan tambang tersebut yang lebih kurang seluas 200 hektare. Yang paling dirasakan dampaknya itu turunan air di permukaan. Bahkan, waktu itu sampai dengan sekitar 200-an meter yang di area tambang itu mengering," tutur Murdani.

Saat bertugas di dusun itu, ia berulang kali diintimidasi orang tak dikenal. Puncak konflik antara warga dan perusahaan terjadi pada 2016. Ketika itu, menurut Murdani, warga sepakat tak lagi memberikan izin bagi perusahaan untuk menambang di desa tersebut.

"Pada saat itu, ada sekitar 200-an preman yang dibayar untuk bentrok dengan kami. Waktu itu masyarakat geram karena tambang jalan terus dan tidak ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum. Jadi, masyarakat akhirnya menuntut aksi menutup sendiri," kata Murdani

Usai protes berkali-kali, aktivitas tambang akhirnya berhasil diberhentikan. Oleh Pemprov NTB, Desa Menemeng diubah statusnya menjadi desa wisata. Pada 18 Januari 2019, perusahaan mengajukan izin untuk kembali menambang di desa tersebut. Pemprov NTB menolak memberikan izin. 

"Setelah tidak diberikannya izin tambang dari pemerintah, ternyata terjadi peningkatan ancaman ke saya dan beberapa teman-teman. Saya tidak menduga mereka sampai seberani itu membakar rumah saya," kata Murdani.

Berbasis pengalaman dia dan rekan-rekannya di sejumlah daerah, Murdani merasa kekerasan dan kriminalisasi terhadap para pejuang lingkungan hidup seolah tak akan pernah berakhir. Apalagi, selama aparat penegak hukum terkesan tak serius menangani laporan kekerasan terhadap aktivis.  

"Kita harus jujur sampai dengan hari ini sangat minim keseriusan aparat hukum dalam melakukan pengusutan kasus yang dihadapi masyarakat mengenai lingkungan. Lihat Golfred Siregar yang mati. Sangat gelap sekali," ucap Murdani.

Golfred yang dimaksud Murdani adalah aktivis Walhi yang beroperasi di Sumatera Utara. Pada 3 Oktober 2019, Golfred ditemukan terkapar dengan kondisi mengenaskan di kawasan jembatan layang Simpang Pos, Padang Bulan, Medan. 

Sekira dua hari berselang, Golfred akhirnya meninggal di rumah sakit setempat. Dari hasil penyelidikan, polisi menyimpulkan Golfred tewas karena kecelakaan lalu lintas. Namun, keluarga Golfred menduga sang aktivis jadi korban pembunuhan. 

Salah satu aksi unjuk rasa aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. /Foto Instagram @jatamkaltim

Kantor diserbu

Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang mengatakan bahaya merupakan makanan sehari-hari para aktivis lingkungan. Sebagaimana yang dialami Murdani, ia dan rekan-rekan aktivis Jatam Kaltim juga pernah terancam nyawanya karena tugas-tugas advokasi yang mereka lakukan. 

Pada awal November 2018, misalnya, Jatam Kaltim pernah menyelidiki tewasnya seorang remaja SMP karena tenggelam di lubang tambang milik PT Bukit Baiduri Energi di Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Sebagai bagian dari penyelidikan, Rupang menyambangi rumah korban di sebuah desa di Tenggarong Seberang. Kedatangan Rupang ternyata telah dinanti. Di luar pintu desa, Rupang diintimidasi sejumlah orang tak dikenal. 

"Posisi saya sudah ditunggu di jalan keluar desa. Sekumpulan orang yang mengikuti saya. Nah, mereka bilang, 'Boleh kau keluar asal kejadian ini tak usah kau naikkan dulu ke media'," ujar Rupang saat dihubungi Alinea.id, belum lama ini. 

Karena merasa keselamatannya terancam, Rupang pun terpaksa memenuhi tuntutan mereka. Sesampainya di kantor Jatam di Samarina, Kalimantan Timur dan berdiskusi dengan rekan-rekannya, Rupang memutuskan untuk merilis kasus anak tenggelam tersebut.

Infografik Alinea.id/Firigie Saputra

Keputusan itu ternyata berbuntut panjang. Pada 5 November 2018, kantor Jatam di Samarinda diserang sekelompok orang tak dikenal. Beruntung, para aktivis Jatam sedang tidak berada di kantor. "Mereka merusak semua fasilitas kantor. Mereka marah karena kasusnya dirilis," jelas Rupang. 

Usai penyerbuan, Rupang rutin menerima telepon dan pesan singkat berisi ancaman. Jatam Kaltim lantas melaporkan rentetan intimidasi itu ke Polres Samarina. Namun demikian, hingga kini kepolisian belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

"Kami semula berpikir ini sudah berhenti. Ternyata kami masih dicari-cari juga. Bandit-bandit ini masih mencari kami sebelum pelaporan itu," ujar pria kelahiran Balikpapan, Kalimantan Timur, itu. 

Seturut Murdani, Rupang sepakat intimidasi dan kekerasan terhadap aktivis lingkungan bakal terus berulang. Terlebih jika kepolisian hanya membiarkan laporan dari aktivis lingkungan menumpuk di meja kerja mereka.

"Aparat hukum melihat aktivis lingkungan dan aktivis HAM ini justru sepertinya bukan hal penting. Makanya, beberapa kasus itu berulang. Ancaman teror dan upaya pembunuhan itu dianggap sesuatu yang tidak begitu penting untuk diungkap," kata Rupang.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan