Kisah Aridin yang selamat dari tsunami Selat Sunda
Tak pernah ada yang menyangka, pada 22 Desember 2018 malam tsunami menyapu daerah pesisir Banten dan Lampung. Pasang tinggi bulan purnama dan longsor bawah laut yang disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau memicu gelombang besar, per hari ini (31/12), merenggut 437 jiwa, membuat 14.059 orang luka-luka, dan 33.721 jiwa terpaksa mengungsi.
Aridin merupakan salah seorang penduduk yang terpaksa meninggalkan rumahnya yang porak-poranda di Batu Hideung, Tanjung Lesung, Banten. Saat peristiwa itu terjadi, Aridin sekeluarga sedang menikmati santap malam di rumah saudaranya.
“Krakatau meledak!” teriak keponakannya, ditirukan Aridin, yang membuat seisi rumah hiruk. Dia ingat, suara itu begitu menyeramkan. “Kami langsung lari dari rumah,” ujar Aridin, saat saya temui di Desa Batu Hideung, Minggu (30/12).
Mengungsi, dan anak trauma
Bila siang tiba, Aridin menyempatkan diri datang ke desanya. Malam hari, dia baru kembali ke rumah saudaranya di Citancang, Banten, tempatnya mengungsi.
Lantas, ketika gelombang datang, Aridin sekeluarga berhamburan ke seberang jalan. Mereka menghindar air laut yang mengejar. Aridin mengatakan, istrinya sempat tersapu gelombang tsunami. Namun beruntung, istrinya itu masih bisa memeluk pohon kuat-kuat.
“Alhamdulillah, dia selamat,” katanya.
Aridin tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Dia memiliki tiga anak. Selain anak bungsu yang tinggal satu atap, dua anaknya tinggal terpisah.
Malam itu, setelah tsunami menghantam, Aridin sempat menangis. Dia memikirkan nasib dua anaknya yang lain. Anak pertamanya kebetulan sudah menikah, dan tinggal di dekat pantai. Sedangkan anak yang kedua nyantri di daerah Citereup, Panimbang, Pandeglang. Aridin khawatir dua anaknya itu mengalami kejadian serupa. Tapi, dia bersyukur, akhirnya mendapatkan kabar dua anaknya itu selamat.
Anak bungsunya, yang masih duduk di bangku kelas 6 SD mengalami trauma. Sementara, si bungsu diungsikan di rumah saudaranya di Citancang. Aridin pun sebenarnya trauma. Maka, dia akan meninggalkan tepian pantai bila malam tiba.
Di Desa Batu Hideung, kampung halaman Aridin, seluruh bangunan luluh lantak. Puing-puing rumah terlihat berserakan. Batu karang besar yang terletak di pantai, ikut terbawa gelombang tsunami ke pinggir jalan.
Selama lima hari, aliran listrik di desa ini sempat terputus. Sepanjang perjalanan menuju Desa Batu Hideung, memang terlihat sisa tiang-tiang listrik yang tumbang. Aridin mengatakan, tak berniat kembali ke Desa Batu Hideung, bila kondisi sudah aman. Tapi, itu pun dilema.
“Saya sudah tak punya apa-apa lagi (di sini). Mau pindah juga tak ada uang,” kata Aridin, yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Namun, dia bersyukur, selain keluarganya, 14 kepala keluarga lainnya di Desa Batu Hideung selamat semua. “Hanya luka-luka ringan.”
Pada 23 Desember 2018 siang, petugas baru bisa mengakses kampung Aridin. Kedatangan bantuan yang agak lamban ini, disebabkan jalur jalan menuju desa tertutup puing-puing dan pohon tumbang. Setelah akses terbuka, petugas medis berdatangan, mengobati penduduk yang luka dan memulihkan trauma pascabencana.
“Saat ini, kami memerlukan bantuan sembako,” kata Aridin.
Tak pernah ada yang menyangka, pada 22 Desember 2018 malam tsunami menyapu daerah pesisir Banten dan Lampung. Pasang tinggi bulan purnama dan longsor bawah laut yang disebabkan erupsi Gunung Anak Krakatau memicu gelombang besar, per hari ini (31/12), merenggut 437 jiwa, membuat 14.059 orang luka-luka, dan 33.721 jiwa terpaksa mengungsi.
Aridin merupakan salah seorang penduduk yang terpaksa meninggalkan rumahnya yang porak-poranda di Batu Hideung, Tanjung Lesung, Banten. Saat peristiwa itu terjadi, Aridin sekeluarga sedang menikmati santap malam di rumah saudaranya.
“Krakatau meledak!” teriak keponakannya, ditirukan Aridin, yang membuat seisi rumah hiruk. Dia ingat, suara itu begitu menyeramkan. “Kami langsung lari dari rumah,” ujar Aridin, saat saya temui di Desa Batu Hideung, Minggu (30/12).
Mengungsi, dan anak trauma
Bila siang tiba, Aridin menyempatkan diri datang ke desanya. Malam hari, dia baru kembali ke rumah saudaranya di Citancang, Banten, tempatnya mengungsi.
Lantas, ketika gelombang datang, Aridin sekeluarga berhamburan ke seberang jalan. Mereka menghindar air laut yang mengejar. Aridin mengatakan, istrinya sempat tersapu gelombang tsunami. Namun beruntung, istrinya itu masih bisa memeluk pohon kuat-kuat.
“Alhamdulillah, dia selamat,” katanya.
Aridin tinggal bersama istri dan seorang anaknya. Dia memiliki tiga anak. Selain anak bungsu yang tinggal satu atap, dua anaknya tinggal terpisah.
Malam itu, setelah tsunami menghantam, Aridin sempat menangis. Dia memikirkan nasib dua anaknya yang lain. Anak pertamanya kebetulan sudah menikah, dan tinggal di dekat pantai. Sedangkan anak yang kedua nyantri di daerah Citereup, Panimbang, Pandeglang. Aridin khawatir dua anaknya itu mengalami kejadian serupa. Tapi, dia bersyukur, akhirnya mendapatkan kabar dua anaknya itu selamat.
Anak bungsunya, yang masih duduk di bangku kelas 6 SD mengalami trauma. Sementara, si bungsu diungsikan di rumah saudaranya di Citancang. Aridin pun sebenarnya trauma. Maka, dia akan meninggalkan tepian pantai bila malam tiba.
Di Desa Batu Hideung, kampung halaman Aridin, seluruh bangunan luluh lantak. Puing-puing rumah terlihat berserakan. Batu karang besar yang terletak di pantai, ikut terbawa gelombang tsunami ke pinggir jalan.
Selama lima hari, aliran listrik di desa ini sempat terputus. Sepanjang perjalanan menuju Desa Batu Hideung, memang terlihat sisa tiang-tiang listrik yang tumbang. Aridin mengatakan, tak berniat kembali ke Desa Batu Hideung, bila kondisi sudah aman. Tapi, itu pun dilema.
“Saya sudah tak punya apa-apa lagi (di sini). Mau pindah juga tak ada uang,” kata Aridin, yang sehari-hari bekerja sebagai petani.
Namun, dia bersyukur, selain keluarganya, 14 kepala keluarga lainnya di Desa Batu Hideung selamat semua. “Hanya luka-luka ringan.”
Pada 23 Desember 2018 siang, petugas baru bisa mengakses kampung Aridin. Kedatangan bantuan yang agak lamban ini, disebabkan jalur jalan menuju desa tertutup puing-puing dan pohon tumbang. Setelah akses terbuka, petugas medis berdatangan, mengobati penduduk yang luka dan memulihkan trauma pascabencana.
“Saat ini, kami memerlukan bantuan sembako,” kata Aridin.
Relawan sempat stres
Sebelum mengunjungi Tanjung Lesung, saya ke Desa Tembong, Kecamatan Carita, Banten. Seminggu pascabencana, situasi di desa ini cukup kondusif. Bantuan berupa logistik dan air bersih lancar mengalir ke desa ini.
Di sini, saya bertemu salah seorang relawan dari Asosiasi Santri Tanggap Bencana (Astana) Aat. Pria yang berasal dari Tuban, Jawa Timur itu, sejak 23 Desember 2018, sudah berada di Desa Tembong. Dia bersama timnya membantu warga sekitar yang terdampak bencana.
Aat berkisah, selama dua hari pertama membantu warga, dia tak bisa tidur. “Warga berebut mengambil sembako di posko,” kata dia. “Dua hari pertama, saya stres.”
Wajar saja, Aat pertama kali menjadi seorang relawan bencana. Hal-hal yang dia alami, tak pernah dia temui sebelumnya. Setelah dua hari pertama, menurut Aat, kondisi di Desa Tembong berlangsung membaik. Dia tertolong oleh database warga desa yang dibuatnya dalam sehari.
Posko di desa ini berada di sebuah sekolah dasar. Desa ini sebetulnya tergolong aman dari tsunami, karena letaknya berada di atas bukit. Namun, warga sekitar Carita tak banyak yang mengungsi di posko.
“Warga yang bawah menginap di rumah-rumah warga sini (Desa Tembong) kalau malam,” kata Aat.
Bila siang hari, warga turun untuk beraktivitas seperti biasa. Posko yang berada di sekolah dasar tersebut memang terlihat kosong, tak ada pengungsi saat saya datang. Hanya terlihat beberapa relawan yang beristirahat di bawah tenda milik polisi.
Dia mengatakan, pengungsi banyak yang sakit, karena kondisi cuaca memang sedang buruk. Terbanyak, kata Aat, warga mengalami demam. Tapi, hal itu ditangani tim medis, dengan memberikan obat-obatan.
Aat menjelaskan, penanganan trauma pascabencana sudah dilakukan Kementerian Kesehatan, dengan mendatangkan psikolog. “Kemarin (Sabtu, 29/12) warga diajak main gim, karena kan jenuh ya di pengungsian. Warga diajak ngobrol juga, sambil ditenangkan oleh psikolog,” ujar Aat.
Trauma yang dialami warga Carita, kata Aat, mirip trauma yang dialami Aridin. Ketika malam, warga akan naik ke Desa Tembong untuk menginap di rumah-rumah warga. Bukan hanya warga, petugas kepolisian pun, sebut Aat, ada yang trauma.
“Saya pernah ketemu polisi di Desa Tembong yang trauma karena tsunami ini,” kata Aat.
Aat mengatakan, saat tsunami terjadi, polisi tersebut memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Setelah tsunami terjadi, lanjut Aat, polisi itu tak berani lagi melihat laut dan minta dipindahtugaskan dari Carita.