close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Toni Spontana (tengah) menyerahkan secara simbolis kepada Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Sulaiman A. Arianto (ketiga kanan) uang ganti rugi korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari terpidana Samadikun Ha
icon caption
Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Toni Spontana (tengah) menyerahkan secara simbolis kepada Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Sulaiman A. Arianto (ketiga kanan) uang ganti rugi korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari terpidana Samadikun Ha
Nasional
Rabu, 06 Juni 2018 21:07

Kisah di balik skandal megakorupsi BLBI ratusan triliun

Kasus skandal megakorupsi Bantuan Langsung Likuditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998 sebesar Rp144 triliun memasuki babak baru.
swipe

Kasus skandal megakorupsi Bantuan Langsung Likuditas Bank Indonesia (BLBI) pada 1998 sebesar Rp144 triliun memasuki babak baru.

Mantan menteri keuangan Bambang Subianto mengungkapkan soal penandatanganan surat utang BLBI senilai Rp144 triliun pada Desember 1998.

"BLBI yang menyalurkan Bank Indonesia, mereka detailnya tahu bank apa dapat berapa. Lalu BI mengajukan kepada pemerintah agar kewajiban bank kepada BI dibayar oleh pemerintah, bukan diselesaikan secara satu satu tapi secara keselurahan yaitu Rp144 triliun," kata Bambang dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, dilansir Antara, Rabu (6/6).

Bambang bersaksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN periode 2002-2004 didakwa bersama-sama dengan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorojatun Kuntjoro-Jakti serta pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih S Nursalim telah melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) serta menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun.

"Saya minta diklarifikasi angka Rp144 triliun itu, saya minta BPKP periksa. Setelah hasil periksaaan dilaporkan pada akhir November memang situasinya berat karena ada beberapa puluh triliun yang menurut BPKP tidak ada data pendukungnya. Ini secara menyeluruh. Saya jadi terjepit dalam sebuah dilema. Kalau saya tidak mengeluarkan surat utang pemerintah untuk mengganti BLBI, maka BI bangkrut dan republik Indonesia bangkrut," tambah Bambang.

Ia pun menandatangani surat tagihan untuk menalangi sementara tagihan BLBI tersebut.

"Ini harus dibuat pencadangan, karena itu saya tanda tangan surat tapi dengan membuat surat pengantar yang mengatakan angka ini hanya sementara, harus diverifikasi pihak independen. Itu makanya saya selamat, kalau tidak pasti duduk di sini saya yakin," ungkap Bambang.

Bambang menjadi Menteri Keuangan selama 18 bulan hingga Oktober 1999. Ia juga Ketua BPPN pertama namun hanya satu bulan.

"BPPN tugas prinsipnya untuk membenahi perbankan. Kedua mengumpulkan aset, kemudian dirawat dan dijual kembali untuk menutup utang karena ada yang ditanggung pemerintah. Maka BPPN awalnya mengumpulkan para pemegang saham pengendali dan meminta aset mereka, kalau bank ditutup hitung jumlah kekayaan dan berapa nilai kewajiban, selisihnya harus dibayar, ditomboki pemerintah," ungkap Bambang.

Menurut Bambang, meski bank ditutup, uang nasabah di dalam tidak boleh hilang. Pemerintah menjamin uang nasabah dan memerintahkan BPPN memindahkan rekening nasabah ke bank penampung, kemudian mengumumkan uang itu berada di bank penampung.

Bambang juga mengakui bahwa BDNI pernah dievaluasi tapi ia mengaku tidak mendapatkan laporannya secara khusus.

"BDNI pernah dievaluasi, kemudian dihitung ada kurang (aset). Penghitungan tidak sekaligus karena aset ada yang bentuknya perusahaan, fisik, tanah bangunan," ungkap Bambang.

img
Sukirno
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan