close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemerintah menolak memulangkan pengikut ISIS asal Indonesia. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Pemerintah menolak memulangkan pengikut ISIS asal Indonesia. Ilustrasi Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Rabu, 19 Februari 2020 06:18

Kisah eks ISIS dan peliknya menakar kaum radikal

Pemerintah tak berani memulangkan pengikut ISIS di Suriah.
swipe

Aula Gedung IASTH, Universitas Indonesia (UI) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, penuh sesak dengan mahasiswa, Selasa (11/2) siang itu. Ratusan orang berjejal memenuhi hampir setiap sudut ruangan. Tak satu pun kursi kosong tersisa. 

Hari itu, sebuah acara peluncuran buku dan diskusi digelar di aula tersebut. Febri Ramdani, sang penulis, tengah jadi bintang. Di atas mimbar, suara pemuda berusia 22 tahun itu disimak secara saksama oleh para peserta diskusi. 

Buku Febri diberi tajuk "300 Hari di Bumi Syam: Catatan Perjalanan Mantan Pengikut ISIS". Isi buku itu kurang lebih mengisahkan pengalaman Febri saat "kesasar" ke Suriah dan bergabung dengan organisasi teroris pimpinan Abu Bakr Al-Baghdadi. 

"Saya ke Suriah pada tahun 2016 dan kembali ke Indonesia pada Agustus 2017," ujar Febri saat berbincang dengan Alinea.id usai forum diskusi itu. 

Febri sebenarnya tak tertarik bergabung dengan ISIS. Pada 2016, ia memutuskan terbang ke Suriah hanya untuk menyusul keluarganya yang telah lebih dulu berangkat. Ketika itu, ISIS memang sedang gila-gilaan merekrut prajurit asing. 

"Saya masuk lewat Turki. Tapi, sebelum betemu keluarga saya di (Raqqah, Suriah), saya sempat ditawan oleh Jabhat Al-Nusra selama satu bulan," ujar Febri.

Jabhat Al-Nusra merupakan milisi bentukan Al-Qaeda di Suriah. Meskipun sama-sama lahir dari rahim Al Qaeda, ISIS dan Jabhat Al-Nusra tak akur. Keduanya kerap terlibat konflik militer sejak 2013. "Saya sempat dipaksa sama kelompok ini untuk latihan militer, tapi saya menolak," tutur Febri. 

Setelah dibebaskan, Febri kemudian melanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di Raqqah. Di ibu kota ISIS itu, Febri bertemu dengan keluarganya. Namun, alih-alih disambut hangat, Febri malah kena damprat. "'Ngapain sih lu kemari?' Hampir semua keluarga negur," tutur Febri.

Menurut Febri, keluarga besarnya ternyata kecewa bergabung dengan ISIS. Bukannya sejahtera, keluarga dia justru hidup susah di Raqqah. Febri pun dilarang keras ikut-ikutan pelatihan militer ISIS.

"Kamu jangan ikut-ikutan militer, bisa-bisa enggak balik kamu. Nanti kamu didoktrin enggak beres di situ," kata Febri menirukan ucapan salah satu anggota keluarganya ketika itu. 

Hampir 300 hari, Febri berada di Suriah. Menurut Febri, keluarganya kian tak betah. Apalagi, berulang kali mereka menyaksikan kekejaman kaum jihadis ISIS. 

"Saudara saya itu sering melihat anak-anak itu diajarin nendang kepala orang. Terus sering lihat pemaksaan terhadap perempuan. Enggak beres mereka semua itu. Jabhat Al-Nusra sama ISIS itu saling bunuh. Pokoknya, yang berbeda mereka bunuh," tuturnya.

Merasa keselamatan mereka kian terancam, keluarga Febri pun sepakat merencanakan misi pelarian. Secara sembunyi-sembunyi, Febri dan 18 keluarganya kabur dari kamp ISIS. "Kalau sampai kami ketahuan, bisa dibunuh semuanya," ujar Febri. 

Sempat putus asa dalam pelarian, keluarga Febri akhirnya bertemu kelompok pejuang Kurdi bagian dari Syrian Democratic Forces (SDF). Oleh kelompok milisi anti-ISIS itu, Febri dan keluarganya ditahan selama dua bulan. 

Setelah menjalani serangkaian interogasi, mereka kemudian diserahkan ke otoritas Suriah. Kabar mengenai keberadaan Febri dan keluarganya pun akhirnya sampai ke pemerintah Indonesia. Pada Agustus 2017, tim dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menjemput mereka. 

"Pas balik, saya langsung di bawa ke BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Selama sebulan, langsung dilatih wirausaha segala macam. Untuk deradikalisasi, enggak dapet karena kita enggak radikal. Kami enggak ekstrem," ujarnya.

Diakui Febri, sulit untuk menakar kadar radikalisme mantan pengikut ISIS. Pasalnya, bisa saja WNI yang pulang dari Suriah menyembunyikan sikap mereka di depan publik. 

Ia mencontohkan kasus pasangan Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh. Rullie dan Ulfah tewas dalam aksi bom bunuh diri yang mereka lancarkan di sebuah gereja di Jolo, Filipina, pada 2019. 

Padahal, setelah dideportasi dari Turki karena gagal bergabung dengan ISIS di Suriah, keduanya sempat ikut program deradikalisasi pemerintah. "Ya, dia menyembunyikan (sikapnya di depan orang-orang) berarti," ujar Febri. 

Peserta aksi yang tergabung dalam Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Barabaja) berunjuk rasa dengan membawa poster di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin (10/2). /Foto Antara

Pemerintah tak mau atau tak siap? 

Saat ini, masih ada 689 WNI yang berada di kamp ISIS di Suriah. Namun, berbeda dengan kasus Febri dan keluarganya, pemerintah memutuskan tidak akan membantu pemulangan mereka dan bakal mencegah mereka masuk ke Indonesia. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menyebut ke-689 orang itu sudah bukan WNI lagi. Jika dipulangkan, Jokowi khawatir, para pengikut ISIS itu bakal menimbulkan ancaman bagi stabilitas keamanan nasional. 

"Oleh sebab itu, pemerintah tidak memiliki rencana untuk memulangkan orang-orang yang ada di sana, ISIS eks WNI," kata Jokowi di Wisma Negara, Jakarta, Rabu (12/2).

Akan tetapi, pemerintah masih membuka peluang memulangkan anak-anak berusia di bawah 10 tahun yang sudah tidak punya orangtua di Suriah. "Akan dipertimbangkan setiap kasus," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.

Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perhatian Khusus (BRSAMPK) Handayani Jakarta Neneng Heriyani sepakat anak-anak eks WNI ISIS perlu dipertimbangkan untuk dipulangkan. Menurut dia, anak-anak kerap hanya menjadi korban dari obsesi orangtua mereka di jalan jihad. 

"Yang salah sebenarnya orang tuanya. Anak-anak mah ikut-ikutan aja. Dia bersentuhan dengan radikalisme itu kan karena orang tuanya," ujar Neneng saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Kamis (13/2).

BRSAMPK Handayani termasuk salah satu yayasan yang pernah menampung puluhan WNI eks ISIS yang dipulangkan ke Tanah Air pada 2017 lalu. Kini, hanya tinggal satu anak lagi yang masih dibina yayasan di bawah naungan Kementerian Sosial itu. 

Peserta aksi yang tergabung dalam Barisan Relawan Bhinneka Jaya (Barabaja) berunjuk rasa dengan membawa poster di depan Istana Merdeka Jakarta, Senin (10/2). /Foto Antara

Anggota kelompok ahli BNPT Hamdi Muluk menilai persoalan hilangnya kewarganegaraan tidak seharusnya jadi inti polemik pemulangan eks ISIS. Menurut dia, pemulangan bakal bermasalah lantaran pemerintah saat ini belum punya kemampuan teknis yang mumpuni untuk memilah para kombatan. 

"Untuk melihat mereka itu harus dilihat kasus per kasus. Mereka itu tidak sama satu sama lain. Dibutuhkan keterampilan khusus untuk mengidentifikasi mereka," ucapnya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (13/2).

Menurut Hamdi, pemerintahan memilih tidak memulangkan mereka karena proses identifikasi tingkat radikalisme seseorang butuh waktu yang panjang. Selain itu, biayanya pun tergolong mahal. Di sisi lain, bukan tidak mungkin deportan dari Suriah lolos dari semua tes dan ternyata tetap radikal. 

"Untuk melakukan identifikasi itu dibutuhkan orang yang terlatih dan sudah makan asam garam meneliti terorisme. Bila tidak, bisa ditipu sama mereka nanti. Jangan sampai pas pulang ke Indonesia ternyata mereka punya rencana lain. Nanti kasusnya kaya Rullie dan Ulfah yang melakukan bom bunuh diri di Filipina," tutur Hamdi. 

Menurut Hamdi, saat ini belum banyak orang yang memiliki kemampuan mengidentifikasi teroris di Indonesia. Karena itu, pemerintah harus merekrut dan melatih tim pakar terlebih dahulu jika ingin memulangkan para pengikut ISIS di Suriah.  

"Orang yang benar-benar langsung menangani masalah ini sedikit. Untuk membujuk teroris mau diwawancara saja diperlukan waktu. Apalagi, bila harus mencari terlebih dulu. Jadi, perdebatannya bukan mau dipulangkan atau tidak. Tapi, masalahnya kita belum siap untuk melakukan identifikasi," imbuh dia. 

Tahanan warga asing yang diduga sebagai bagian dari Islamic State berbaring di sel penjara di Hasaka, Suriah, 7 Januari 2020. Foto Antara/Reuters/Goran Tomasevic

Mengidentifikasi teroris butuh kerja keras

Mantan narapidana kasus terorisme Kurnia Widodo punya pendapat serupa. Menurut Kurnia, tipe WNI yang hijrah ke ISIS tak bisa dipukul rata. Ada yang benar-benar radikal dan ada pula yang hanya sekadar ikut-ikutan arus. 

"Di antara mereka ada yang ikut-ikutan datang ke sana memang untuk mati. Untuk berjihad sampai titik darah penghabisan," ujarnya saat berbincang dengan Alinea.id di kawasan Cikutra, Bandung, Jawa Barat, belum lama ini. 

Diakui dia, menangani pengikut ISIS tak bisa sembarangan. Butuh waktu yang panjang sebelum benar-benar meyakini seseorang bersih dari ide-ide radikal dan tidak lagi dekat dengan jejaring teroris. 

"Jangan terbatas pada soal dia kombatan atau tidak. Sebab, ada juga yang kombatan, tapi dia sudah tak memiliki perhatian dengan kelompoknya. Ini harus disaring. Nah, bagaimana menyaringnya itu diserahkan kepada yang benar-benar paham," jelasnya.

Kurnia pesimistis eks ISIS bisa kembali "dimurnikan" via program deradikalisasi yang digelar pemerintah. Menurut dia, hanya sedikit eks teroris alumni program deradikalisasi yang bisa kembali memeluk Pancasila dan setia pada NKRI. 

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Direktur Eksekutif Indonesian Muslim Crisis Center Robi Sugara mengatakan ada beragam persoalan teknis yang harus dibenahi jika pemerintah berniat memulangkan anak-anak atau janda eks ISIS dari Suriah. 

Salah satunya ialah kepiawaian memilah dan profiling. "Mereka itu ada yang bisa menutup-nutupi. Terutama yang pernah mendapat pelatihan militer. Ini perlu kecakapan untuk mengidentifikasi. Benar mereka ingin pulang atau ada maksud lain?" tuturnya.

Menurut Robi, pemerintah harus jeli mengategorisasikan para pengikut ISIS di Suriah. Ia mengatakan, perlakuan berbeda harus diberikan kepada setiap pengikut ISIS sesuai dengan tingkat radikalisme masing-masing. 

"Model interogasi yang masih jadi soal. Bagi mereka yang tidak terlalu radikal, bisa dilakukan rehabilitasi dan deradikalisasi. Tapi, yang pernah ikut pelatihan militer, tentu harus dikarantina dulu," jelas dia. 

Lebih jauh, ia mengatakan, rehabilitasi dan pembinaan juga tidak bisa diserahkan ke pemerintah daerah. Pasalnya, banyak pemerintah daerah yang belum mampu mengadopsi mandat Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme, khususnya yang mengatur soal deradikalisasi. 

"Persoalan bakal terjadi ketika dipulangkan ke wilayah masing-masing. Perangkat-perangkat di daerah belum mampu mengatasi ini lantaran belum ada regulasi lokalnya. Terlebih untuk mengatasi mereka yang sudah mendapat pelatihan militer," katanya.

Ditanya soal ketidaksiapan pemerintah, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menolak berkomentar. "Kami untuk sementara diperintahkan untuk menunda respons semua pertanyaan. Menkopolhukam yang diperintahkan Presiden Jokowi (untuk menjawab)," ujar Irfan.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan