Kisah Marsinah dan buruh lain yang jadi martir
Marsinah dan Wiji Thukul memang tak bernasib baik, layaknya aktivis buruh dari Rio de Janeiro Lula da Silva. Lula yang sempat menjadi tukang semir sepatu, lalu menjadi buruh di perusahaan otomotif—yang membuat jarinya putus dilibas mesin bubut—tak diculik atau dibunuh oleh rezim setempat. Kendati ia aktif mengorganisir serikat buruh sejak 1971, namun pada 2002 ia justru terpilih sebagai Presiden Brazil. Ia dinilai sebagai sosok egaliter yang bisa menyambung lidah kaum akar rumput. Hal demikian tak terjadi pada Marsinah maupun Wiji.
Bangkai Marsinah justru ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur pada 8 Mei 1993. Hari-hari jelang kematiannya, ia gunakan untuk turun ke jalan menyuarakan sejumlah tuntutan buruh dari PT Catur Putera Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, pabrik tempatnya bekerja. Di antara tuntutan itu adalah kelayakan upah minimum regional dari Rp1,7 juta jadi Rp2,25 juta, upah lembur, dan cuti hamil bagi buruh perempuan.
Tuntutan itu sendiri lahir pasca pengabaian PT CPS terhadap Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 1992 untuk menaikkan upah buruh. Marsinah bergerak bersama rekan-rekannya sesama buruh di pabrik itu pada 3 dan 4 Mei 1993 untuk menuntut kenaikan upah.
Yang terjadi berikutnya gampang ditebak, sebanyak 13 aktivis digiring ke kantor Kodim Sidoarjo. Mereka disebut-sebut telah melakukan penghasutan terhadap semua buruh yang mogok total. Marsinah ke Kodim untuk menjenguk rekan-rekannya, namun alih-alih kembali, ia diperkosa, disiksa, dan dibunuh. Vaginanya dihujam selongsong peluru, memar di leher, dan bekas darah yang mengering ditemukan di sekujur badan. Begitulah simpulan ahli forensik Mun’im Idries dalam “Indonesia X-Files” (2013).
Meski telah terang benderang hasil visum dari ahli forensik, pelaku pemerkosa dan pembunuh Marsinah masih gelap. Tiga saksi yang berprofesi sebagai satpam telah diperiksa, terdakwa pernah divonis bersalah. Namun pada 29 April 1995 mereka semua dibebaskan dengan dalih tak ada konsistensi dalam BAP dan kesaksian di pengadilan, serta kesulitan pembuktian.
Nasib buruk juga menimpa Wiji Thukul, aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD) yang bekerja serabutan. Kerja sebagai buruh pernah ia cicipi di pabrik pelitur Solo. Anak tukang becak ini juga gemar menulis keresahannya soal nasib buruh dalam bentuk puisi. Ada ratusan puisi yang pernah ia tulis. Penulis Indoprogress Lilik HS yang dulu juga aktif di PRD mengenang Thukul sebagai sosok gila baca nan berani menentang penindasan.
“Kata-kata tak mengubah realitas, tapi mempertajam realitas!” demikian ia memaknai kata-kata dalam puisinya. Thukul di mata Lilik, dikutip DW, memang sosok manusia unik, orisinil, cerdas, dan blak-blakan. Alih-alih sekadar berpuisi, ia juga aktif mengorganisir buruh dan petani. Dalam setiap aksi demonstrasi buruh, ia ikut hadir di garda depan. Termasuk saat demo buruh melawan PT Sritex di Solo.
Lilik menyebut Thukul sebagai pintu masuk untuk melihat babak sejarah Indonesia, di mana kebebasan berbicara yang diperoleh hari ini bukan diperoleh dengan jalan yang mudah, melainkan buah dari proses panjang dan berdarah, yang memakan banyak korban.
Thukul, lanjut Lilik, juga mewariskan keberanian. Situasi saat itu setelah puluhan tahun rakyat dibungkam, membutuhkan api keberanian untuk mendobrak. Puisi Thukul menggerakkan keberanian itu. Dia mendobrak kesadaran orang untuk berani melawan. Thukul mengajarkan konsistensi. Mengajarkan para buruh dan petani untuk turun ke jalan dan berani memperjuangkan hak mereka.
Keberanian Thukul juga tampak dari puisi-puisi realisnya yang relatif menggigit. Ada dua puisi Thukul yang kerap dikutip bahkan mengilhami dibuatnya film “Istirahatlah Kata-kata” yang dibesut sutradara Yosep Anggi Noen.
“Kemerdekaan adalah nasi, dimakan jadi tai.”
--Puisi Kemerdekaan (1982)
Satu lagi,
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!”
--Peringatan (1986)
Thukul menghilang usai pecah peristiwa 27 Juli 1996 (kudatuli). PRD dibubarkan paksa, anggotanya termasuk Thukul jadi buronan. Ia terpaksa sembunyi dan berpindah-pindah kota untuk menyelamatkan diri. Hingga puncaknya, ia menghilang tak jelas rimbanya hingga hari ini. Sang istri Sifon dan kedua anaknya Fajar Merah serta Fitri Nganthi Wani berkeyakinan, Thukul diculik, mungkin dibunuh.
Perjuangan Thukul dan Marsinah yang terpaksa jadi martir memang mengesankan. Pertanyaannya, adakah legasi keberanian mereka yang diwariskan pada buruh-buruh sesudahnya?
Anggota Badan Pekerja Social Movement Institute (SMI) Eko Prasetyo menulis, buruh PT Delta Merlin Sandang Tekstil (PT DMST) di Sragen telah melanggar sejumlah hak buruh. Di antaranya, buruh perempuan jika hamil harus berhenti, kontrak hanya berlaku tiga bulan saja, liburan lebaran hanya empat hari, jaminan kesehatan, perlindungan hak nol, dan serikat buruh dilarang. Karena larangan itu, sejumlah buruh berunjuk rasa menyerukan sejumlah tuntutan. Naas, bukannya dipenuhi, sebagian besar justru dirumahkan pada medio 2016. Buruh banyak menganggur karenanya.
Aksi buruh juga terjadi secara sporadis di berbagai kota. Pada 2012 aksi unjuk rasa berlangsung dari karyawan PT Frisian Flag. Mereka menuntut untuk segera dijadikan karyawan tetap. Mengingat dari 1.700 pegawai, hanya 300 orang yang berstatus karyawan tetap, sementara 1.400 orang sisanya masih berstatus kontrak. Satu buruh diamankan dalam aksi tersebut.
Aksi protes juga bergulir dari karyawan PT MNC Group yang kukuh memperjuangkan nasib mereka, lewat serikat buruh yang mereka buat. Buntutnya justru pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 300 karyawan mereka. PHK yang dilakukan perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo ini dinilai tidak sesuai prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dari berbagai aksi buruh yang terjadi, jadi indikasi sederhana, perjuangan Marsinah dan Thukul masih hidup. Pun jadi catatan, berpuluh tahun pasca kematian dan hilangnya mereka, agenda kesejahteraan buruh masih jauh api dari panggang.