close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang bocah mengemis di persimpangan Grogol, Jakarta Barat, Sabtu (27/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
icon caption
Seorang bocah mengemis di persimpangan Grogol, Jakarta Barat, Sabtu (27/8). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Nasional
Rabu, 31 Agustus 2022 15:12

Jakarta dan para belia yang terpaksa putus sekolah

Jumlah anak yang putus sekolah di tingkat SD di DKI Jakarta merupakan yang tertinggi se-Indonesia.
swipe

Senyum puas terpancar dari wajah Angga usai mengantongi lembaran duit ribuan dari para pengendara yang tengah berhenti perempatan Grogol, Jakarta Barat, Sabtu (27/8) malam itu. Dengan cekatan, bocah berusia 11 tahun itu berzig-zag menghindari barisan motor dan mobil yang berjejer menanti lampu hijau. 

Usai kerja singkat itu, Angga kembali ke "tongkrongannya" di pinggir jalan. Duit hasil meminta-minta itu ia berikan kepada salah satu rekannya. Saat lampu merah kembali menyala, seorang bocah lainnya mengangkat pantat menggantikan tugas Angga mengemis. 

"Buat jajan aja. Awalnya, cuma iseng aja dulu. Ikut temen (yang sudah lebih dulu mengemis)," kata Angga saat mengobrol dengan Alinea.id. 

Angga rutin mangkal bersama anak-anak lain di perempatan itu. Selain mengemis, ada pula bocah yang mengamen. Berkumpul saat petang, biasanya mereka bekerja hingga tengah malam. 

Menurut Angga, ia dan rekan-rekannya bisa mengantongi uang Rp20 ribu hingga Rp30 ribu dari hasil mengemis selamaman. 

"Kalau ada polisi, ya, lari. Ngumpet dulu di balik tembok flyover. Nanti kalau (polisinya) udah lewat, baru kita lanjut kerja lagi," ujar dia.

Saat ini, Angga tinggal bersama neneknya di kawasan Jelambar, Jakarta Barat. Orang tuanya bercerai sejak Angga masih duduk di kelas 3 SD.  

Enam bulan lalu, Angga putus sekolah. Ia mengaku tak betah bersekolah lantaran tak pernah membawa duit jajan. Sejak itu, ia mulai nongkrong di perempatan Grogol. 

"Aturan, naik kelas 6 sekarang kalau kemarin masuk terus mah," kata Angga.

Potret serupa juga terlihat di persimpangan jalan antara Jalan Daan Magot dan Jalan Tubagus Angke, Jakarta Barat, Minggu (29/7) siang. Di perhentian lampu merah yang terletak di bawah flyover Pesing itu, setidaknya ada belasan anak berusia sekitar 10-15 tahun berkerumun. 

Ada yang berpenampilan sebagai badut, ada juga yang menenteng alat musik ala kadarnya. Di antara mereka, terlihat ada sejumlah orang dewasa. Salah seorang perempuan mengamen sembari menenteng seorang anak. 

"Saya nanti enggak bisa nyari duit di sini lagi," ujar perempuan itu saat Alinea.id bertanya mengenai identitasnya. Ia mengaku takut diincar Satpol PP jika identitasnya terungkap. 

Perempuan itu juga enggan mengungkap siapa anak yang ia bawa saat mengamen. Yang jelas, ia sebut, anak itu masih kerabatnya. "Pokoknya, aman sama saya," imbuh dia. 

Kehadiran Angga dan sejumlah pekerja anak lainnya merupakan gambaran nyata masih tingginya jumlah anak yang putus sekolah di ibu kota. Di tingkat SD, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat ada 38.716 anak yang putus sekolah pada 2021. 

Data itu dirilis pada Mei 2022. Kemendikbudristek merinci DKI Jakarta sebagai provinsi dengan persentase putus sekolah tingkat SD tertinggi di Indonesia. Dari 38.716 orang, sebanyak 0,69% disumbang oleh provinsi tersebut. 

Pada peringkat ketiga, ada Kalimantan Utara yang angka putus sekolahnya mencapai 0,42% dari total nasional dan Gorontalo dengan cakupuan sekitar 0,31%. Bali tercatat sebagai provinsi dengan angka putus sekolah tingkat SD paling rendah dengan persentase sebesar 0,04%.

Dua bocah mengemis di pinggir jalan persimpangan Grogol, Jakarta Barat, Sabtu (27/8) malam. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Terkesan ironis

Meskipun angkanya masih di bawah 1%, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Jhonny Simanjuntak mengatakan, kehadiran anak putus sekolah di tingkat SD di wilayah DKI Jakarta tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, DKI merupakan provinsi dengan anggaran pendidikan terbesar di seluruh Indonesia. 

"Jakarta provinsi paling tertinggi secara APBD. Jauh dibandingkan yang lain tidak bisa dibandingkan. Artinya ini sudah jadi keprihatinan. Selain itu, SD merupakan jenjang wajib belajar bagi setiap orang," kata Jhonny kepada Alinea.id, Senin (29/8).

Menurut Jhonny, persoalan anak jalanan merupakan salah satu isu yang jadi perhatian DPRD sejak 2021. Karena imbas pandemi Covid-19 terhadap perekonomian keluarga, banyak orang tua yang tak lagi mampu menyekolahkan anaknya. Anak-anak pun memilih hidup di jalanan. 

"Terjadi peningkatan masyarakat tidak mampu. Akhirnya, banyak siswa-siswa kita yang memang dia orang susah atau susah belakangan ini karena kemiskinan akibat Covid-19 itu. Mereka juga tidak tersentuh bantuan itu," jelas politikus PDI-Perjuangan itu.

Jhonny tak memungkiri Pemprov DKI Jakarta sudah berupaya menekan angka putus sekolah dengan menggelontorkan dana bantuan Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan bantuan sejenisnya. Namun, sayangnya tidak semua anak kurang mampu menerima manfaat dari KJP. 

"Mereka rata-rata dari sekolah swasta. Untuk masuk sekolah swasta itu mahal bukan main karena perlu biaya yang besar. Kedua, untuk membayar iuran mereka juga memiliki masalah besar karena mereka tidak dapat KJP (Kartu Jakarta Pintar). Sebagian dapat, sebagian lagi tidak," kata Jhonny.

Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria meminta Dinas Pendidikan DKI Jakarta serius menangani persoalan anak-anak putus sekolah di usia belia di ibu kota. Pemetaan terperinci perlu dilakukan untuk memastikan anak-anak yang ada pada data Kemendikbud-ristek itu merupakan anak-anak yang tinggal di DKI Jakarta. 

"Asal anak-anak ini darimana? Misalnya, saya di dapil Jakarta Pusat. Sekali turun, ada di 16 titik per 3 bulan sekali. Selalu saya tanya ke masyarakat atau sudin (suku dinas), 'Ada enggak yang putus sekolah?' Jawabannya, selalu tidak ada," kata Iman kepada Alinea.id, Senin (29/8).
 
Iman sepakat bila sekolah swasta perlu menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Menurut dia, tak semua sekolah swasta di ibu kota bergelimang dana. Sebagian sekolah swasta di DKI, kata dia, terseok-seok menyelenggarakan pendidikan. Padahal, sekolah-sekolah itu dihuni siswa dari kalangan keluarga tak mampu. 

"Sekolah swasta macam-macam. Ada yang mampu dan tidak mampu. Yang mampu, ya, kita tidak sentuh karena bisa jalan sendiri. Nah, yang tidak mampu ini, kadang-kadang sekolah MI (madrasah ibtidayah) dan MTs (madrasah tsanawiyah) yang berada di permukiman tidak mampu, yang harus menjadi perhatian," kata Iman. 

Lebih jauh, Iman mengatakan, Komisi E menginisiasi revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8/2006. Dalam revisi, salah satu poin yang bakal didorong ialah mekanisme pemberian bantuan dari Pemprov DKI terhadap sekolah-sekolah swasta yang tak mampu.

"Tidak hanya KJP, termasuk juga  pembaharuan gedung untuk sekolah-sekolah yang memang kurang mampu. Jangan hanya karena swasta tidak terjangkau (peraturan) akhirnya enggak kita perhatikan. Itu salah karena orang tua mereka bayar pajaknya ke DKI Jakarta," kata dia. 

Ilustrasi siswa sekolah dasar. /Foto Antara

Bantuan hingga pemulihan

Pengamat pendidikan dari Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan Andreas Tambah memandang angka putus sekolah di jenjang SD di DKI tergolong tinggi. Ia menyebut fenomena itu ironis lantaran DKI punya anggaran pendidikan DKI Jakarta yang sangat besar.

"Dalam hal wajib belajar 12 tahun, angka 0.69% (dari total nasional) tergolong tinggi. Ini sangat disayangkan karena anggaran pendidikan DKi terbesar, tetapi anak putus sekolah malah terbesar pula," kata Andreas kepada Alinea.id, Senin (29/8).

Berbasis laporan orang tua kepada Lembaga Rumah Literasi 45, menurut Andreas, setidaknya ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak-anak putus sekolah. Pertama, banyak orang tua yang kehilangan pekerjaan saat pandemi Covid-19 sehingga tak mampu lagi menyekolahkan anak-anak mereka.

Kedua, beban perekonomian yang kian berat selama pandemi Covid-19 di Jakarta. Ketiga, siswa berasal dari sekolah swasta yang biaya pendidikannya tergolong mahal. "Dalam hal ini, masyarakat bawah memiliki beban yang berat (untuk membiayai pendidikan)," kata pendiri Rumah Literasi 45 itu. 

Untuk mengurangi angka putus sekolah di ibu kota, Andreas mengusulkan sejumlah solusi. Pertama, Dinas Pendidikan DKI Jakarta memetakan kawasan-kawasan yang kekurangan sekolah negeri untuk memastikan pendidikan murah bisa dijangkau oleh seluruh warga DKI. 

Kedua, pemberian bantuan khusus kepada sekolah swasta yang banyak diisi siswa dari kalangan masyarakat tidak mampu. "Kemudian perlu ada bantuan khusus untuk anak-anak yang kurang mampu yang tidak tertampung di sekolah negeri. Mereka banyak yang terpaksa di sekolah swasta," kata Andreas. 

Infografik Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Tak kalah penting, lanjut Andreas, pemulihan dari dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ). Saat PJJ berlangsung, menurut dia, banyak siswa berhenti sekolah karena tidak memiliki perangkat PJJ. "Banyak anak yang tidak mengikutinya, mereka mengalami learning loss," kata Andreas. 

Persoalan anak putus sekolah di tingkat sekolah dasar di DKI Jakarta turut mendapat perhatian dari Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto. Susanto menyayangkan masih ada anak putus sekolah jenjang SD di ibu kota.

"Prinsipnya, tak boleh anak putus sekolah karena pendidikan merupakan hak dasar yang harus dipenuhi," kata Susanto kepada Alinea.id, Selasa (30/8).

Sementara terkait persoalan anak jalanan yang masih menjadi persoalan pelik di DKI Jakarta, Susanto mengaku KPAI sedang melakukan pemutakhiran data. 

Namun, ia menegaskan, negara harus memastikan semua anak memperoleh hak atas pendidikan minimal hingga 12 tahun. "Negara harus hadir jika anak putus sekolah karena kondisi orang tuanya yang tak mendukung," kata dia. 

Alinea.id sudah berupaya meminta tanggapan terkait tingginya angka putus sekolah di tingkat SD di ibu kota kepada Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Nahdiana. Namun, Nahdiana tidak merespons permintaan wawancara Alinea.id.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan