close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Sekretaris Jenderal Tim Pembela Ulama dan Aktivis Pitra Romadoni Nasution saat mengajukan uji materi terkait kasus First Travel ke Mahkamah Konstitusi, Senin (25/11). Alinea.id/Soraya Novika
icon caption
Sekretaris Jenderal Tim Pembela Ulama dan Aktivis Pitra Romadoni Nasution saat mengajukan uji materi terkait kasus First Travel ke Mahkamah Konstitusi, Senin (25/11). Alinea.id/Soraya Novika
Nasional
Senin, 25 November 2019 18:50

Kisruh perampasan aset First Travel bergulir ke MK

Gugatan diajukan terhadap pasal yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perampasan aset First Travel untuk negara.
swipe

Putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan perampasan aset First Travel untuk negara, berujung pada gugatan di Mahkamah Konstitusi. Gugatan dilayangkan terhadap pasal yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perampasan untuk negara.

Sekretaris Jenderal Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Pitra Romadoni Nasution mengatakan, pihaknya mengajukan permohonan judicial review atau uji materi terhadap Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP. 

"Kedua pasal itu perlu kita uji lagi, karena bertentangan dengan Undang-undang yang dalam hal ini adalah UUD 1945," ujar Pitra ditemui di Gedung MK, Jl Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (25/11).

Pasal 39 KUHP berbunyi sebagai berikut,

Ayat (1): Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

Ayat (2): Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

Ayat (3): Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Adapun Pasal 46 KUHAP berbunyi sebagai berikut,

Ayat (1): Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:

a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi.

b. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana.

c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.

Ayat (2): Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Pitra dan timnya meminta MK untuk menambahkan tiap ayat dalam Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP, dengan frasa yang menjamin pengembalian barang korban kejahatan seperti dalam kasus First Travel. 

Pada Pasal 39 ayat (1) KUHP, misalnya, diminta menjadi, 'Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas dan dikembalikan kepada korban.'

"Putusan inkonstitusional bersyarat terhadap Pasal 39 KUHP dan Pasal 46 KUHAP dapat mewujudkan kepastian hukum dan menimbulkan rasa keadilan, bagi pemohon serta para korban tindak pidana yang merasa dirugikan akibat asetnya dirampas dan tidak dikembalikan," katanya.

Pengajuan uji materi dilakukan Pitra bersama tiga orang rekannya, David M. Agung Aruan, Yudha Adhi Oetomo, dan Julianta Sembiring. Mereka bukan korban maupun kuasa hukum jemaah agen First Travel. Meski demikian, Pitra menyebut bahwa ia dan timnya memiliki kedudukan hukum untuk menguji konstitusionalitas kedua pasal tersebut. 

Selain itu, dia berlasan gugatan uji materi ini diajukan dengan mengacu pada pasal 28 H ayat (4) UUD 1945, yang menjamin bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun, termasuk oleh negara.

Pengajuan perlawanan hukum untuk perkara ini ke MK pun, dianggap Pitra sebagai langkah yang tepat.

"Kalau melakukan gugatan ke pengadilan negeri, saya rasa itu hal yang sia-sia saja, karena sudah ada putusan yang final dan berkekuatan hukum tetap. Solusi terakhir itu hanya melakukan upaya hukum JR ke MK, agar menciptakan suatu novum atau bukti baru, agar ditinjaunya putusan MA tersebut dalam peninjauan kembali," katanya.

Ia pun berharap, majelis hakim MK dapat mengabulkan gugatan tersebut. "Dengan demikian, jaksa dapat menggunakan hasil tuntutan ini untuk mengembalikan aset First Travel kepada korban," ucapnya.

Putusan kasasi Mahkamah Agung atas aset agen umrah bodong First Travel yang teregistrasi dalam putusan Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018, menguatkan putusan yang diterbitkan Pengadilan Negeri Depok. Dalam putusan tersebut, disebutkan barang-barang bukti hasil tindak pidana penipuan dan pencucian uang pemilik First Travel dirampas untuk negara. 

Dasar putusan tersebut adalah Pasal 39 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 46 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Atas putusan tersebut, aset dari sekitar 63 ribu jemaah yang belum berangkat umrah, berpotensi dilelang dan diserahkan pada negara.

img
Soraya Novika
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan