Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam satu tahun terakhir dinilai kehilangan arah dalam konteks kedaulatan dan kesejahteraan. Menteri Edhy Prabowo, tidak pernah terlihat berposisi dalam penyelesaian konflik nelayan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
"Ini sangat jauh dari mimpi kami bersama. Saya ingatkan. Bahwa KKP, artinya kelautan dulu yang seharusnya diurusin, baru ngomongin perikanan," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kiara, Susan Herawati, dalam diskusi virtual, Selasa (21/7).
Menurut Susan, hilangnya peran KKP dalam mendengar jeritan nelayan menjadi catatan merah. Era kepemimpinan Edhy, bukannya mengurus laut, tetapi fokus pada komoditi. Misalnya, lobster, ekspansi udang, hingga persoalan penggunaan cantrang.
Aturan ekspor benih lobster disebut paling kontroversi. Uniknya, digembar-gemborkan sebagai upaya kedaulatan nelayan dengan memainkan isu konflik ruang yang terjadi sebelum-sebelumnya. "Kami rasa, menteri Edhy Prabowo, tidak jujur melihat permasalahan lobster ini. Selalu permasalahkan yang didorong Indonesia masih kesulitan budidaya lobster," ucapnya.
Bahwa mandat KKP, berasal dari nelayan. Karena itu, dia mengingatkan, jumlah nelayan tradisional di Indonesia telah menurun drastis. Jika, beberapa tahun lalu masih bisa sedikit berbangga hati karena terdapat 2,7 nelayan tradisional di seluruh Indonesia, tetapi pada 2019 hanya tersisa 2,2 juta.
Artinya, penurunan nelayan tradisional ini cukup tinggi karena banyak konflik ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Mulai dari konflik terkait reklamasi, pertambangan, wilayah pariwisata, hingga perampasan ruang untuk perkebunan sawit. "Ini tidak direspon dengan baik oleh KKP," tutur Susan.