Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan, permasalahan harga dan pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada nelayan kecil, pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan sampai saat ini masih berlanjut. Salah satunya yaitu rendahnya angka realisasi pengelolaan BBM bersubsidi jenis BBM tertentu (JBT M Solar) untuk konsumen pengguna perikanan (nelayan) di 2021, yang hanya mencapai 9,63% dari kuota.
"Jadi JBT M Solar untuk konsumen pengguna perikanan (nelayan) di 2021 itu sebesar 2.300.000 kilo liter (KL), tapi realisasinya hingga Mei 2021 hanya mencapai 221.604,17 Kl atau 9,63% dari kuota," kata Trenggono dalam pemaparannya di acara Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kamis (2/2).
Trenggono mengungkapkan penyebab distribusi BBM bersubsidi tidak efektif antara lain, kebutuhan penambahan kuota di beberapa daerah atau lokasi di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN), masih berlangsungnya praktek penjualan BBM ilegal, ketergantungan nelayan dengan tengkulak atau ijon sehingga kebutuhan BBM hanya disediakan tengkulak dan harus diperoleh dengan mengutang atau membeli harga di atas harga subsidi.
"Nelayan juga butuh BBM bersubsidi selain selain solar (premium) dan minimnya kesadaran dalam melaporkan distribusi BBM bersubsidi," tutur Trenggono.
Untuk menyiasati permasalahan tersebut, KKP pun menggandeng BUMN untuk bersinergi melakukan pengembangan dan pengelolaan sumber daya kelautan serta penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP dengan PT Pertamina Patra Niaga tentang Dukungan Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi di Kampung Nelayan dan Pelabuhan Perikanan.
"Kerja sama ini untuk mensinergikan pelaksanaan program pemenuhan kebutuhan BBM yang efektif dan terjangkau di lokasi-lokasi yang dimaksud," ujarnya.
Pada proses distribusi, Trenggono mengungkapkan penyaluran BBM akan berdasarkan pada zonasi yang terbagi menjadi 6 zona di seluruh Indonesia, dan setiap zona memiliki klaster. Ada pun di setiap zona, maksimal akan ada lima pelabuhan.
"Nah ini nanti yang akan membuat lebih mudah bagi BUMN atau Pertamina yang kemudian bisa terkonsentrasi di spot-spot itu tadi. Kalau sekarang yang terjadi itu lintas, jadi dari sini menangkap di Aceh, dari Jakarta menangkap di Arafuru. Ini yang akhirnya kemudian pemborosan yang luar biasa, tapi dengan kluster tadi kita akan bisa kontrol bahwa di lokasi itu di 5 pendaratan itu ada bahan bakar atau tidak," tutur Trenggono menjelaskan.