Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengakui, menghapus kewajiban izin lingkungan dan analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai syarat mendirikan usaha pertambangan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Ketentuan tersebut kelak hanya diterapkan untuk aktivitas berisiko tinggi.
"Namanya sekarang perizinan berusaha. Amdal diberikan kepada (usaha) yang berisiko tinggi. Tidak perlu ada lagi izin lingkungan. Tapi, pada prinsip-prinsipnya (keselamatan lingkungan) itu dipedomani. Kalau soal teknis, nanti dilihat kriterianya di aturan turunannya," kata Sekretaris Jenderal KLHK, Bambang Hendroyono, di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (24/1).
Ketentuan mendirikan usaha pertambangan yang berlaku saat ini, diatur dalam berbagai regulasi. Seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Di dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut, ada beberapa dokumen yang mesti dimiliki pelaku usaha sebelum menjalankan aktivitas. Macam wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) serta izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan operasi produksi (IUP OP).
Ada beberapa syarat guna mendapatkan ketiga dokumen itu. Baik secara administratif, teknis, finansial, dan lingkungan.
Mengingat usaha pertambangan berkaitan dengan lingkungan, maka pendiriannya juga mesti memedomani UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan serta PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Dus, wajib mengantongi izin lingkungan, amdal, serta upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UPK-UPL).
Sementara, RUU Cilaka mencakup 11 klaster. Penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; serta kawasan ekonomi.
Bambang melanjutkan, nantinya usaha pertambangan berisiko menengah dan kecil hanya menggunakan standar yang bakal diterbitkan KLHK. Proses administrasinya sekadar mengisi formulir yang berisi kriteria tertentu.
"Cukup isi formulir aja yang kriteria sedang. Kan, nantinya ada scoring. Ada klasifikasi yang jelas. Sebenarnya di online single submission (OSS), juga sudah ada," ujarnya.
Berbeda dengan usaha pertambangan berisiko tinggi. Badan usaha kudu memiliki amdal. Mengingat aktivitasnya berdampak terhadap perubahan bentang alam, pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta menimbulkan kegaduhan publik.
Menurutnya, usaha berisiko tinggi umumnya terjadi pada sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Untuk kehutanan, dalam RUU Cilaka, kewajiban amdal hanya diperuntukkan bagi pengelolaan lahan di atas 5.000 hektare.
"Tiap sektor beda-beda. Yang kehutanan di atas 5.000 hektare wajib amdal. Tapi, kalau untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HBK), itu ada standarnya. Kamu boleh ambil HBK madu, standarnya ini. Jadi, isi formulir," tutur dia.
Dalam RUU Cilaka, klaimnya, penilaian terhadap izin berusaha berisiko tinggi tetap mempertahankan tahapan studi kelayakan. Sesuai ketentuan yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 dengan sedikit perubahan.
Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 yang kini berlaku disebutkan, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Tanpa mempertimbangkan besar-kecilnya risiko kerusakan.
"Begitu perizinan usahanya akan diberikan, susah mengakomodir studi kelayakan itu. Dulu mengajukan izin berusaha, baru amdal. Kan, menjadi lambat. Studi kelayakan menjadi poin penting. Jadi, UU-nya tidak dilanggar. Sama seperti amdal sekarang. Tidak ada perubahan," ucapnya.
Pun bagi aktivitas yang terbukti merusak lingkungan serta mengubah bentang alam dan lahan dari aktivitas usahanya, sesumbarnya, akan dikenai sanksi. Namun, mengedepankan hukuman administratif atau perdata.
"Kalau tidak hati-hati kerja dan merusak alam, kita kenakan sanksi administrasi terlebih dahulu. Kalau masih mengulangi dan terbukti karena niatan tertentu, baru dipidana atau dicabut izin usahanya," kata Bambang.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah, sebelumnya mengkritisi draf UU Cilaka. Pangkalnya, menghilangkan ketentuan izin lingkungan dan amdal dalam sektor pertambangan dan berpotensi merusak alam.
Dia berpendapat, kriteria anyar tentang persyaratan amdal hanya akal-akalan pemerintah. Untuk mempreteli regulasi. Lantaran tolok ukurnya takjelas. "Selama ini izin dulu keluar, baru beroperasi. Sekarang di balik. Biar investasi lancar," ujarnya.