Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan (KLHK) mengklaim, pihaknya bakal tetap mengawasi limbah batu bara, terutama fly ash dan bottom ash (FABA), sekalipun tak lagi masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan, pengelolaan limbah non-B3 tetap diwajibkan mengikuti standar analisis dampak lingkungan (amdal) meskipun tidak membutuhkan persetujuan teknis.
"Kalau sekarang (FABA) sudah menjadi limbah non-B3, memang yang kami tekankan perencanaan pengelolaannya. Masuk di mana? Masuk persetujuan lingkungan, yaitu di dalam amdalnya, jadi tools untuk melakukan pengawasan ada di situ," ucapnya dalam telekonferensi, Senin (15/3) malam.
KLHK, kata dia, akan mengatur pengelolaan limbah non-B3 melalui Peraturan Menteri (Permen) LHK, yang masih digodok hingga kini. Ruang lingkup pengaturannya mencakup pengurangan limbah non-B3 dapat dilakukan sebelum dan/atau setelah menjadi limbah dihasilkan dan penyimpanan limbah non-B3 disesuaikan dengan jumlah dan bentuk limbah serta tidak boleh melebihi kapasitas penyimpanan.
Kemudian pemanfaatan limbah B3 dapat sebagai substitusi bahan baku, sumber energi, hingga produk samping; penimbunan limbah non-B3 dapat dilakukan dengan tetap memenuhi standar lokasi, misalnya dengan melakukan modifikasi engineering; penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan fungsinya; dan pelaporan kegiatan pengelolaan limbah non-B3.
"Kami di pemerintah, di KLHK, di Kementerian ESDM, dan kementerian-kementerian lain, tidak akan 'lepas tangan'. Kalau memang ada terjadi pelanggaran, maka bisa dilakukan penegakan hukum. Masyarakat tetap bisa kemudian lakukan gugatan ganti karena itu dilindungi negara," ucapnya.
Pemerintah memutuskan mengeluarkan abu batu bara dari kategori limbah B3. Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, regulasi turunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Perlindungan warga dari limbah batu bara itu 'omong kosong', apalagi sekarang ketika limbah batu bara bukan lagi beracun dan berbahaya," kata Koordinator Jaringan Aktivis Tambang (JATAM), Merah Johansyah, dalam keterangan tertulis, Minggu (14/3).
Dalam laporan analisis timbulan dan kebijakan pengelolaan limbah B3 di Indonesia terbitan Bappenas, limbah batu bara hasil pembakaran termasuk dalam jenis limbah terbanyak pada 2019 dan masuk kategori bahaya tinggi. Ketika masih berstatus B3, sesuai hasil sejumlah studi, perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risiko limbah batu bara.