Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan telah menyegel 52 lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang rata-rata merupakan lahan konsensi milik perusahaan di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Direktur Jendera Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, mengatakan dari 52 lokasi itu pihaknya telah menetapkan 5 korporasi sebagai tersangka kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Samatera dan Kalimantan.
"Di antaranya adalah PT SKM di Kalimantan Barat, PT ABP di Kalimantan Barat, PT AER di Kalimantan Barat, PT KS di Kalimantan Tengah, PT IFP di Kalimantan Tengah dan jumlah ini akan bertambah," ujarnya di Jakarta, Sabtu(21/9).
Rasio mengatakan, 52 lokasi yang disegel memiliki luasan 9.000 hektare yang tersebar di beberapa wilayah yakni di Riau, Jambi, Sematera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
"Dan kami terus bekerja memastikan upaya penegakan hukum secara optimal agar menimbulkan efek jera pelaku pembakaran, kami koordinasi dengan Kepolisian," ujarnya.
Selain dengan Kepolisian, Rasio mengatakan, pihaknya juga terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat, untuk menjatuhi sanksi administratif terlebih dahulu terhadap koorporasi yang menjadi dalang Karhutla.
"Karena sanksi administratif merupakan salah satu langkah cepat. Bisa dilihat melalui pengawasan ketidakpatuhan perusahaan, sanksi administratif bisa berupa perintah perbaikan, pembekuan, maupun pencabutan izin perusahaan," ujarnya.
Tidak ada komitmen
Dalam kesempatan yang sama, Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi menilai peristiwa Karhutla memang merupakan kasus yang sulit diselesaikan. Sebab pemerintah memang tak punya komitmen kuat untuk mencari pangkal masalahnya, karena hanya selalu menggantungkan penyelesain dengan sanksi administratif terhadap korporasi yang nakal.
"Padahal hal itu jelas-jelas tak efektif, lantaran malah memberi ruang kepada pelaku kejahatan untuk mengulang kejahatannya,"katanya.
Zanzi melihat, pemerintah dan penegak hukum belum mampu membongkar dalang di balik Karhutla. Padahal jelas-jelas perkara ini telah terjadi berulang-ulang di tempat yang tak jauh berbeda. Dia mencontohkan, di Riau ada 11-16 perusahaan yang setiap tahun dari 2013 hingga 2016 terus melakukan pembakaran dengan pola berulang dan siklus tertentu.
"Berpindah apinya terus diikuti oleh penanaman kelapa sawit. Sebenarnya skenario atau modus operandi seperti ini belum terbongkar oleh penegak hukum baik KLHK maupun Kepolisian," ujarnya.
Ia berpandangan, andai saja skenario ini dibongkar oleh penegak hukum sampai ke otak perancangnya, kemungkinan perkara Karhutla tak akan terjadi berulang-ulang seperti saat ini terjadi.
Hal senada juga disampaikan Juru Kampanye Green Peace Arie Rompas, ia melihat pemeritah belum mampu sama sekali menyentuh pangkal masalah harhutla di Sumatera dan Kalimantan.
Padahal, kata dia, pemerintah punya kelengkapan untuk mendeteksi kasus karhutla. Pertama, pemerintah punya alat pendeteksi alat kebakaran itu.
"Pemerintah juga punya instrumen melihat seperti apa izin-izin perusahaan itu. Tak berhenti disitu punya intrumen penegak hukum admistrasi, perdata dan pidana," katanya.
Izin konsesi lahan
Di sisi lain, Zenzi Suhadi mengataka salah satu pangkal masalah dari karhutla di Sumatera dan Kalimantan juga ada di pemerintah. Sebab, pemerintah yang memberikan izin konsensi kepada koorporasi untuk membuka lahan gambut yang rentan kebakaran.
Dia melanjutkan, walaupun terjadi penurunan titik api dari tahun 2016 hingga 2018, namun risiko kebakaran ekosistem gambut di Indonesia justru meningkat. Ini disebabkan oleh kawasan-kawasan yang rentan kebakaran itu memang ada pembukaan lahan baru yang terjadi di ekosistem gambut baik itu di enam provinsi yang terus mengalami kebakaran maupun di provinsi lain.
Jika ini tak pernah disadari pemerintah, Zenzi menyebut, perkara Karhutla bakal tetap muncul kembali di tahun mendatang.
"Artinya sebenarnya risiko kebakaran akan terus meningkat setiap tahun dan kita akan terus dihantui situasi ini dan negara juga akan menanggung kerugian yang berlipat, baik itu perekonomian di tingkat masyarakat maupu beban biaya penanggulangan oleh pemerintah," ujarnya.