Klitih: Kasus berulang kejahatan jalanan remaja
Masih segar dalam ingatan Dani Greget Sumangghani peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya pada Oktober 2016. Saat itu, usianya masih 19 tahun dan duduk di bangku kelas XI SMK Muhammadiyah 3, Yogyakarta. Siang itu, sepulang sekolah mengendarai sepeda motor, Dani dibuntuti dua orang di bilangan Wirobrajan, Yogyakarta.
“Kebetulan saya enggak pakai jaket, jadi kelihatan seragam (sekolah). Dia (pelaku) dari selatan terus ke utara buntuti saya,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id di Godean, Sleman, Yogyakarta, Senin (3/1).
Dani melihat melalui kaca spion sepeda motornya. Dua orang yang membuntuti itu membawa pipa besi. Ia lalu memacu kencang sepeda motornya, diikuti dua orang penguntit yang juga ngebut.
“Di pertigaan Bantulan, dekat BRI Sidoarum, saya diserang,” ucapnya.
Dani terkena hantaman pipa besi lancip sebanyak dua kali di bahu dan tangannya. Mereka lantas kabur setelah Dani tersungkur bersimbah darah. Beruntung, nyawanya tak melayang.
Karena terlihat memakai seragam sekolah SMK Muhammadiyah 3, si penyerang sempat menuduh Dani sebagai anggota geng Morenza—nama kelompok remaja di sekolahnya.
Padahal, ia tak pernah ikut-ikutan bergabung ke geng itu. Menurut Dani, SMK Muhammadiyah 3 memang sering tawuran dengan SMA Muhammadiyah 3. Di SMA Muhammadiyah 3 ada geng pula bernama Grixer.
“Gelagat klitih kelihatan, dari buntutin saya 20 kilometer, dia pakai seragam. Dia sebut nama geng sekolah saya,” tuturnya.
Menurutnya, di lokasi kejadian ada saksi mata. Namun, mereka tak mau ikut campur, sehingga memilih diam.
Klitih buat resah
Lima tahun lalu, Sirojul juga mengaku pernah menjadi sasaran klitih. Ketika itu, sewaktu masih kuliah dan hendak pulang, ia diikuti orang. Tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba orang itu marah-marah dan menendang sepeda motornya.
“Untungnya meleset. Aku luka sedikit,” katanya, Selasa (4/1).
Belakangan, ia kembali didera khawatir karena kerap pulang malam dari kantor, menongkrong, atau olahraga. Ia menyebut beberapa ruas jalan yang rawan klitih.
"Seperti di Umbulharjo, UIN (Sunan Kalijaga), ring road, dan sebagainya,” katanya. “Malam memang perlu lebih hati-hati, kalau melihat gerombolan akan lebih hati-hati.”
Warga Yogyakarta lainnya, Affi Arizka, kini takut berada di jalanan malam-malam usai berita klitih ramai lagi. Perempuan berusia 27 tahun itu mengatakan, setiap melewati jalan yang sepi di malam hari, ia memilih menepi terlebih dahulu di warung yang masih buka atau mempercepat laju sepeda motornya.
“Setiap ada berita klitih, aku enggak lewat ring road jam 9 malam. Ini beritanya kan timbul tenggelam ya,” ujarnya, Selasa (4/1).
Akhir Desember 2021, isu klitih kembali mengemuka. Di jagat Twitter muncul tagar #YogyaTidakAman dan #SriSultanYogyaDaruratKlithih.
Laporan yang masuk ke Polda DI Yogyakarta mencatat, selama 2021 ada 58 kasus dengan jumlah pelaku 102 orang. Sebanyak 80 pelaku masih berstatus pelajar. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2020, yang sebanyak 52 kasus dan 91 pelaku.
Fenomena klitih seperti terus berulang. Terakhir dua pemuda bernama Dhemas Hernando Purnomo dan Faisal Dwi Saputra menjadi korbannya. Pada Senin (27/12) dini hari di Jalan Kaliurang, Sleman, mereka dikeroyok sekelompok orang dan mengalami luka bacok. Beruntung mereka selamat dari maut.
Pada Sabtu (31/7) dini hari, Aldiano Ahmad Jaelany bahkan harus meninggal usai diserang sekelompok pemuda tak dikenal di daerah Sleman. Aldiano dan seorang temannya menabrak pohon usai sepeda motornya dipepet para pelaku, lalu mereka dipukuli.
Menurut Kapolsek Danurejan, Yogyakarta, Wiwik Hari Tulasmi, istilah klitih tidak ada dalam kamus kepolisian. “Adanya kejahatan jalanan,” ujar dia di Polsek Danurejan, Yogyakarta, Senin (4/1).
Ia mengatakan, kepolisian terus berupaya mencegah aksi kejahatan jalanan dengan melakukan patroli setiap malam.
Dihubungi terpisah, Kabid Humas Polda DI Yogyakarta Kombes Yuliyanto mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan semua satuan kepolisian di wilayah Yogyakarta untuk menjamin keamanan warga.
"Kami masih (melakukan) video confrence,"ujar Yuliyanto saat dihubungi, Senin (3/1).
Perilaku negatif remaja
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menjelaskan, fenomena klitih bisa dilihat dari dua sisi, yakni kenakalan remaja dan tindakan kriminal. Dari sisi kenakalan remaja, Wahyu melihat, klitih tak bisa dilepaskan dari akar historis tawuran geng pelajar yang sempat meresahkan warga Yogyakarta pada dekade 1990-an.
“Kasus klitih yang merebak di Yogyakarta belakangan ini merupakan pola berulang dari bentuk kenakalan remaja di masa lalu,” ujarnya, Senin (3/1).
"Kenalan remaja juga beririsan dengan ideologi. Misalnya ormas dibubarkan, itu kan belum tentu orang-orangnya bubar.”
Wahyu menduga, kejahatan jalanan ini tak pernah benar-benar sirna dari Yogyakarta lantaran penanganan yang dilakukan tak menyentuh akar masalah.
Sedangkan dari sisi kriminal, Wahyu memandang, hal itu disebabkan adanya kesempatan untuk merampas barang warga, menggunakan modus klitih.
"Dalam kejahatan ini juga ada regenerasi,” kata Wahyu. “Semakin ditangkap orangnya ya berarti eksistensi dia diakuin.”
Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Josias Simon menilai, fenomena klitih merupakan kultur yang bermula dari kebiasaan menongkrong remaja. Ia mengatakan, awalnya klitih hanya sebuah kumpulan geng remaja yang ingin mendapat perhatian. Namun, berubah menjadi perilaku negatif.
“Seiring dengan adanya kekerasan yang berkelindan di situ," ucap Josias, Kamis (6/1).
Geng remaja di Yogyakarta ini, sebut Josias, melakukan kekerasan didorong rasa ingin mengaktualisasi diri. "Jadi ada proses rekrutmen geng. Caranya, dengan membuat keramaian, mulai dari sekadar iseng sampai akhirnya pakai kekerasan,” ucapnya.
“Itu salah satu cara supaya bisa diterima oleh geng atau kelompoknya."
Selanjutnya, Josias menerangkan, perilaku kekerasan juga dilakukan untuk unjuk gigi terhadap kelompok lain. “Jadi ada persoalan eksistensi dan reputasi dalam kejahatan jalanan ini,” ucap dia.
Motif hanya ingin disegani ini tak berlanjut pada perampasan barang korban. “Hanya melukai,” ujarnya.
Dalam sisi kriminalitas, menurut Wahyu, sesungguhnya klitih bisa dicegah dengan pengawasan. Misalnya memasang CCTV di daerah rawan dan memaksimalkan penerangan jalan.
“Saya yakin polisi punya data, di lokasi mana saja (yang rawan),” ujar dia. “Yang penting juga, peran warga, seperti (menghidupkan) siskamling keliling.”
Dari sisi kenakalan remaja, Wahyu menyarankan Pemprov DI Yogyakarta merancang sistem pembinaan, yang bisa bekerja sama dengan tokoh masyarakat dan orang tua.
“Sebab, bisa jadi dia (remaja) menjadi klitih itu karena tidak nyaman di rumah,” tuturnya.
Pola asuh yang buruk, menurut Wahyu, sangat rentan membuat remaja terjerumus dalam tindak kriminal. Pemprov DI Yogyakarta, kata Wahyu, perlu merancang pula strategi pola asuh remaja, sesuai dengan kondisi kekinian.
“Misalnya di Jakarta banyak fasilitas publik untuk anak muda,” kata dia. “Jadi, anak muda nyaman, tidak bergeser melakukan tindakan negatif.”
Sedangkan menurut Josias, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk mencegah klitih, yakni pendekatan hukum dan kultural. Ia menyebut, bila klitih sudah menjurus pada masalah kriminal, seperti penganiayaan dan perampasan barang, harus diselesaikan secara hukum.
Meski begitu, kata Josias, pendekatan hukum harus pula disertai pendekatan kultural, seperti pembinaan remaja yang ditekankan pada kedamaian lingkungan di Yogyakarta.
“Pendekatan kultural bisa kerja sama dengan sekolah. Memberikan nilai-nilai yang baik,” tuturnya.
Lebih lanjut, klitih yang marak belakangan, ujar Wahyu, merupakan alarm bagi Pemprov DI Yogyakarta untuk segera merancang upaya komprehensif memberantas kejahatan jalanan itu. Sebab, kejahatan semacam ini sudah membuat warga saling curiga dan berujung aksi main hakim sendiri.
“Masyarakat harus diimbau untuk cek dan ricek,” ucapnya.