Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) meyakini korupsi megaproyek pengadaan BTS 4G dan paket pendukung 1-5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) 2020-2025 dilakukan secara terencana, sistematis, dan terstruktur sejak perencanaan dan penyusunan anggaran. Bahkan, saat pembahasan di DPR hingga tender.
Ketua Umum KNPI, Haris Pertama, berkeyakinan demikian, lantaran konsorsium penggarap megaproyek BTS 4G sudah disiapkan sebelum pekerjaan dijalankan. Anggarannya pun sudah cair 100% tanpa melihat keluaran (output) proyek sebelumnya.
“Penunjukan melalui tender terhadap konsorsium pilihan yang mungkin juga sudah disiapkan agar bisa melancarkan pola markup (penggelembungan) maupun manipulasi terhadap kajian maupun harga,” katanya dalam keterangannya, Jumat (19/5).
Pola-pola tersebut, sambung Haris, seperti kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet Hambalang dan pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Negara ditaksir merugi Rp706 miliar dari total nilai proyek Hambalang Rp1,2 triliun dan Rp2,3 triliun dari total nilai anggaran KTP-el Rp5,9 triliun.
“Dalam hal ini, DPR juga punya andil dalam hal pembahasan dan pengawasan. DPR adalah sebagai pembahas dan penyetuju usulan dari Kominfo. Artinya, tidak serta-merta melakukan pembahasan tanpa kajian atau melakukan evaluasi implementasi tanpa dasar,” ucapnya.
Karenanya, KNPI mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut tuntas kasus korupsi megaproyek BTS 4G dengan melakukan pengusutan mendalam kepada semua pihak yang terlibat. “Terutama semua penanggung jawab perusahaan yang terlibat dalam konsorsium secara transparan,” ujarnya.
Kemudian, mendesak DPR agar memaksimalkan kinerjanya. “Khususnya mengevaluasi semua proyek multiyear (tahun jamak) di Kominfo. Kalau diperlukan, setop sementara pelaksana pembangunan BTS,” sambung Haris.
KNPI juga meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penjelasan tentang persetujuan pencairan anggaran 100% yang diusulkan. “Sebab, pelaksanaan proyek ini di lapangan terbengkalai,” tegasnya.
Sebagai informasi, pengadaan BTS 4G melalui pendirian 7.904 menara (tower) senilai Rp28,3 triliun rencananya dipusatkan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) selama 2021-2022. Pada tahap pertama (2021), ada 4.200 titik dikerjakan, sedangkan tahun berikutnya sebanyak 3.704 menara.
Sumber anggaran program berasal dari universal service obligation (USO), pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Kominfo, dan penerimaan pemerintah (rupiah murni). Proyek terdiri dari 5 paket kontrak payung terdiri dari 3 konsorsium besar.
Paket 1 dan 2 senilai Rp9,5 triliun dikerjakan PT FiberHome Technologies Indonesia, PT Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia (Telkominfra), dan PT Multi Trans Data. Lalu, paket 3, 4, dan 5 senilai Rp18,8 triliun digarap konsorsium PT Aplikasinusa Lintasarta, Huawei Tech Invesment, dan PT SEI serta IBS dan ZTE.
Nahasnya, pelaksanaan proyek jauh panggang dari api. Hanya terlaksana 320 dari target pembangunan 4.200 BTS pada 2021. Per September 2022, yang beroperasi pun hanya 2.406 tower atau 57% dari perencanaan tahap pertama. Sebagian pemancar yang beroperasi juga tak berfungsi baik.
Sementara itu, berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan (BPKP), kerugian negara sebesar Rp8,32 triliun. Penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan dengan berbagai pendekatan, yakni audit, verifikasi pihak terkait, dan observasi fisik ke beberapa lokasi proyek bersama tim ahli.
Adapun Kejagung telah menetapkan 6 tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Menkominfo nonaktif, Johnny G. Plate; Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Keuangan PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali; Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latief; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak S.; dan Tenaga Ahli Human Development (HuDev) UI 2020, Yohan Suryanto.