Kolaborasi Unit PPA Polri: Penanganan penting perkara perempuan dan anak
Dalam melaksanakan tugasnya, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri kerap menggandeng lembaga lain, seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Sosial (Kemensos), dan psikolog. Keterlibatan lembaga lain sangat memengaruhi kesuksesan pengungkapan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Butuh penanganan khusus
Kepala Unit PPA Polda Metro Jaya AKP Endang Sri Lestari mengatakan, keterlibatan beberapa lembaga terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak diperlukan untuk melengkapi berita acara pemeriksaan (BAP). Menurut Endang, penyelesaian kasus ini berbeda dengan perkara lainnya.
“Penanganan kasus terhadap perempuan dan anak ini kan tidak hanya menangkap pelakunya, tetapi juga pemenuhan haknya, seperti dampaknya, traumanya, sosialnya,” kata Endang saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (10/9).
“Memenuhi kebutuhan kesehatan fisik dan psikis itu kami tidak bisa sendiri, tetapi membutuhkan kerja sama instansi lain.”
Ia melanjutkan, secara teknis, proses pemeriksaan terhadap korban perempuan dan anak tidak mudah. Beberapa kasus yang pernah terjadi, sebut Endang, korban anak memerlukan bantuan berupa mainan atau suasana yang tenang untuk bisa menceritakan kronologi peristiwa kekerasan yang menimpanya.
“Dalam contoh kasus tertentu, seorang anak yang memiliki keterbatasan karena merupakan anak berkebutuhan khusus, harus dimintai keterangan dengan bantuan psikolog untuk memahaminya,” ujar Endang.
Korban perempuan yang punya trauma atas perlakuan pelaku, kata dia, juga membutuhkan bantuan psikolog karena ketakutan berlebih dan sulit mengutarakan keterangan dalam proses pemeriksaan.
Kerja sama yang tak kalah penting terkait dengan bantuan penempatan anak berhadapan dengan hukum dan korban anak dengan kendala sosial. Bagi korban anak yang punya kendala sosial, semisal lingkungan sekitar memojokan, kata Endang, Unit PPA akan berkoordinasi dengan Dinas Sosial DKI Jakarta.
“Korban akan ditempatkan di rumah aman,” tuturnya.
Namun, Endang mengakui sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas di rumah aman yang disediakan Dinas Sosial DKI Jakarta kurang baik.
“SDM-nya itu kami terkendala karena pekerja sosialnya yang kurang terlatih. Beberapa kali kami akhirnya harus melimpahkan ke pusat,” ucapnya.
Kendala koordinasi juga dialami dengan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), dalam hal fasilitas penempatan anak berhadapan dengan hukum. Menurutnya, penempatan anak berhadapan dengan hukum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sudah disebutkan ditempatkan berbeda dengan pelaku dewasa.
Sementara Kepala Unit PPA Polres Jakarta Selatan AKP Nunuk Suparmi mengatakan, kendala dalam penempatan anak berhadapan dengan hukum terjadi saat situasi pandemi Covid-19. Ia menjelaskan, LPKA Kemenkumham menghentikan sementara penitipan anak berhadapan dengan hukum untuk mencegah penularan virus.
Akhirnya, kata Nunuk, anak berhadapan dengan hukum harus ditempatkan di sel dengan fasilitas layaknya pelaku dewasa. Penempatan anak berhadapan dengan hukum bahkan harus dilakukan hingga tingkat polsek, mengingat keterbatasan kapasitas yang dimiliki Polri.
“Sampai saat ini ada belasan ABH (anak berhadapan dengan hukum) yang juga ditempatkan di polsek. Padahal harusnya tidak boleh seperti itu,” tutur Nunuk saat dihubungi, Jumat (11/9).
Nunuk menerangkan, penanganan kasus di Polres Jakarta Selatan sendiri sudah semakin meningkat saat pandemi. Ia menyebut, kasus paling banyak adalah kekerasan terhadap anak.
Berdasarkan data Unit PPA Polda Metro Jaya, sejak Januari hingga Juni 2020 terdapat 658 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Jenis tindak pidana paling banyak ditangani berupa pencabulan, yakni 155 kasus. Polres Jakarta Selatan sendiri menangani 53 kasus, dengan kasus terbanyak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mencapai 15 kasus.
Dengan SDM hanya 10 penyidik polisi wanita (polwan), Unit PPA Polres Jakarta Selatan harus mengurus anak berhadapan dengan hukum di dalam sel, yang seharusnya menjadi tanggung jawab instansi terkait sebagai bentuk kerja sama.
“Kami juga masih mengurus mereka sampai sudah P21 (pelimpahan tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan), saat persidangan, dan ada juga yang sudah putusan masih ada di sel kami,” ucapnya.
“Di sisi lain, kami juga tetap harus melakukan pemeriksaan saksi dan tersangka kasus lainnya yang tetap dilakukan secara tatap muka.”
Dukungan lembaga terkait
Salah satu lembaga yang bekerja sama dengan Unit PPA Polri adalah Kementerian PPPA. Kolaborasi ini diatur dalam Pasal 94 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Pasal 73A UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA, Nahar, peran yang dijalankan pihaknya adalah merumuskan regulasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan anak, termasuk kasus hukumnya.
Kerja sama dengan Unit PPA Polri dilakukan di bawah kendali Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di setiap daerah.
“Perwujudan praktis kerja samanya, dengan Unit PPA Polri yang berjumlah sekitar 500-an unit yang ada di polres-polres di daerah,” tutur Nahar saat dihubungi, Rabu (10/9).
Nahar mengatakan, salah satu kasus yang pernah ditangani lewat kerja sama ini adalah pencabulan anak yang dilakukan seorang aktivis anak dan lingkungan di Balikpapan, Kalimantan Timur pada 2018. Kasus lainnya, pembunuhan anak yang dilakukan NF, remaja 15 tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat pada 2019.
Aspek perlindungan terhadap anak, ungkap Nahar, selalu menjadi pedoman dan dasar gerakan dalam mendukung penyelesaian kasus hukum. Hal itu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak.
“Ada beberapa hal yang perlu didiskusikan dalam koordinasi itu, termasuk relevan tidaknya mempertimbangkan aspek perlindungan anak per kasusnya,” katanya.
Pokok masalah anak yang membutuhkan perlindungan khusus, kata dia, mengacu pula pada Pasal 59 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2014. Di dalam pasal tersebut tercantum 15 persoalan yang memerlukan keterlibatan Kementerian PPPA, di antaranya anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak korban penculikan atau perdagangan manusia, dan anak korban kekerasan fisik atau psikis.
Di samping itu, Kementerian PPPA juga menerapkan fungsi tambahan sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Nahar mengatakan, fungsi ini berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2020 tentang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
“Masih dipersiapkan struktur dan grand design-nya. Pelaksanaannya baru dimulai tahun depan,” katanya.
Sementara itu, dalam penanganan kasus anak, Kemensos mendasarkan perannya mengacu surat keputusan bersama antara lima kementerian/lembaga dan Kapolri pada 22 Desember 2009. Kesepakatan itu berkaitan dengan upaya perlindungan dan rehabilitasi sosial anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Kemensos punya unit pelaksana teknis di bawah Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial untuk menjalankan fungsi ini. Salah satunya Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (BRSAMPK) Handayani di Cipayung, Jakarta Timur.
Kepala BRSAMPK Handayani, Neneng Heryani mengatakan, kolaborasi dengan Unit PPA Polri dijalankan sejak berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurutnya, BRSAMPK Handayani sudah banyak menangani rehabilitasi anak, dari kasus ringan hingga berat.
“Kami menyediakan fasilitas perlindungan rumah aman dan penanganan khusus bagi anak yang menjadi korban,” kata Neneng saat dihubungi, Kamis (10/9).
Saat ini, ujar Neneng, pihaknya tengah bekerja sama menangani korban kasus pencabulan anak di panti asuhan di Depok, yang pelakukan mengaku biarawan Katolik berstatus bruder. Bersama Polres Depok dan pihak lain yang terkait, BRSAMPK Handayani mengerahkan upaya perlindungan untuk menjamin hak tumbuh kembang anak, dalam proses rehabilitasi sosial dan ketika menjalani proses hukum.
BRSAMPK Handayani memanfaatkan fasilitas sejumlah gedung, seperti rumah aman; shelter; rumah antara; asrama; gedung minat, bakat, dan terapi psikososial; gedung sekolah; dan gedung keterampilan.
“BRSAMPK Handayani memiliki 80 pegawai, meliputi petugas berstatus aparatur sipil negara maupun PPNPN (pegawai pemerintah nonpegawai negeri),” ujarnya.
Pegawai itu terbagi menjadi tenaga administrasi dan pelaksana teknis yang berhubungan langsung dengan pelayanan, seperti psikolog, tenaga medis, dan pendamping anak.
Menurut Neneng, selama ini jangka waktu penitipan anak di BRSAMPK Handayani tak pasti. Hal itu kerap berdampak pada kondisi psikologis anak dalam proses rehabilitasi. Selain itu, pengawasan dan bantuan keamanan bagi anak yang dititipkan masih kurang.
Oleh karena itu, ia berharap ada bantuan dari lembaga lain untuk penanganan rehabilitasi, terutama koordinasi proses penitipan atau rujukan bagi anak.
“Dengan begitu, kepastian waktu penitipan bagi anak bisa lebih ditentukan,” katanya.
Di sisi lain, dalam mengawal perkara yang melibatkan anak, Nahar mengatakan, pihaknya selalu mendorong penambahan Unit PPA di kantor-kantor kepolisian. Upaya itu diharapkan bisa bersinergi dengan fungsi rumah perlindungan khusus dalam kasus anak berhadapan dengan hukum. Rumah perlindungan khusus ini, kata dia, tak hanya melindungi anak berstatus korban, tetapi juga pelaku yang masih berusia di bawah 18 tahun.
Nahar mengungkapkan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas pada Januari 2020, Kementerian PPPA tengah menyusun pengembangan fungsi penyediaan layanan bagi publik, terutama menyangkut kasus yang melibatkan perempuan dan anak. Layanan itu direncanakan mencakup pelayanan terpadu satu pintu, manajemen kasus yang lebih baik, dan reformasi birokrasi.
Dihubungi terpisah, Kepala Unit PPA Bareskrim Polri Kompol Ema Rahmawati mengakui, berbagai kerja sama yang dijalin masih sangat terbatas kepada pencegahan. Di Polri sendiri, ungkap Ema, pencegahan melalui sosialisasi dilakukan lewat kerja pembinaan masyarakat (binmas).
Namun, ia mengatakan, sosialisasi yang dilakukan binmas kurang efektif karena tugasnya tak hanya fokus pada pencegahan perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi pencegahan terhadap tindak pidana lainnya.
“Sebetulnya untuk pencegahan ini perlu dari tingkat pusat maupun pemerintah daerah harus terjun semua,” kata Ema saat dihubungi, Kamis (3/9).
“Termasuk kementerian-kementerian pusat.”