Komcad dan tren wajib militer era kiwari
Didampingi Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, Presiden Joko Widodo (Jokowi) hadir di Pusdiklat Kopassus, Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/10). Bersama eks rivalnya di Pilpres 2019 itu, Jokowi meresmikan pasukan komponen cadangan (komcad) Indonesia gelombang pertama.
Setidaknya ada sekitar 3.000 prajurit komcad yang telah menanti kedatangan Jokwi di Pusdiklat Kopassus. Sejak Juni, mereka dilatih selama tiga bulan di instalasi-instalasi militer milik TNI di berbagai daerah. Selain disiplin militer, para prajurit komcad juga diajarkan memegang senjata, teknik, dan taktik militer.
"Tidak ada anggota komponen cadangan yang melakukan kegiatan mandiri. Perlu saya tegaskan, komponen cadangan tidak boleh digunakan untuk lain, kecuali kepentingan pertahanan. Anggota komponen cadangan harus selalu siaga jika dipanggil negara," kata Jokowi.
Komcad merupakan mandat dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN). Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa komcad dibentuk untuk mendukung dan memperkuat komponen utama dalam pertahanan negara, yakni TNI.
Direkrut dari warga sipil, anggota komcad memiliki sejumlah hak yang melekat pada dirinya, semisal uang saku selama menjalani pelatihan, tunjangan operasi pada saat mobilisasi, perawatan kesehatan, pelindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian, serta penghargaan atas jasa-jasanya.
Pengabdian anggota komcad akan berakhir jika dia telah berusia 48 tahun, sakit yang menyebabkan tidak dapat melanjutkan tugas, meninggal dunia, dan tidak ada kepastian atas dirinya setelah 6 bulan sejak dinyatakan hilang dalam tugas sebagai komcad.
Dalam berbagai kesempatan, Kemenhan membantah komcad adalah wajib militer (wamil). Pasalnya, para peserta yang mendaftar bukan dipanggil negara. Namun, mereka mendaftar sendiri secara sukarela untuk bergabung menjadi anggota komcad.
Model seleksi seperti itu sebenarnya bukan hal yang baru. Sejak beberapa tahun lalu, model wamil selektif seperti yang diberlakukan di Indonesia dijalankan di beberapa negara, semisal di Swedia, Lithuania, Norwegia, Denmark, dan Jerman.
Di Swedia, model wamil selektif diberlakukan sejak 2017 atau hanya beberapa tahun setelah Russia menginvasi dan menganeksasi Crimea. Dari 90 ribu pendaftar, militer Swedia hanya meloloskan 5.000 remaja berusia minimal 19 tahun sebagai peserta pelatihan.
Di Jerman, model wamil selektif Heimatschutz diperkenalkan oleh Menteri Pertahanan Jerman Annegret Kramp-Karrenbauer pada Juli 2020. Bermoto "Your Years for Germany", program itu resmi diluncurkan pada April 2021. Hanya ada 1.000 peserta yang diterima setiap tahunnya, sebanyak 20% di antaranya kaum perempuan.
"Kami membuat program ini setelah melihat banyak orang muda yang ternyata tertarik bergabung dengan Bundeswehr tapi tidak ingin terikat di dalam militer selamanya," kata Kramp-Karrenbauer seperti dikutip dari Deutsche Welle.
Prajurit Heimatschutz didesain menjadi pelengkap militer Jerman (Bundeswehr). Masa bakti mereka selama setahun. Setelah dilatih selama tujuh bulan, mereka bakal ditugasi untuk menjaga keamanan di dalam negeri. Mereka juga bisa diterjunkan untuk membantu ketika ada bencana alam atau selama pandemi.
Kolumnis Foreign Policy, Elisabeth Braw menilai kemunculan wamil gaya baru di Jerman itu mengindikasikan kembalinya konsep "setahun mengabdi bagi negara". Konsep wamil itu, kata dia, bisa menjembatani kebutuhan negara akan pasukan profesional temporer.
"Jerman mengikuti jejak Swedia, Norwegia, dan Denmark yang membuat bekerja di militer menjadi tawaran yang menarik. Para remaja yang terpilih mendapatkan pengalaman yang bisa dicatat di resume mereka, pemerintah lantas mendapat peserta yang terbaik dan terpintar," kata Braw.
Riwayat dan tren wamil
Pada mulanya, wamil memang tak bersifat sukarela. Menurut catatan sejarah, wamil sudah dipraktikkan di kerajaan Babilonia saat berada di bawah kuasa raja Hammurabi (1791–1750 SM). Dinamai Ilkum, sistem wamil di Babilonia hanya boleh diikuti oleh para pria yang memenuhi syarat tertentu.
Dalam sistem ini, warga Babilonia wajib bergabung dengan pasukan kerajaan pada saat perang. Dalam keadaan damai, kewajiban wamil bagi kerajaan diganti dengan kerja-kerja fisik. Sebagai imbalan untuk jasa itu, warga yang terlibat wamil berhak mendapatkan lahan dari kerajaan.
Pada abad pertengahan, sistem wamil serupa juga populer dipraktikkan negara-negara Eropa. Baik dalam keadaan perang dan damai, para petani pemilik lahan biasanya diwajibkan untuk mengirimkan salah satu putra mereka untuk menjalani wamil.
Di era modern, wamil universal kali pertama diberlakukan Prancis pada 1793 atau empat tahun setelah kudeta terhadap kekuasaan monarki di negeri tersebut. Ketika itu, pemerintah Prancis di bawah Napoleon Bonaparte memberlakukan wamil karena kekurangan prajurit untuk perang.
Tanpa mempedulikan kelas, agama, dan keturunan, Napoleon merekrut semua pemuda berusia di kisaran 18-25 tahun yang belum menikah ke dalam pasukannya. Sebelumnya, wamil kerap hanya berlaku untuk rakyat jelata saja.
Di Amerika Serikat (AS), wamil mulai diberlakukan secara luas pada era perang sipil (1861-1865). Pada 1917, wamil diformalisasi dalam Selective Services Act yang diteken Presiden Woodrow Wilson. Beleid itu jadi basis hukum merekrut pasukan sipil pada era Perang Dunia II, Perang Korea, dan Perang Vietnam.
Pada 1973, rekrutmen via wamil disetop di AS. Presiden AS kala itu, Richard Nixon, memutuskan merekrut semua prajurit profesional dari relawan sebagai upaya meredam gelombang aksi protes terhadap Perang Vietnam. Meski begitu, wamil bisa diberlakukan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat.
Di Benua Eropa, wamil juga mulai ditinggalkan. Inggris jadi negara yang pertama menghapuskan kewajiban itu pada 1960. Usai Perang Dingin berakhir, langkah menghapuskan wamil mulai dilakukan negara-negara pecahan Uni Soviet.
Dalam "Ending Military Conscription" (2011), Panu Poutvaara dan Andreas Wagener menjelaskan penghapusan wamil "ngetren" di Benua Biru lantaran pemerintah di negara-negara Eropa merasa tak lagi memerlukan pasukan militer dalam jumlah besar pasca-Perang Dingin.
"Negara-negara Eropa tak lagi memandang perlu menyiapkan diri untuk menghadapi perang besar. Pada saat yang sama, militer cenderung lebih dibutuhkan untuk misi-misi internasional menjaga kedamaian yang tidak cocok untuk pasukan sipil," tulis Poutvaara dan Wagener.
Di Amerika Latin, tren menghapus wamil lahir seiring munculnya gelombang demokratisasi yang melanda negara-negara yang dikuasai junta militer pada dekade 1980-an. Uruguay menghapus wamil pada 1989, diikuti Nikaragua (1990), Honduras (1994), Argentina (1995), Peru (1999), Cile (2005), dan Ekuador (2008).
"Saat diperintah junta, pasukan bersenjata menumpuk catatan-catatan buruk terkait militarisme, pelanggaran hak asasi manusia, mismanajemen ekonomi dan korupsi. Dengan munculnya demokratisasi, pasukan bersenjata kehilangan martabatnya," jelas Poutvaara dan Wagener.
Dari kajian terhadap 190 negara pada 2019, Pew Research Centre memperkirakan hanya kurang dari 30% negara yang masih mempertahankan tradisi wamil. Kebanyakan negara tersebut berasal dari Benua Afrika dan Asia, semisal Singapura, Thailand, Korea Selatan, Korea Utara, Niger dan Senegal.
"Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara menghapus wamil, termasuk di antaranya Albania, Ekuador, dan Polandia. Taiwan menyetop rekrutmen via wamil pada 2018 meskipun kebijakan itu tidak serta-merta dihapus," jelas peneliti Pew Research Centre, Drew Desilver.
Ada juga negara yang melawan arus. Di Eropa, misalnya, Swedia kembali memberlakukan wamil setelah sempat menghapus kebijakan itu pada 2006. Serupa, Maroko kembali memberlakukan wamil pada 2018, dua belas tahun setelah kebijakan tersebut dihapus. "Di kedua negara itu, perempuan dan laki-laki kini jadi target wamil," jelas Desilver.
Berdampak negatif
Sejak dulu, wamil kerap digembar-gemborkan sebagai salah satu cara untuk membangun warga sipil yang ideal: bugar secara jasmani dan berkembang secara intelektual. Dengan mengikuti wamil dan menjalani keseharian ala militer, para pemuda bandel bisa "diperbaiki".
Namun, sejumlah studi menunjukkan beragam dampak negatif wamil. Dalam riset "The Long Term Effect of Military Conscription on Personality and Beliefs" yang dirilis pada 2019, Gabriela Ertola Navajas, Paula A. Lopez Villalba, Martin A. Rossi, dan Antonia Vazquez meneliti dampak wamil terhadap karakter warga Argentina.
"Kami menemukan bahwa para pria yang ikut wamil cenderung menjustifikasi kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, percaya bahwa wamil harus wajib, mendukung kudeta terhadap pemerintahan sipil, setuju intervensi militer di negara asing, dan mendukung hak sipil untuk memegang senjata," jelas Navajas cs.
Dalam risetnya, para akademikus dari Universidad de San Andres itu menyurvei 1.133 pria Argentina yang lahir antara 1958 dan 1976. Kelompok responden tersebut diperkirakan ikut wamil pada periode 1976 hingga 1994. Pada 1995, wamil dihapus di Argentina.
"Sebagai tambahan, para pria yang pernah ikut wamil cenderung kurang toleran, lebih disiplin, lebih konservatif, otoriter, dan suka berkonflik. Mereka lebih cenderung mengadopsi pola pikir militer dan efek ini bisa bertahan lama," ungkap Navajas cs.
Dampak negatif lainnya ialah terhadap penghasilan. Dalam riset bertajuk "Long Term Economic Consequences of Vietnam-Era Conscription: Schooling, Experience, and Earning," Joshua D. Angrist dan Stacey H. Chen menemukan bahwa keikutsertaan dalam wamil era Perang Vietnam membuat para pria AS lebih miskin semasa hidup ketimbang mereka yang tidak ikut wamil.
Dalam risetnya, Angrist dan Chen menggunakan data dari sensus pada 2000. Mereka menemukan warga AS berkulit putih yang ikut wamil era Perang Vietnam cenderung kehilangan penghasilan di atas 15% pada 1970-an dan 1980-an.
"Bahkan setelah mempertimbangkan faktor GI Bill, wamil tetap mengurangi penghasilan para veteran semasa hidup. Meski begitu, GI Bill mereduksi kehilangan penghasilan hingga sekitar 15% dari yang seharusnya," tulis Angrist dan Chen.
GI Bill merupakan sebutan bagi subsidi pemerintah AS bagi veteran perang. Dana dari GI Bill bisa digunakan veteran perang untuk membiaya sekolah atau ikut serta dalam program-program pelatihan untuk mengasah kompetensi.
Di Belanda, dampak wamil juga serupa. Itu setidaknya ditunjukkan oleh hasil riset bertajuk "The long-term effects of military conscription on educational attainment and wages" yang digarap Frank Hubers dan Dinand Webbink.
Dalam riset yang dipublikasi di IZA Journal of Labor Economics pada 2015 itu, keduanya menemukan bahwa wamil mengurangi proporsi jumlah lulusan universitas hingga 1,5%. Mereka yang ikut wamil cenderung lebih sulit atau enggan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah.
"Efek ikut wamil terhadap pendapatan juga negatif dan bertahan sangat lama. Sekitar 18 tahun setelah ikut wamil, kami masih menemukan efek negatif hingga kisaran tiga sampai empat persen," kata Hubers dan Webbink.