close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Peserta diklat bela negara di Korem 162/WB di Mataram, NTB, pada Selasa (6/11/2018). Foto Antara/Ahmad Subaidi
icon caption
Peserta diklat bela negara di Korem 162/WB di Mataram, NTB, pada Selasa (6/11/2018). Foto Antara/Ahmad Subaidi
Nasional
Selasa, 07 September 2021 11:23

Komcad dikritik, mengapa Prabowo jadi sasaran?

Keberadan komcad diatur dalam UU 23/2019 tentang PSDN.
swipe

Banyaknya kritik terhadap Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, tentang komponen cadangan (komcad), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), diduga tidak lepas dari kepentingan politik praktis. Pangkalnya, regulasi disahkan DPR 2014-2019, Partai Gerindra menjadi oposisi.

"Kita asumsikan itu permasalahan politik di 2024 karena pasti setiap kebijakan yang kurang populer akan menjadi komoditas politik untuk menjatuhkan lawannya," ucap pengamat militer Ian Montratama saat dihubungi Alinea.id, Selasa (7/9).

DPR diketahui mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) PSDN menjadi UU pada 26 September 2019 atau kurang dari sepekan anggota dewan periode 2019-2024 dilantik. Sementara itu, Prabowo dan Partai Gerindra baru masuk pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua, yang ditandai menjabat sebagai menhan per 23 Oktober 2019, menggantikan Ryamizard Ryacudu.

Di lain hal, Ian menerangkan, Prabowo kembali menggaungkan Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) bahkan memasukkannya ke dalam kebijakan Kementerian Pertahanan (Kemhan). 

Sishankamrata merupakan doktrin dan sekaligus strategi pertahanan negara yang menggunakan segenap kekuatan dan kemampuan komponen militer (TNI/Polri) dan nonmiliter (rakyat) secara menyeluruh dan terpadu. Komcad termasuk dalam kategori nonmiliter.

Menurut Ian, kebijakan tersebut telah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI 1945. Isinya, "Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung."

"Di dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat (2), kan, memang di situ dijelaskan tentang keterlibatan rakyat sipil berhak dan wajib untuk ikut membela negara. Jadi, saya pikir, itu sebenarnya in line dengan UUD 1945. Jadi, justru yang dilakukan Pak Prabowo konstitusional," paparnya.

"Justru jika beliau tidak menjalankan amanah itu berarti, kan, ada amanat konstitusi yang tidak dilaksanakan," imbuh akademisi Universitas Pertamina ini.

Bagi Ian, pertentangan dengan konstitusi malah tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Nasional lantaran tidak memuat Sishankamrata. Hal tersebut tak lepas dari upaya depolitisasi militer sesuai dorongan reformasi.

"Memang di tahun 2002, kan, kita sedang ada reformasi, yang salah satunya adalah untuk mendepolitisasi TNI, militer, di mana pertama, ada han (pertahanan, red) dan kam (keamanan, red) yang tidak dipisahkan sehingga yang muncul tidak Sishankamrata, tetapi pertahanan bersifat semesta," tuturnya. 

Judicial review

Mengenai uji materiil (judicial review) UU PSDN ke Mahkamah Konstitusi (MK), Ian tidak sepenuhnya sependapat dengan beberapa hal yang digugat. Misalnya, jika seseorang yang telah terdaftar sebagai komcad kemudian menarik diri. "Saya (soal) itu kurang pas, ya, karena itu terlalu dipaksakan."

Dia lantas mencontohkan dengan sepasang kekasih yang kemudian memutuskan menikah dan di kemudian hari berkeinginan untuk bercerai lantaran menilai tidak cocok. "Enggak kayak gitu juga, kan. Artinya, kita bebas memilih tetapi begitu kita sudah ambil keputusan, ya, harus commit, harus terima konsekuensinya," tegasnya.

"Demikian juga dengan anggota komcad. Anggota komcad, kan, mendapatkan banyak fasilitas dari mulai latihan, diberikan latihan, mendapatkan uang saku. Ada privilage-lah yang diberikan pemerintah dalam bentuk fiskal, mungkin pembebasan pajak atau pengurangan pajak. Nah, hal-hal seperti itu, kan, enggak bisa kita terima dan dikemudian hari saya (menyatakan) enggak jadi komcad, mau berhenti saja. Enggak bisa kayak begitu," tambahnya.

Meski demikian, Ian mengakui, beberapa hal di dalam UU PSDN yang tidak jelas sehingga harus diatur lebih rigid melalui aturan turunan. 

"Yang jadi permasalahan sebenarnya di dalam UU PSDN tadi. Sebenarnya saya juga lihat ada ketidakjelasan terkait untuk apa komcad (dan) komduk (komponen pendukung) itu? Kemudian, struktur organisasinya di bawah siapa? Karena yang terkesan di UU itu dia ada di bawah Kemhan. Namun dalam perang semesta, komponen cadangan selalu menginduk kepada komponen reguler atau komponen utama," urainya.

Selain itu, dirinya meminta Kemhan lebih selektif dalam menyeleksi orang-orang yang lolos mengikuti komcad. Alasannya, konflik terbesar yang terjadi sepanjang 2000 hingga kini adalah konflik horizontal bukan antarnegara.

"Ini perlu kita waspadai," katanya mengingatkan. "Jangan sampai kita melatih komcad dan di kemudian hari mereka menjadi elemen separatis. Jadi, kita melatih rakyat yang mana dari sebagian itu merongrong NKRI. Jadi, memang proses seleksi, pembinaan harus betul-betul berkualitas, jangan asal rekrut."

Sebagai informasi, Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan uji materiil UU PSDN ke MK pada akhir Mei lalu. Beberapa ketentuan digugatnya, yakni Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82.

Seiring waktu, pemohon meminta MK mengeluarkan putusan sela untuk menunda pemberlakuan komcad. Tentang hal ini, bagi Ian, ada sisi positifnya, anggaran pertahanan menjadi agak longgar mengingat postur anggaran Kemhan selama pandemi juga terpotong sehingga tidak ideal, apalagi pembiayaan untuk pelatihan komcad tergolong signifikan.

"Menurut saya, kalau dalam kaca mata Kemhan dan TNI, (keduanya) pasti akan mematuhi segala keputusan hukum," ujarnya. "Tentunya Kemhan, saya tidak bisa mewakili Kemhan. Tapi saya pikir, Kemhan bisa bernapas lega, bisa berpikir untuk membangun sarana prasarana pertahanan sesuai tupoksinya."

Hingga kini, setidaknya sudah ada sekitar 2.500 orang yang tercatat masuk sebagai komcad gelombang pertama dan mulai mengikuti pelatihan. "Yang sudah ada, ya, kadung. (Itu) bukan salah Pak Prabowo juga, bukan salah Kemhan juga," tandas Ian.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan